Mempolisikan Yusuf Mansur, Kenapa Takut?
Melaporkan Yusuf Mansur ke polisi? Ini tentu berita yang mengejutkan dan mengherankan sebagian orang, terutama para pengagumnya yang setia melihatnya di media sosial juga televisi. Sebaguan orang juga pasti berpikir, ini adalah keputusan yang sangat berani.
Mengejutkan, karena Yusuf Mansur selama ini ditampilkan atau menampilkan dirinya di berbagai media massa dan media sosial sebagai pribadi yang sholeh dan yang takwa. Jadi rasanya mustahil dia melakukan tindakan pidana.
Mengherankan, karena selama ini Yusuf Mansur mencitrakan dirinya sebagai ustad yang pengusaha bersyariah, yang paham soal Islam. Yusuf Mansur juga senantiasa meyakinkan publik sebagai “ahli Qur’an”, pendidik para hafidz, anaknya dibilang ‘Duta Qur’an’ dan sebagainya.
Sangat berani, karena Yusuf Mansur selama ini senantiasa mempublikasikan dirinya sebagai orang yang dekat dengan presiden, para menteri, pimpinan TNI dan polri, dengan konglomerat dan orang-orang penting di negeri ini. Melaporkan Yusuf Mansur juga dinilai sangat berani oleh sebagian orang, karena sama juga akan melawan nitizen army-nya yang begitu eksis di media sosial.
Sebagian orang juga bilang, melaporkan Yusuf Mansur ke polisi adalah sebagai upaya musuh Islam, yakni orang kafir. Sebagai tindakan pemecah belah umat atau sebagai bagian dari gerakan Syiah, Wahabi, Ahmadiyah dan sebagainya. Alasannya, Yusuf Mansur adalah orang yang bergelar ustad, da’i atau muballigh yang merupakan bagian dari kelompok muslim mainstream di sini.
Baiklah. Anggap saja predikat Yusuf Mansur sebagai ustad, da’i atau muballigh itu benar. Maka pertanyaannya, apakah seorang ustad, da’i atau muballigh atau ulama sekalipun tidak bisa berbuat salah? Apakah dia tidak bisa terkena kejahatan pidana? Jelas sekali bisa. Karena dia tidak maksum yang bebas dari perbuatan keji dan munkar atau pidana.
Sebagian orang ketika mendengar Yusuf Mansur dilaporkan ke polisi, langsung mengatakan ini sebagai langkah mengkriminalisasi ulama. Masalahnya, jika seorang yang kebetulan disebut ulama, kemudian dia terindikasi melakukan tindak pidana, apakah penegak hukum tidak boleh membawanya ke meja hijau? Bukankah sudah banyak orang yang “nilai keulamaannya” lebih dari Yusuf Mansur juga menjadi terpidana?
Mereka yang disebut ulama –dan jika memang Yusuf Mansur masuk dalam kategori ulama— tidak semua mereka itu ‘ulama yang benar’. Karena ada juga ulama yang disebut oleh Rasulullah sebagai Ulama Su’ atau ‘ulama yang jahat’.
Supaya kita bisa menentukan Yusuf Mansur –sementara kita boleh sepakat, bahwa Yusuf Mansur adalah ulama– termasuk ulama benar atau Ulama Su’ maka perlu kita perhatikan pengertian ulama. Ulama, seperti yang kita pahami selama ini, adalah orang yang ahli dalam hal atau dalam pengetahuan agama Islam.
Kata ‘ulama’ berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk jamak dari kata ‘aalim. ‘Aalim adalah isim fa’il dari kata dasar ’ilmu. Jadi ‘aalim adalah orang yang berilmu dan ‘ulama adalah orang-orang yang punya ilmu. Makna ‘ulama’ dalam bahasa Arab adalah ilmuwan atau peneliti. Kemudian arti ulama tersebut berubah ketika diserap kedalam Bahasa Indonesia, yang maknanya adalah sebagai orang yang ahli dalam ilmu agama Islam dan sebagai pemuka agama atau pemimpin agama yang bertugas untuk mengayomi, membina dan membimbing umat Islam baik dalam masalah-masalah agama maupum masalah sehari hari yang diperlukan baik dari sisi keagamaan maupun sosial kemasyarakatan.
