Oleh : Inayatullah Hasyim
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Djuanda Bogor)
Dalam khazanah hukum nasional kita, hukum menurut topik bahasannya dibagi menjadi dua: Hukum Privat (Private Law) dan Hukum Publik (Public Law). Hukum Privat meliputi Hukum Perdata (Burgelijkrecht) dan Hukum Dagang (Handelsrecht). Sedangkan Hukum Publik terdiri dari Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum Pidana, dan Hukum Internasional.
Dalam sistem hukum Islam, pembagian yang sama sebenarnya juga ada. Hanya saja, pembahasan hukum Islam di berbagai universitas di Indonesia umumnya dipersempit hanya pada hukum keluarga (al-ahwal al-syakhsiyah). Kodifikasi hukum Islam (KHI) lebih banyak memuat hal-hal yang terkait dengan hukum keperdataan yang meliputi hukum perkawinan, waris, dan muamalah. Padahal, hukum Islam juga membahas hukum publik yang meliputi Hukum Pidana, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara dan Hukum Internasional. Bahkan, Muhammad bin Hasan al-Syaibani, seorang ulama dari madzhab Hanafi, sering dirujuk sebagai “Bapak” hukum internasional Islam.
Pada kesempatan ini, saya akan jelaskan tentang Hukum Pidana Islam terutama dikaitkan dengan hukuman. Dari sisi hukuman, hukum pidana Islam itu dibagi tiga: 1. Pidana dengan hukuman qishas. 2. Pidana dengan hukuman had, dan 3. Pidana dengan hukuman ta’zir.
Perbuatan pidana dengan hukuman qishas adalah pembunuhan. Dasarnya: firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah 178. Allah berfirman, (artinya) “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu melaksanakan qishah berkenan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba sahaya dengan hamba sahaya, perempuan dengan perempuan. Tetapi barangsiapa yang memperoleh maaf dari saudaranya, hendaklah yang memaafkan mengikutinya dengan cara yang baik, dan membayar diyat (denda) dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah keringanan dan rahmat dari Tuhanmu. Barangsiap ayang melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat siksa yang pedih”.
Pada pidana qishas ini, Allah memberi ruang kepada ahli waris korban untuk memaafkan. Maka, apabila ahli waris memaafkan, kepada pelaku pidana dibebankan denda yang disebut sebagai diyat. Di negara bermadzhab hukum Anglo Saxon seperti Inggris, pemidanaan yang dapat mengganti hukuman menjadi denda disebut sebagai restorative justice. Karena itu, mereka mengenal konsep tort (denda) yang biasanya dijelaskan dalam satu mata kuliah khusus, “Law of Tort”. (Lain kali akan saya bahas hal tersebut)
Tentu, hukuman qishas ini hanya berlaku pada pembunuhan terencana, atau (dalam bahasa Arab) disebut “al-qatl bil-amd”. Di Inggris atau negara bermadzhab Anglo-Saxon lainnya, perbuatan pidana itu disebut sebagai “murder”. Adapun perbuatan lain yang menyebabkan kematian disebut sebagai “al-qatl ghair amd” atau dalam sistem Anglo-Saxon disebut sebagai “manslaughter”. Pada perbuatan kedua ini, kepada pelaku pidana dikenakan denda, bukan qishas. Misalnya, jika ada seorang tertidur pulas, lalu menindih seorang anak bayi dan menyebabkan kematian bayi itu, kepada orang tersebut tak dikenakan qishas. Dia hanya diwajibkan membayar diyat.
Dalam jurisprudensi hukum pidana Islam, penghormatan atas nyawa seseorang ini luar biasa. Peristiwa Umar bin Khattab menjadi contohnya. Suatu hari, saat menjadi khalifah, Umar bin Khattab memanggil seorang ibu yang tengah hamil muda. Demi mendengar ada panggilan dari Umar bin Khattab, ibu muda itu mengalami keguguran, saking takutnya. Lalu, Umar bertanya kepada Ali bin Abu Thalib. Ali menjawab, “atasmu ada kewajiban membayar diyat’. Umar pun membayarkan dendanya.
