Oleh : Masri Sitanggang
Ada benar benarnya juga Pemerintahan jokowi berhasil. Setidaknya dalam hal Revolusi Mental.
Dulu, pada pemerintahan- pemerintahan sebelumnya, kalau ada kenaikan harga –apalagi harga kebutuhan dasar (pokok)– rakyat ribut, DPR bersuara ,mahasiswa ribut bahkan tak jarang rame-rame turun ke jalan. Karena respon masyarakat begitu massif, tidak jarang pula pemerintah harus menyesuaikan keputusannya dengan kemauan rakyat. Setidaknya, keputusan menaikkan bahan kebutuhan dasar (pokok), misalnya, diikuti kemudian dengan pemberian subsidi.
Khusus mengenai kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) dan Tarif Dasar Listrik (TDL) , itu dilakukan lewat pembahasan di DPR, dan DPR menerima masukan dari rakyat sebelum menyetujui atau merevisi harga yang diusulkan pemerintah.
Dulu, pada pemerintahan- pemerintahan sebelumnya, tak mudah menambah hutang apalagi menjuali aset semacam BUMN, karena DPR bersuara , rakyat kritis dan mau turun ke jalan. Ngerinya, unjuk rasa masa dulu seringkali diwarnai bentrok sengit dengan pihak aparat…
Tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah-masalah lain seperti politik hukum dls. yang menyentuh hajat orang banyak dan/atau kepentingan negara; rakyat menyampaikan aspirasinya ke DPR Senayan atau membentuk DPR jalanan jika Senayan mentok. Maka, pemerintah dan aparat memang harus cukup hati-hati untuk berlaku semena-mena. Begitulah dulu.
Zaman NOW, harga-harga melambung : harga BBM entah sudah berapakali naik dan subsidi dicabut, TDL juga mengikuti irama BBM; daya beli masyarakat turun drastis; hutang negara yang menurut prof. Yusril sudah melampau 30 persen dari APBN –yang berarti pemerintah sudah melanggar UU; penguasaan sumber daya (tanah) sekitar 72 persen berada di tangan 0,2 persen penduduk; tambang yang dikuasai asing; aset yang tergadai kepada asing; ancaman kedaulatan; kegaduhan politik; hukum yang tumpul ke atas; ulama yang dikriminalisasi; keadilan yang semakin jauh dari harapan; ancaman demokrasi dengan lahirnya Perppu-UUD ormas dll dls dst…. DPR anteng-anteng saja. Rakyat –dari kalangan bawah sampai para intlektual dan mereka yang dulu dikenal sebagai tokoh pergerakan, memang masih keritis dan nyinyir. Bedanya kini, mereka tidak lagi menyampaikan aspirasinya ke DPR atau membentuk DPR jalanan, melainkan di SOSIAL MEDIA. Mereka nyinyir di SOSMED. Itulah Zaman NOW. Jadi, DPR anteng, rakyat sibuk bersosmed.
Dulu, masa belum booming sosmed, para tokoh sering bersilaturrahmi dengan tatap muka. Berkumpul mendiskusikan hal-hal yang perlu ditanggapi. Lalu, mungkin ditindaklanjuti menyampaikan aspirasi mereka dengan cara dulu itu. Sekarang, karena sudah mudah berkomunikasi dua arah, tiga arah dls (bahkan melampaui batas pulau) di SOSMED, pertemuan semacam itu tampaknya sudah dianggap usang. Kita semua, para aktivis, setiap hari sibuk di depan smart phone, posting kegelisahan hati dan tuangkan pikiran yang kadang berisi gumaman dan umpatan terhadap persoalan yang dianggap patut dirubah. Saya sendiri, setidaknya 3 jam sehari menghabiskan waktu untuk membaca WAG; dan kalau ditambah FB, mungkin setengah hari atau lebih. Kubaca habis tuntas tulisan-tulisan Bang Sarwan Hamid, Bang Sri Bintang Pamungkas Bintang, Muhammad Hatta Taliwang, MS Kaban, Marwan Batu Bara dll. Pokoknya tulisan para tokoh ini tak ada yang kulewatkan. Entahlah, apakah bergumam dan nyinyir di Medsos ini akan dapat merubah keadaan? Yang pasti, ilmu dan wawasanku memang bertambah luas, luas sekali…
Jadi…, Pemerintahan Zaman NOW memang, menurutku, telah berhasil. Pemerintah mampu memanfaatkan psikologi manusia zaman NOW yang terikat cinta dengan alat komunikasi modern ini untuk merubah mental mereka. Mental yang dulu garang menyampaikan aspirasi ramai-ramai ke DPR atau membentuk DPR jalanan, menjadi mental yang gemar membentuk (grup) forum diskusi “akademik” di Sosmed. Ya, silahkanlah berteriak di Medsos ! (emang gue pikirin ?)
Mungkin mental Habib Rizieg Shihab saja yang belum ter-revolusi, sehingga masih mau turun ke monas. Tapi, bukankah dia sudah di luar dan gak ada orang semacam dia lagi di sini ?