Oleh : Dr. Moeflich Hasbullah
(Dosen UIN Sunan Gunung Djati Bandung)
Sejak HTI dibubarkan dan dilarang beroperasi oleh Pemerintah melalui Perppu No. 2 Thn 2017, penyebutan dan pembicaraan tentang khilafah sebagai program utama HTI ternyata tak surut dan tak berkurang. Dalam pengajian, di media sosial, dalam aksi-aksi massa, dalam wawancara dan dalam televisi. Penyebutan khilafah malah makin populer dan makin akrab di telinga masyarakat Indonesia. Dulu eksklusif sekarang inklusif. Para pendukungnya malah makin bangga menyebut dan memperjuangkannya. Pembubaran oleh pemerintah malah dirasakan seperti suntikan darah segar.
Penggunaan bendera dan simbol-simbolnya juga sama, tetap digunakan dalam berbagai kesempatan pengajian-pengajian skala akbar. Dalam acara Reuni 212 dan Maulid Nabi di silang Monas kemarin, bendera-bendera bertuliskan kalimah syahadat itu tetap berkibar, bahkan dalam ukuran besar-besar. Kelompok kontra dan tak suka, hanya terheran-heran, kok tetap banyak berkibar dan dibiarkan? Kemana aparat?
Ini fenomena menarik dalam panggung sejarah Islam Indonesia kontemporer. Kesannya pemerintah setengah-setengah dan tidak tegas dalam bertindak menutup HTI, tidak tegas melarangnya, penggunaan simbol-simbolnya dan menghentikan kegiatan-kegiatannya.
Apakah benar pemerintah bersikap setengah-setengah? Jawaban iya karena pemerintan dilematis. Apa sebabnya? Inilah jawabannya.
Pertama, HTI bukan organisasi buruk atau organisasi kejahatan melainkan organisasi dakwah. Dakwahnya inilah yang tak mungkin dihentikan. Dan membahas topik khilafah dalam dakwah dan pengajian juga tak mungkin dilarang karena itu adalah firman Allah SWT, ada dalam kitab suci Al-Qur’an sebagai ajaran Islam. Apalagi khilafah ditarik ke makna dasarnya sebagai tugas manusia di muka bumi, semakin tak mungkin lagi dimusuhi dan dilarang. Dalam pengertian dasar ini, umat Muslim seluruhnya tak ada yang berbeda pendapat dan tak bisa menolaknya yang berarti akan mengingkari kemanusiaannya sendiri dan tujuan ia diciptakan.
Kedua, ketika diputuskan dilarang, HTI dibela oleh pengacara kelas wahid, pengacara yang berwibawa mantan pejabat tinggi pemerintah dan ahli hukum tata negara Prof. Yusril Ihza Mahendra. Ini menambah kekuatan psikologis pada HTI dan para pendukung khilafah di Indonesia. Semakin hilang pijakan untuk memandang buruk HTI dan terutama perjuangan khilafahnya.
Ketiga, tuduhan Anti Pancasila pun selama ini samar. Secara hukum harus dibuktikan di pengadilan. Prof Yusril malah memberi angin segar, “kita akan menang,” serunya. Disini HTI optimis. Untuk menghindari kemenangan HTI di pengadilan yang akan merontokkan “wibawa” pemerintah, cepat-cepatlah Perppu No 2 itu ditingkatkan statusnya jadi UU. Tapi ini pun belum tentu efektif. Pelanggaran UU yang lain saja banyak, apalagi UU yang diterapkan kepada organisasi dakwak yang bukan pidana tapi dibuat atas dasar permusuhan pada aspirasi politik Islam.