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman dan orang-orang yang diberikan ilmu (ulama) beberapa derajat” (QS. Al-Mujadalah: 11)
Seorang ulama jelas beriman dan pasti berilmu. Dan karena berilmu itu, maka dia mendapatkan kedudukan dan derajat yang tinggi Allah SWT.
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah diantara hamba-hambaNya hanyalah para ulama.” QSu. Al Fathir 28 : 28)
Ulama adalah orang yang paling takut kepada Allah untuk berbuat syirik dan bermaksiat, paling takut berbuat kesalahan apalagi apalagi tindak pidana.
Satu hadis yang populer Rasulullah berkata, “Ulama adalah pewaris para nabi. Mereka dicintai malaikat-malaikat di langit dan ikan-ikan di laut memohon ampunan kepada mereka apabila meninggal.”
Apa yang diwariskan para nabi? Tak lain adalah ilmu agama. “Mereka (para ulama) adalah orang-orang yang menjelaskan segala apa yang dihalalkan dan diharamkan, dan mengajak kepada kebaikan serta menafikan segala bentuk kemudharatan” (Badruddin Al-Kinani).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin : “Ilmu merupakan warisan para nabi dan para nabi tidak mewariskan dirham dan tidak pula dinar, akan tetapi yang mereka wariskan adalah ilmu. Barangsiapa yang mengambil warisan ilmu tersebut, sungguh dia telah mengambil bagian yang banyak dari warisan para nabi tersebut. Dan engkau sekarang berada pada kurun (abad, red) ke-15, jika engkau termasuk dari ahli ilmu engkau telah mewarisi dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ini termasuk dari keutamaan-keutamaan yang paling besar.” (Kitabul ‘Ilmi, hal. 16)
“Ulama ialah orang-orang yang mempunyai pengetahuan tentang ayat-ayat Allah, baik yang bersifat kauniyah maupun Quraniyah, dan mengantarnya kepada pengetahuan tentang kebenaran Allah, takwa, dan khasysyah (takut) kepada-Nya.” (M. Quraish Shihab).
Ali Bin Abi Talib pernah berkata, seorang alim ialah seorang yang tidak pernah melakukan maksiat, tidak jemu mengingatkan dirinya dan manusia sekalian akan azab allah swt dan tidak membelakangi al-Quran. (Al- Imam al-Qurtubi, juz 14:243).
Ulama dikenali dengan ilmunya dan keteguhan pendiriannya. Mereka terpelihara daripada terjebak ke dalam perkara-perkara yang syubahat. Ulama dikenali dengan jihad, dakwah, pengorbanan dari segi waktu, harta benda, nyawa dan kesungguhan mereka di jalan Allah. Ulama dikenali dengan ibadah dan khusyuk mereka kepada Allah. Ulama dikenali dengan jauhnya mereka dari keburukan dunia dan bujuk rayunya. Ulama dikenali dengan pengakuan oleh umat.
Syarat mutlak untuk disebut sebagai ulama adalah beriman dan bertakwa kepada Allah serta memiliki pengetahuan yang sangat luas lagi dalam tentang ajaran agama Islam dan berbagai pengetahuan umum yang berkaitan dengan kemaslahatan ummat.
Jika gelar ulama datang dari Allah (memiliki ciri-ciri seperti dijelaskan oleh al-Qur`an dan Hadis di atas), maka sesungguhnya tidak akan ada ulama itu yang sesat (bodoh). Akan tetapi nyatanya, berdasarkan sejarah hingga saat ini, memang ada orang-orang bodoh yang dianggap sebagai ulama oleh orang-orang di sekitarnya.
