Oleh: Irsyad Syafar
Sewaktu saya kuliah di kuwait di tahun 90an yang lalu, di asrama tempat kami tinggal ada fasilitas mesin air minum kemasan yang dapat dibeli dengan uang koin. Satu kaleng pepsi misalnya, bisa dibeli dengan koin uang 100 filis Kuwait. Nilai rupiahnya waktu itu sekitar 800 rupiah. Uang koin dimasukkan ke lobang pembayaran, kemudian menu atau jenis minumannya bisa dipilih, dan akan keluar secara otomatis.
Di dalam asrama itu terdapat ratusan pelajar dan mahasiswa yang berasal dari 50 negara lebih. Termasuk yang berasal dari Indonesia.
Rupanya, ada salah seorang teman Indonesia yang iseng. Dengan menggunakan koin uang 100 rupiah yang ukurannya hampir sama dengan koin 100 filis Kuwait, ia membeli minuman kaleng di mesin otomatis tersebut. Dan memang ia mendapatkan satu kaleng minuman dengan harga 100 rupiah.
Hari-hari berlalu, tanpa ada kejadian yang istimewa pasca “pembelian” minuman kaleng dengan koin rupiah tersebut. Namun, suatu hari, seluruh mahasiswa dan pelajar Indonesia yang tinggal di asrama tersebut, dikumpulkan oleh kepala asrama dan beberapa petugas berwenang. Semuanya diintrogasi siapakah yang telah mengambil minuman kaleng dengan koin rupiah. Rupanya, petugas rutin yang mengumpulkan semua koin dalam rentang waktu tertentu, telah menemukan koin rupiah itu diantara koin-koin filis Kuwait. Maka mereka langsung saja mengumpulkan orang Indonesia yang ada di asrama. Sebab, menurut mereka pastilah pelaku “kecurangan” tersebut adalah salah satu pelajar Indonesia yang ada di sana.
Dan memang benar, salah satu dari pelajar Indonesia mengakui telah melakukan hal tersebut. Akibatnya yang bersangkutan mendapat teguran keras dan mengganti koin uang dengan koin filis.
Tapi, akibat yang lebih besar setelah itu adalah negatifnya mahasiswa Indonesia dipandangan warga negara lain. Padahal yang berbuat hanya satu orang. Tapi yang dipandang negatif menjadi lebih banyak.
* * *
Beberapa hari belakangan ini, kita menyaksikan melalui medsos adanya tindakan “agak aneh” dan mungkin “nyeleneh” sekelompok jamaah umrah asal Indonesia, di Masjidil Haram di Makkah. Pertama ada yang membaca Pancasila saat melaksanakan ibadah Sa’i. Kemudian muncul lagi rombongan lain yang mendendangkan lagu sebuah ormas saat melaksanakan ibadah Sa’i. Ada pula kemudian sekelompok perempuan yang menyanyi bersama di pelataran halaman Masjidil Haram.
Tindakan-tindakan “aneh” ini telah menuai kritikan dan kecaman dari banyak pihak di tanah air. Termasuk juga komentar Dubes Arab Saudi di Jakarta, yang menyayangkan hal tersebut terjadi di saat beribadah di Masjidil Haram.
Mungkin para pelaku tindakan tersebut menganggap sepele apa yang mereka perbuat. Atau sekedar iseng. Tidak ada negatifnya. Akan tetapi sebenarnya bisa berefek negatif yang jauh lebih besar.
Tidak mustahil nanti akan muncul pula ormas lain menyanyikan lagu ormasnya di dalam Masjidil Haram. Lalu kemudian jamaah haji atau umrah negara lain juga akan (mungkin) terpancing pula melakukan hal yang mirip. Betapa gaduhnya Masjidil Haram, bila setiap kelompok mengumandangkan syiar-syiar kelompoknya.
Tentunya pemerintah Arab Saudi akan mengambil tindakan tegas terhadap perilaku-perilaku aneh ini, yang tidak ada sama sekali dalam tuntunan ibadah haji atau umrah. Bahkan dikhawatirkan akan merusak pahala ibadah mereka.
Bahkan, tidak mustahil, akibat dari perbuatan tersebut, jamaah-jamaah asal Indonesia akan mengalami kesulitan-kesulitan, atau menjadi target pemantauan pihak-pihak keamanan arab saudi. Karena dikhawatirkan membawa hal-hal aneh dalam beribadah. Kenyamanan para jamaah yang tidak berbuat akan sesikit terusik. Dan bisa jadi jamaah-jamaah asal negara lain akan memandang “sinis” kepada jamaah asal Indonesia. Yang aneh atau nyeleneh mungkin sedikit. Tapi yang menanggungnya orang banyak.
Betapa besarnya tanggung jawab yang akan ditanggung oleh pelaku awal “keanehan” ini, baik terhadap Allah, maupun terhadap ratusan ribu jamaah lain yang tidak ikut serta berbuat.
Setiap Mukmin mesti waspada dengan hadits Rasulullah saw:
ومن شذ شذ إلى النار
Artinya: “Siapa yang nyeleneh, bisa nyeleneh ke neraka.” (HR Tirmidzi dari Ibnu Umar).