Awal Mei 2018 saya menginap di hotel Sheraton Grand Jakarta Gandaria City Hotel. Hotel bintang lima ini satu building dengan Lotte dan Metro Mall.
Dari kamar lantai 11 saya menengok ke bawah, berseberangan pintu keluar di selatan terlihat kubah hijau masjid. Terlihat cukup besar bangunannya. Saya jadi berniat untuk sholat maghrib kesitu . Saya turun dan menuju kesana, yang nampak hanya pintu gerbang bertuliskan BMMT Al-Asyrotusy Syafi’iyyah. Tak terlihat bangunan masjid. Papan nama masjid tidak terlihat dari jalan karena ditutupi oleh banyak gerobak makanan sepanjang trotoar. Tertulis masjid Jami Al-Asyrotusy Syafi’iyyah. Saya masuk pintu gerbang, menuju ke halaman bangunan menyerupai sekolah, namun tidak tampak akses menuju masjid.
Sebenarnya ada pintu di sebelah utara yang tampaknya langsung menuju masjid, namun pagar pintu terkunci. Di halaman saya bertemu seseorang yang memberitahu arah ke masjid, melalui lorong atau gang di dalam bangunan sekolah. Tanpa diberitahu, orang tidak tahu jalan menuju masjid yang tersembunyi.
Tampak dari atas Hotel, tapi tidak terlihat dari jalan raya. Kemudian tampaklah masjid berwarna hijau, 2 lantai, cukup untuk menampung 500 jemaah. Terlihat gelap, kusam, kotor, kumuh dan tidak tertata.
Halaman masjid dihamburi oleh dedaunan dari pohon mangga yang jatuh. Tempat rak sepatu juga sudah hancur. Di dalam masjid hanya sekitar 10 jemaah bersiap sholat , semua anak muda dan satu jemaah wanita. Kemudian iqomat selesai. Para jemaah yang masih muda-muda terlihat saling menatap, menunggu siapa yang bersedia imam. Karena saya merasa paling tua maka saya maju memimpin imam. Kelihatannya para jemaah dan yang adzan adalah orang asing juga seperti saya, pengunjung mall yang ingin sholat.
Tidak ada imam masjid yang bertugas mengatur sholat.
Sajadah tempat imam sudah kumal, pudar, cokelat dan bau menyengat dari bekas keringat. Saya punya rhinitis alergika, sehingga bersin dan pilek kumat oleh debu dan bau.
Selesai sholat pandangan saya menyapu seluruh ruangan. Tampak karpet yang tua, kering, melengkung, berpasir, tidak beraturan. Plafon yang berlobang. Kaca kotor yang dilapisi korden putih yang berubah jadi hitam.
Disebelah kiri tempat sholat imam, dinding kayu sudah lapuk dimakan rayap dan sarang untuk membentuk bukit sudah terbentuk.
Saya merenung, persis berhadapan dengan bangunan mewah, dan di Jakarta, kok masih ada masjid tidak terurus seperti ini.
Saya bertanya kepada satu-satunya jemaah wanita,yang ternyata tinggal disana merawat masjid. Dia cerita bahwa ini masjid wakaf.
Mualim yang menjadi pengurusnya, sudah meninggal dunia. Diganti menantunya yang mengurusi, namun tinggal jauh dari masjid. Sehingga masjid sudah tidak terurus lagi.
Adapun bangunan serupa sekolah tersebut adalah bekas pesantren, yang katanya sudah buyar.
Di kamar hotel saya mencoba searching di google memasukan key word nama masjid tersebut, namun tak muncul data apalagi deskripsi. Bahkan dengan aplikasi Muslim Pro tidak terdeteksi adanya masjid yang hanya 200 meter dari hotel.
Saya merenung. Persis di depan hotel dan mall yang mewah, ditengah gemerlapnya kehidupan duniawi Jakarta, ditengah kota yang dipimpin oleh gubernur muslim, kota tempat tinggal pula presiden yang muslim, terdapat masjid yang pelan-pelan akan hilang ditelan oleh kerusakan, ditinggalkan oleh kemajuan jaman.
Masjid yang sepi jemaah karena kondisinya tidak terurus. Bahkan google pun tak pula mengenalnya. Masjid tua renta yang seakan “hilang” tidak tertoleh oleh ramainya Jakarta. Dengan posisinya yang strategis, mestinya masjid ini bisa bernasib baik dan makmur seperi Masjid Raya Al-Musyawarah di depan mall kelapa gading dan hotel Harris.
Saya menulis ini karena berharap ada warga muslim Jakarta yang mau menoleh ke masjid tersebut, menghidupkan dan memakmurkannya.
Semoga. Wallahualam.
*Artikel ini di share oleh Nushatul Islam di WAG