Ulama bukanlah sebuah kelembagaan, organisasi, yayasan, pesantren, dan sejenisnya, namun pribadi ulama bisa saja berada atau muncul di atau dari tempat-tempat itu sebagai pengajar, pendidik, pemimpin, guru spiritual dan lainnya.
Sekarang tentang Ulama Su’ atau ulama jahat. Di riwayatkan dari Anas bin Malik ra. menuturkan sebuah hadis:
ﻭَﻳْﻞٌ ِﻷُﻣَّﺘِﻲْ ﻣِﻦْ ﻋُﻠَﻤَﺎﺀِ ﺍﻟﺴُّﻮْﺀِ ﻳَِﺘَّﺨِﺬُﻭْﻥَ ﻫَﺬَﺍ ﺍﻟْﻌِﻠْﻢَ ﺗِﺠَﺎﺭَﺓً ﻳَﺒِﻴْﻌُﻮْﻧَﻬَﺎ ﻣِﻦْ ﺃُﻣَﺮَﺍﺀِ ﺯَﻣَﺎﻧِﻬِﻢْ ﺭِﺑْﺤﺎً ِﻟﻸَﻧْﻔُﺴِﻬِﻢْ ﻻَ ﺃَﺭْﺑَﺢَ ﺍﻟﻠﻪُ ﺗِﺠَﺎﺭَﺗَﻬُﻢْ
Kebinasaan bagi umatku (datang) dari ulama su’ mereka menjadikan ilmu sebagai barang dagangan yang mereka jual kepada para penguasa masa mereka untuk mendapatkan keuntungan bagi diri mereka sendiri. Allah tidak akan memberikan keuntungan dalam perniagaan mereka itu. (HR al-Hakim)
Sayidina Anas ra juga meriwayatkan:
ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀُ ﺃَﻣَﻨَﺎﺀُ ﺍﻟﺮُّﺳُﻞِ ﻣَﺎ ﻟَﻢْ ﻳُﺨَﺎﻟِﻄُﻮْﺍ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥَ ﻭَ ﻳُﺪَﺍﺧِﻠُﻮْﺍ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓَﺎِﺫَﺍ ﺧَﺎﻟَﻄُﻮْﺍ ﺍﻟﺴُّﻠْﻄَﺎﻥَ ﻭَ ﺩَﺍﺧَﻠُﻮْﺍ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻓَﻘَﺪْ ﺧَﺎﻧُﻮْﺍ ﺍﻟﺮُّﺳُﻞَ ﻓَﺎﺣْﺬَﺭُﻭْﻫُﻢْ ﻭَﻓِﻲْ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔٍ ﻟِﻠْﺤَﺎﻛِﻢِ ﻓَﺎﻋْﺘَﺰِﻟُﻮْﻫُﻢْ
Ulama adalah kepercayaan para rasul selama mereka tidak bergaul dengan penguasa dan tidak asyik dengan dunia. Jika mereka bergaul dengan penguasa dan asyik dengan dunia maka mereka telah mengkhianati para rasul. Karena itu, jauhilah mereka. (HR al-Hakim)
ﻗﺎﻝ ﻋﻤﺮ ﺭﺿﻲ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻨﻪ: ﺇﻥ ﺃﺧﻮﻑ ﻣﺎ ﺃﺧﺎﻑ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﻩ ﺍﻷﻣﺔ ﺍﻟﻤﻨﺎﻓﻖ ﺍﻟﻌﻠﻴﻢ. ﻗﺎﻟﻮﺍ: ﻭﻛﻴﻒ ﻳﻜﻮﻥ ﻣﻨﺎﻓﻘﺎً ﻋﻠﻴﻤﺎً؟ ﻗﺎﻝ : ﻋﻠﻴﻢ ﺍﻟﻠﺴﺎﻥ ﺟﺎﻫﻞ ﺍﻟﻘﻠﺐ ﻭﺍﻟﻌﻤﻞ .