Keempat, menyamakannya dengan organisasi terlarang yang lain semisal PKI, jelas tak seorang pun akan menerimanya kecuali “sang mujahid” bapaknya para janda alias Abu Janda dan kaumnya yang menjadikan dia tokoh idola. Maka, ancaman administratif dan hukum yang akan diberlakukan pada para mantan aktifis HTI pun tidak akan efektif karena bertentangan dengan fakta bahwa HTI bukan organisasi buruk dan jahat. Ini hanya masalah perbedaan aspirasi politik dan dakwah. Pendukung ide khilafah sekarang semakin luas. Bila ada mantan aktifis HTI diperlakkan seperti layaknya eks aktifis PKI, jelas akan menimbulkan masalah. PKI sudah jelas anti Tuhan yang karenanya anti Pancasila dan sudah jelas torehan kejahatannya dalam lembaran sejarah Indonesia. Menyamakan dengan HTI karena status “terlarangnya” tak akan kena sama sekali karena bertentangan dengan fakta sosiologis dan akal sehat yang paling dasar.
Kelima, soal Ar-Roya an Al-Liwa alias tulisan syahadat dalam bendera hitam putih yang selama ini digunakan HTI (bahkan ISIS), orang-orang HTI mudah saja menjelaskannya sebagai bendera Rasulullah SAW alias benderanya umat Islam, bukan eksklusif bendera HTI. Abu Janda yang telah jujur menunjukkan keluguan pengetahuannnya menjelaskan bendera Rasulullah yang dijawab oleh Felix Siauw ternyata itu bendera Turki Utsmani, secara psikologis semakin melemahkan kritik dan penolakan pada bendera itu. Lebih dari itu, ketika dinisbahkan kepada Nabi, siapa yang berani menentangnya? Walaupun Ar-Roya dan Al-Liwa bukan bendera RI, menjelekkan bendera Rasulullah bagi orang Islam akan mikir dulu, ada beban psikologis yang berat. Semakin menyudutkan khilafah dan menjelekkan bendera itu akan semakin kuat perhadapan antara Islam dan negara sekuler yang akhirnya berimbas pada perhadapan Islam dan Pancasila-NKRI. Agama sebagai emosi jiwa akan sulit dilawan karena simbol agama secara psikologis berfungsi sebagai agama itu sendiri.
Jadi, tentang khilafah ini, posisi para pendukungnya relatif menang mutlak “in every single point” vis a vis kelompok kontranya, Inilah yang membuat negara dan pemerintah atau kelompok manapun dilematis dan kesulitan menyikapi khilafah. Yang telah dikalahkan oleh pemerintah dan pendukungnya hanya HTI-nya sebagai organisasi dan bukan khilafahnya sebagai ide, gagasan dan ajaran Islam. Semangat dan ajaran khilafahnya sendiri tak mungkin dilawan dan tak mungkin dikalahkan. Yang mungkin dicegah adalah Indonesia menjadi negara khilafah tapi cita-cita umat Islam mendirikan dan mengembalikan kejayaan khilafah akan sulit dihentikan.
Kesulitan lain, berdirinya khilafah bisa jadi masalah bagi NKRI karena nasionalisme memang menuhankan sejarah bangsanya tapi menguntungkan bagi persatuan umat Islam sedunia sebagai cita-cita kekuatan bersama apalagi sekarang Amerika Serikat melalui ucapan kontroversial Presiden Trump mengklaim Yerussalem sebagai ibu kota Israel, walaupun dikecam oleh warga Amerika sendiri dan negara-negara seluruh dunia. Hikmah ucapan Trump adalah memberi gizi lagi pada ide dan cita-cita pendirian khilafah bila Amerika benar-benar mewujudkan aksi sepihaknya itu.
Terakhir, dari perspektif analisis sejarah linier, khilafah masa lalu itu tak mungkin berdiri lagi dalam wujudnya yang sama di zaman modern karena peta politik dunia sudah berubah total dan sejarah itu terus berjalan lurus tak mengulangi masa silamnya. Atas dasar inilah, sebagian Muslim memandang khilafah adalah utopia. Benar. Tapi itu bicara hasil, dan dalam perjuangan hidup, hasil bukan tujuan. Tuhan tak akan menanyakan hasil melainkan proses dan usaha yang dilakukan sungguh-sungguh. Hasil, upah, pahala, itu urusan Tuhan, manusia hanya diminta melangkah, bergerak, berusaha dan tawakkal. Wallahu a’lam.[]