Namun pada hakikatnya paham sekulerisme sebagaimana disampaikan oleh Ahmad Al Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdha Al -Rasyidah adalah pemisahan agama dari kehidupan manusia atau pemisahan Tuhan dari kehidupan manusia
Dengan karakteristiknya yang pragmatis duniawi, maka konsep sekulerisme tentang makna kebahagiaan juga bertolak belakang dengan pandangan Islam.
Sekulerisme memandang kebahagiaan adalah tercapainya kebutuhan materi semata tanpa mengindahkan cara untuk memperolehnya. Sumber kebahagiaan dalam sekulerisme dengan demikian adalah faktor yang berada di luar dirinya, yakni materi.
Sementara Islam memandang kebahagiaan adalah berasal dari dalam diri manusia. Faktor-faktor luar seperti kemakmuran, kekayaan, keluarga, kedudukan, pengetahuan, adalah faktor penunjang. Sifatnya hanya sebagai penyempurna, setelah faktor dominatifnya sudah ditemukan. Seseorang tidak akan mungkin menemukan kebahagiaan yang dicari di luar dirinya. Kebahagiaan hanya akan ditemukan di dalam diri sendiri.
Alquran maupun sunah Rasul telah memberikan jawaban bahwa faktor dominatif yang menyebabkan orang bisa memperolah kebahagiaan adalah sakinatul qalb atau ketenangan hati. Yaitu hati yang dipenuhi dengan kuatnya keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dan bertindak sesuai dengan Alquran dan sunnah.
Dengan demikian, dalam pandangan Islam, kebahagiaan itu memiliki dua faktor. Pertama, faktor dominan yaitu berupa sakinatul qalb atau ketenangan hati karena adanya iman dan kedekatan kepada Allah. Sifatnya inner self, di dalam diri. Kedua faktor penunjang seperti kekayaan, jabatan, kesehatan dan sebagainya, yang sifatnya berada di luar diri manusia. Karena sifatnya menunjang, kekayaan, kesehatan, dan sebagainya itu melengkapi faktor dominan.
Dengan kata lain, faktor dominan itu mesti ada untuk timbulnya kebahagiaan. Jika tidak adanya faktor dominan menyebabkan kebahagiaan akan hilang. Akan tetapi, tidak adanya faktor penunjang belum tentu kebahagiaan seseorang hilang dari dirinya. Idealnya memang sesorang memilki faktor dominan dan penunjang sekaligus, sehingga kebahagiaan yang diperolehnya sempurna.
Kontaminasi racun sekulerisme di segala bidang sangat membahayakan aqidah kaum muslimin. Apalagi jika telah merasuki bidang pendidikan. Ciri sistem pendidikan yang sekuleristik adalah yang mengesampingkan etika dan moral anak didik. Sebab moral dianggap sebagai masalah pribadi dengan Tuhannya. Mereka memisahkan antara agama dengan kehidupan. Agama dicampakkan dalam ranah indivudi bukan publik.
Sistem pendidikan sekuleristik dengan demikian adalah sistem pendidikan yang tidak bertuhan. Apa jadinya jika produk pendidikan adalah manusia tanpa etika. Apa jadinya manusia tidak memiliki moral. Islam sangat mementingkan moral sebagai landasan kehidupan manusia.
Sebab jika manusia minus moral, maka tak ubahnya seperti binatang. Etika memiliki peran yang fundamental dalam sistem pendidikan Islam.
Di bidang politikpun, sekulerisme bisa menjadi racun mematikan. Paham sekulerisme dengan sistem demokrasinya telah merusak kemuliaan tujuan politik dengan lahirnya politik tak beretika.
Sekulerisasi politik telah mengakibatkan tumbangnya pilar-pilar fundamental dalam mengurus rakyat dan mengelola sumber daya alam. Politik yang telah terkontaminasi sekulerisme menjelma menjadi politik pragmatis transaksional.
Perilaku politikus yang hedonis, rakus kekuasaan, abai terhadap kepentingan rakyat, tidak amanah, opportunis dan anti-syariah bahkan hingga korupsi, suap dan fitnah mewarnai polah politik sekuler. Sekulerisme ini juga membahayakan jika telah merasuki bidang ekonomi dan budaya.
Ekonomi kapitalisme yang hanya mengayakan segelintir manusia dan memiskinkan jutaan manusia lainnya tanpa mengindahkan nilai-nilai etika adalah karakteristik ekonomi sekuler.
Timbangan kapitalisme adalah materialisme, hanya mengejar keuntungan materi tanpa memperdulikan hukum halal dan haramnya. Istilah pertumbuhan dalam sistem ekonomi kapitalis adalah pertumbuhan semu, sebab hanya fokus kepada produksi dan abai terhadap distribusi.
Sementara prinsip ekonomi Islam adalah ekonomi berbasis nilai kebajikan untuk kesejahteraan dan keberkahan banyak orang, sehingga lebih fokus kepada distribusi.
Budaya sekuler adalah budaya hedonis dan liberal yang bertujuan untuk memuaskan hawa nafsu. Budaya sekuler memberikan peluang kepada manusia untuk berekspresi sebebas-bebasnya tanpa batas-batas kepantasan dan nilai religius.
Pergaulan bebas, seks bebas, minuman keras, dan hiburan amoral adalah sedikit contoh budaya sekuler. Sementara Islam menjadikan budaya sebagai penghalus rasa dan sarana untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah.
Untuk membendung paham sekulerisme di segala bidang, harus menjadikan Alquran dan As Sunnah sebagai sumber pemikiran dan perilaku. Rasulullah bersabda, “ telah aku tinggalkan kepada mu dua perkara, kamu tidak akan tersesat selama kamu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Alquran dan Sunnah” *(HR. Bukhari)*
Bahkan Allah mengancam dengan kerusakan kehidupan manusia jika mengadopsi sekulerisme dan membuang hukum Allah. “Dan Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, Maka Sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam Keadaan buta”. *(QS Thaha : 124)*
Sifat blasphemik sekulerisme telah menjadi pangkal segala kerusakan peradaban manusia. Daya rusak blasphemik sekulerisme meliputi seluruh aspek kehidupan manusia. Saatnya menegakkan Islam dan tinggalkan sekulerisme, jika masih punya impian bagi kebaikan negeri ini.
Jika ada istilah Islam radikal, itu hanya tuduhan Barat untuk merusak citra Islam, sebab Islam adalah agama dan ideologi terbaik yang datang dari Allah. Tapi jika disebut Barat sebagai radikalisme sekuler yang menjadi biang kerok kerusakan kehidupan manusia, ini adalah kenyataan. Secular radicalism is the real blasphemy.
Karena itu gerakan revolusi Islam dengan dakwah syariah dan khilafah untuk menggantikan ideologi kapitalisme sekuler atau komunisme ateis selain rasional juga sebuah keharusan. []
Oleh Dr. Ahmad Sastra
Dosen Filsafat UIKA Bogor
Dipublikasikan pertama kali oleh Republika
Sumber: https://news.berdakwah.net/2018/06/secular-radicalism-real-blasphemy.html?m=1