Sayyidina Umar Bin Khoththob ra berkata : “Sesungguhnya paling mengkhawatirkannya yang aku khawatirkan dari umat ini adalah para munafiq yang berilmu.” Para sahabat bertanya “Bagaimana orang munafiq tapi ia alim?” Sayyidina Umar menjawab “Mereka alim dalam lisannya tapi tidak dalam hati dan amaliahnya”
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda;
ﻣَﻦْ ﺗَﻌَﻠَّﻢَ ﻋِﻠْﻤًﺎ ﻣِﻤَّﺎ ﻳُﺒْﺘَﻐَﻰ ﺑِﻪِ ﻭَﺟْﻪُ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﻋَﺰَّ ﻭَﺟَﻞَّ ﻻَ ﻳَﺘَﻌَﻠَّﻤُﻪُ ﺇِﻻَّ ﻟِﻴُﺼِﻴﺐَ ﺑِﻪِ ﻋَﺮَﺿًﺎ ﻣِﻦَ ﺍﻟﺪُّﻧْﻴَﺎ ﻟَﻢْ ﻳَﺠِﺪْ ﻋَﺮْﻑَ ﺍﻟْﺠَﻨَّﺔِ ﻳَﻮْﻡَ ﺍﻟْﻘِﻴَﺎﻣَﺔِ
“Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu (belajar agama) yang seharusnya diharap adalah wajah Allah, tetapi ia mempelajarinya hanyalah untuk mencari harta benda dunia, maka dia tidak akan mendapatkan wangi surga di hari kiamat.” (HR. Abu Daud no. 3664, Ibnu Majah no. 252 dan Ahmad 2: 338).
Pada bagian lain Rasulullah saw. bersabda:
« ﺃَﻻَ ﺇِﻥَّ ﺷَﺮَّ ﺍﻟﺸَّﺮِّ ﺷِﺮَﺍﺭُ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ ﻭَﺇِﻥَّ ﺧَﻴْﺮَ ﺍﻟْﺨَﻴْﺮِ ﺧِﻴَﺎﺭُ ﺍﻟْﻌُﻠَﻤَﺎﺀِ »
Ingatlah, sejelek-jelek keburukan adalah keburukan ulama dan sebaik-baik kebaikan adalah kebaikan ulama. (HR ad-Darimi) .
Abu Hurairah ra. Menuturkan sebuah hadis:
ﻣَﻦْ ﺃَﻛَﻞَ ﺑِﺎﻟْﻌِﻠْﻢِ ﻃَﻤَﺲَ ﺍﻟﻠﻪُ ﻋَﻴْﻨَﻴْﻪِ ( ﺃَﻭْ ﻭَﺟْﻬَﻪُ ﻓﻲِْ ﺭِﻭَﺍﻳَﺔِ ﺍﻟﺪَّﻳْﻠَﻤِﻲْ) ﻭَﻛَﺎﻧَﺖِ ﺍﻟﻨَّﺎﺭُ ﺃَﻭْﻟَﻰ ﺑِﻪِ
“Siapa yang makan dengan (memperalat) ilmu, Allah membutakan kedua matanya (atau wajahnya di dalam riwayat ad-Dailami), dan neraka lebih layak untuknya.” (HR Abu Nu‘aim dan ad-Dailami).
Al Allamah Al-Minawi dalam Faydh al-Qadîr Syarah Jami’ Shogir dari Imam Syuyuthi , mengatakan: “Bencana bagi umatku (datang) dari ulama sû’, yaitu ulama yang dengan ilmunya bertujuan mencari kenikmatan dunia, meraih gengsi dan kedudukan. Setiap orang dari mereka adalah tawanan setan. Ia telah dibinasakan oleh hawa nafsunya dan dikuasai oleh kesengsaraannya. Siapa saja yang kondisinya demikian, maka bahayanya terhadap umat datang dari beberapa sisi. Dari sisi umat; mereka mengikuti ucapan- ucapan dan perbuatan-perbuatannya. Ia memperindah penguasa yang menzalimi manusia dan gampang mengeluarkan fatwa untuk penguasa. Pena dan lisannya mengeluarkan kebohongan dan kedustaan. Karena sombong, ia mengatakan sesuatu yang tidak ia ketahui.” ( Faydh al-Qadîr , VI/369.)
