Oleh : Dr. Achmad Satori Ismail
Pada kisaran tahun 90-an, dalam sebuah Muktamar Tingkat Dunia yang diselenggarakan di Mesir, muncul pertanyaan dari Syeikh Mutawwali Asy-Sya’rawi tentang kemanakah perginya air bekas memandikan jasad Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam.
Semua peserta Muktamar yang merupakan para ulama perwakilan dari berbagai negara itu tak ada yang mampu menjawab.
Karena pertanyaan tersebut menarik dan belum pernah dibahas dalam sejarah Islam sebelumnya, maka sang pimpinan Muktamar meminta waktu untuk mencari jawaban tersebut.
Beliau berkata bahwa besok beliau akan menemukan jawabannya. Sepulangnya dari Muktamar, sang pimpinan langsung masuk ke perpustakaan dan membuka seluruh kitab yang ada guna mencari jawaban dari pertanyaan tersebut.
Namun setelah semua kitab dibuka, tak ada satupun kalimat yang membahas pertanyaan tersebut.
Karena kelelahan, akhirnya beliau tertidur.
Saat tidur itulah beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi Wasallam yang sedang bersama seorang pembawa lentera. Bak pucuk dicinta ulam pun tiba, beliau menggunakan kesempatan tersebut untuk meminta jawaban yang dicarinya langsung kepada Rasulullah.
Rasulullah memberi isyarat agar beliau bertanya kepada pemegang lentera disampingnya. “Tanyalah kepada Shohibul Qindil (Lentera).”
Shohibul Qindil menjawab :
“Air tersebut naik ke langit dan turun kembali ke bumi bersama hujan. Setiap tanah yang dijatuhi air tersebut, maka di kemudian hari akan didirikan sebuah masjid.”
Keesokan harinya, berdirilah sang pemimpin Muktamar untuk memberikan jawaban tentang perginya air bekas memandikan jasad Rasulullah.
Semua yang hadir terkagum-kagum.
Syeikh Mutawwali yang mengajukan pertanyaan tersebut, bertanya lagi, “Darimana engkau mengetahuinya?”
Sang pimpinan Muktamar menjawab :
“Dari seseorang yang saat itu sedang bersama Rasulullah dalam mimpiku semalam.”
Syeikh Mutawwali bertanya lagi :
“Apakah ia membawa Qindil?”
“Bagaimana engkau tahu?” Tanya balik sang pimpinan.
“Karena akulah Shohibul Qindil tersebut.” Jawab Syeikh Mutawwali.
Kisah ini amat masyhur di kalangan ulama, terlebih di Mesir. Sekalipun banyak saksi mata yang menyaksikan langsung peristiwa ini, namun ulama-ulama dari kelompok Wahabi yang kala itu hadir juga, sedikitpun tidak mempercayai kisah ini, kecuali Syeikh Umar Abdul Kafi.
Beliau mengatakan bahwa dirinya telah banyak melihat berbagai karamah dalam diri Syeikh Mutawwali Asy-Sya’rawi, namun beliau enggan mengakuinya karena keyakinan yang dianutnya (faham Wahabi) menolak adanya karamah.
Tapi untuk kali ini, Allah telah menumbuhkan keyakinan dalam dadanya, sehingga beliau termasuk orang yang mempercayai kisah ini.
Beliau kemudian keluar dari Wahabi dan masuk ke dalam faham Ahlussunnah Wal Jama’ah.