Yusuf Mansur Minta Berdamai
Tanggal 26 Agustus 2016, penulis didampingi oleh penasehat hukum Hadir Arief Wiradihardja, SH, MH dan seorang rekannya mendatangi Markas Besar (Mabes) Polri di Jakarta guna melaporkan Yusuf Mansur, sebagaimana yang diamanatkan oleh Hj. Rahmanizar, Darmansyah dan Mahir Ismail.
Setelah menyampaikan maksud dan tujuan laporan serta memberikan berkas-berkas yang dibawa, polisi yang bertugas di pusat pelaporan polisi siang itu menuangkan dalam sebuah berkas pelaporan. Dalam Laporan Polisi yang ditandatangani penulis itu menybutkan, bahwa masalah Yusuf Mansur yang dilaporkan itu terkait Dugaan Tindak Pidana Penipua dan Penggelapan, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 378 dan 372 KUHP.
Di luar dugaan, pada dalam bulan September 2016 penulis mendapat surat Undangan Gelar Perkara dari Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya. Dalam surat tertanggal 20 September 2016 itu, penulis diminta hadir di Polda Metro Jaya pada tanggal 26 September.
Setelah memberikan keterangan dan berdiskusi, pihak Polda Metro Jaya menyampaikan bahwa perkara yang dilaporkan penulis itu akan dikembalikan ke Mabes Polri. Diantara alasan yang disampaikan adalah karena masalah ini melibatkan orang-orang yang berbeda wilayah hukumnya.
Selepas itu, penulis cukup lama menanti kelanjutan perkara ini. Sampai tiga bulan kemudian, tepatnya di akhir Desember, barulah penulis mendapat undangan dari Direktorat Tindak Pidana Umum, Badan Reserse Kriminal Umum (Bareskrim) Mabes Polri. Dalam surat tersebut pengundang mengatakan sudah ada perintah penyelidikan. Oleh karena itu penulis diminta hadir pada tanggal 28 Desember 2016. Hadir di Bareskrim Polri yang saat itu berkantor di Gedung Mina Bahari Bahari II, Jalan Medan Merdeka Timur itu, penulis memberikan keterangan dan kronologis permasalahan.
Setelah penulis, polisi kemudian memanggil ketiga korban yang telah menitipkan kuasa mereka kepada penulis. Dari informasi yang penulis dapat, polisi juga meminta keterangan dari orang-orang yang terkait dalam permasalahan laporan. Mereka berada di Yogyakarta, Solo, Klaten dan Medan.
Rupanya, sebelum polisi mengundang para korban ke Jakarta, polisi sudah meminta keterangan Yusuf Mansur. Hanya saja kapan, di mana dan bagaimana polisi bertemu Yusuf Mansur penulis tidak mengetahui. Penasehat hukum yang membantu penulis juga tidak detail memberikan penjelasan kepada penulis. Dia hanya bilang, polisi telah menjalankan tugas dan kewajibannya dengan baik dan sesuai ketentuan yang berlaku.
Sampai pada tanggal 7 Februari 2017, akhirnya polisi mempertemukan penulis, kuasa hukum dan Yusuf Mansur. Ketiga korban juga diminta hadir, namun Mahir Ismail berhalangan. Sedangkan Hj. Rahmanizar diwakilkan oleh suaminya Shakira Zandi. Pertemuan yang diadakan di restoran Timur Tengah di Jalan Raden Saleh, Cikini, Jakarta itu juga diikuti tiga kawan Yusuf Mansur, salah satu diantaranya yang penulis kenal adalan Unang.
Dalam pertemuan tersebut, Yusuf Mansur mengakui apa yang telah penulis laporkan dan membenarkan apa yang dipermasalahkan oleh para korban. Oleh karena itu, Yusuf Mansur bersedia mengganti uang yang telah mereka serahkan sekaligus memberikan “keuntungan” yang diminta para korban. Keuntungan itu dihitung sesuai dengan janji yang pernah diucapkan Yusuf Mansur ketika meminta mereka menyetorkan uang mereka.
Para korban juga meminta Yusuf Mansur bersedia mendantangani sebuah kesepakatan perdamaian yang kemudian dikonsep oleh penasehat hukum Chaidir Arief Wiradihardja. Sedangkan oleh Yusuf Mansur, penulis diminta mencabut laporan di kepolisian.
Tanggal 27 Februari 2017, Yusuf Mansur akhirnya bersedia menandatangani Akta Perdamaian dengan para korban. Di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta Pusat, penulis datang mewakili para korban serta penasehat hukum Chaidir Arief Wiradihardja dan rekannya RM. Bambang Pratama, SH, MH. Sedangkan Yusuf Mansur datang bersama temannya, Unang.
Setelah mendantangani Akta Perdamaian, hari itu juga dia mengganti uang investasi dari Hj. Rahmanizar dan Darmansyah. Selain mengganti pokok invetasi mereka, Yusuf Mansur juga memberikan “keuntungan” dari investasi itu. Demikian juga dengan uang sedekah dari Mahir Ismail, Yusuf Mansur juga mengembalikan sekaligus dengan “kelebihannya”.
Ada hal menarik dalam poin-poin Akta Perdamaian tersebut. Di situ para korban juga diamanahkan mencari “korban” yang lain sehingga mereka juga boleh meminta kembali uang investasinya sekaligus kelebihannya.