Karena semua itu, Hujjatu Islam Imam al-Ghazali mengingatkan : “Hati-hatilah terhadap tipudaya Ulama Su’. Sungguh, keburukan mereka bagi agama lebih buruk daripada setan. Sebab, melalui merekalah setan mampu menanggalkan agama dari hati kaum Mukmin. Atas dasar itu, ketika Rasul saw ditanya tentang sejahat-jahat makhluk, Beliau menjawab, “Ya Allah berilah ampunan.” Beliau mengatakannya sebanyak tiga kali, lalu bersabda, “Mereka adalah Ulama Su’ .”
Saat ini, adakah ulama su’? Sepertinya banyak… bergelar ulama atau intelektual muslim, tapi berusaha menjauhkan muslim dari Islam dengan menafsirkan al Quran dan as Sunnah sekehendak nafsu mereka. Mereka menjilat ke penguasa dan menjadikan kaum kafir sebagai karib-karibnya.
Dengan keterangan-keterangan di atas, dapat kita simpulkan Yusuf Mansur itu tergolong ulama atau bukan?
Ada cerita menarik pada hari ketika penulis bersama Penasehat Hukum Chaidir Arief dan rekannya melangkah ke Mabes Polri untuk melaporkan Yusuf Mansur. Ini soal Ustad Arifin Ilham.
Siang itu, seorang ustad sahabat Arifin Ilham asal Banjarmasin, mengabari penulis. Lewat komunikasi telepon, ustad itu mengatakan, Yusuf Mansur sudah datang ke Az Zikra, Sentul sejak pukul delapan. Entah apa yang mereka bicarakan, namun kelihatannya soal masalah serius. Begitu cerita si ustad. Penulis merasa, kedatangan Yusuf Mansur ke Arifin Ilham di kediamannya itu adalah untuk membicarakan rencana penulis mempolisikan dirinya.
Benar saja, tak lama setelah itu, ketika penulis dan penasehat hukum berada di jalan menuju Mabes Polri, masuk telepon dari Arifin Ilham. Setelah basa-basi menanyakan kabar berita, Arifin Ilham membuka pembicaraan soal rencana mempolisikan Yusuf Mansur itu. Arifin Ilham dengan segala alasan dan dalil, dia meminta penulis untuk mengurungkan langkah ke kantor polisi. `
Seketika penulis teringat, dalam tahun 2015 dalam suatu kesempatan penulis berada di rumahnya di Kompleks Az Zikra, Sentul. Di hadapan penulis dan beberpa orang yang hadir, Arifin Ilham pernah bertutur, bahwa sudah sering Yusuf Mansur meminta tolong kepadanya jika berhadapan dengan kepolisian atau masalah hukum lainnya. Arifin Ilham ketika itu mencontohkan sebuah kasus yang pernah menimpa Yusuf Mansur beberapa tahun sebelumnya. Kasus itu ditangani Polda Metro Jaya dan sempat ramai di media massa.
Kepada penulis Arifil Ilham kemudian meminta agar penulis tidak membocorkan masalah pelaporan polisi ini kepada wartawan. Arifin Ilham hanya meminta agar proses di polisi didokumentasikan dan diserahkan kepadanya.
Beberapa waktu sebelum Arifin Ilham menghubungi penulis, Yusuf Mansur juga meminta KH. Kholil Ridwan untuk membujuk penulis agar tidak mempolisikan dirinya. Kepada pengasuh Pesantren Husnayain, Cibubur, Jakarta itu penulis sampaikan, bahwa secara pribadi tidak ada masalah dengan Yusuf Mansur. Hanya saja, masalah ini lebih pada amanah orang yang merasa tertipu dengan program sedekah dan investasi Yusuf Mansur. Apalagi penulis merasa mediasi yang diajukan KH. Holil Ridwan tersebut adalah aroma uang dibaliknya.