Kemudian, kelompok kedua, pidana dengan hukuman had yang terdiri atas pencurian, perzinaan, perampokan, mabuk-mabukan dan fitnah perzinaan (qazaf). Dinamakan had karena jenis perbuataan dan hukumannya ditentukan atau dibatasi (had) oleh al-Qur’an. Pada kelima jenis pidana ini, Allah tidak memberi ruang bagi manusia untuk memaafkan. Dalam konsep pidana modern, teori pidana ini disebut sebagai retributive justice.
Pada kelompok pidana ini, Rasulallah SAW mengatakan, الحدود تدرأ بالشبهات (Pidana had ditangguhkan dengan sebab adanya keraguan). Artinya, sedapat mungkin seseorang dihindari dari hukuman had apabila terjadi keraguan. Contohnya, seorang pencuri wajib dipotong tangan. Namun, Umar bin Khattab ternyata tak memotong tangan pencuri di zamannya. Mengapa? Sebab ada excuse (pemaaf) atas terdakwa, yaitu dia mencuri dalam keadaan lapar. Karena itu, menurut saya, hukuman potong tangan adalah “ultimate remedium” atas tindak pidana pencurian. Artinya, pada diri pelaku terbukti semua unsur perbuatan pidana, seperti adanya unsur niat (mens rea) dan tindakan (actus reus) yang didasari atas kesadarannya. Karena itu pula, pada pidana had, terdapat satu kaedah bahwa seorang hakim memutus BEBAS (karena bukti persidangan tak mampu meyakinkannya) adalah lebih baik dari pada dia memutus SALAH.
Sedangkan di luar kelompok pidana yang disebutkan di atas disebut sebagai pidana ta’zir. Misalnya, pemalsuan, penggelapan, penipuan, korupsi, perdagangan manusia, dan lain-lain. Pada kelompok pidana ta’zir, negara lah yang menentukan batasan hukumannya. Islam hanya memberikan guide-lines dengan mengedepankan maslahat masyarakat. Berbeda dengan hukuman qishah, hukuman pada pidana ta’zir, tidak berlaku pemaafan. Artinya, warganegara atau korban atas sebuah tindak pidana tak berhak member maaf, lalu mengganti hukuman dengan denda.
Maka, di Saudi Arabia, penyelundup narkoba diancam dengan pidana mati. Di sini, negara melihat maslahat yang lebih luas, yaitu keselamatan warga masyarakat dan ketertiban umum. Hal yang sama berlaku di Indonesia. Hanya saja, hukum kita tidak menyebutnya sebagai ta’zir, tetapi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana). Pada pidana ta’zir, tidak berlaku asas personalitas. Artinya, hukuman tak memilah apakah seseorang itu beragama Islam atau bukan. Sebaliknya, berlaku kaedah jurisdiksi, yaitu dimana tindak pidana terjadi (locus delicti), maka kewenangan untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, tuntutan, dan putusan dilakukan oleh para penegak hukum di wilayah tersebut.
Lalu, bagaimana dengan penistaan agama? Penistaan agama tidak diatur di dalam al-Qur’an baik dalam kategori qishas ataupun had. Karena itu, ia masuk dalam kateroi ta’zir. Di Pakistan, penistaan agama diatur dalam Blasphemy Act. Ancaman hukuman maksimalnya adalah hukuman mati (capital punishment). Contohnya adalah kasus Asia Bibi. Ia divonis pidana mati karena terbukti menistakan agama Islam. Namun demikian, sampai hari ini, Asia Bibi belum dieksekusi mengingat besarnya tekanan dari negara-negara Eropa. Ironisnya, belum lagi Asia Bibi dieksekusi mati, korban telah berguguran. Antara lain, Gubernur wilayah Punjab yang mengkritik Blasphemy Act sebagai hukum era kegelapan. Dia diberondong peluru oleh pengawalnya sendiri. Kasus penistaan agama memang sangat sensitif sebab sulit mengukur tingkat ketersinggungan orang per-orang.
Di Indonesia, penistaan agama diatur dalam Perpres No. 1 tahun 1965 tentang Larangan Penistaan Agama. Norma pada Perpres tersebut masuk dalam KUHPidana kita pada, yaitu pada Pasal 156(a). “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalah-gunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan ke-Tuhanan Yang Maha Esa.
Demikianlah kita saksikan kasus Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok yang telah divonis dua tahun penjara. Lalu, bagaimana kasus puisi Bu Sukmawati Soekarno Putri? Silakan hadirin (eh, pembaca) menilai sendiri.
Demikian tulisan singkat ini. Semoga bermanfaat.