SEORANG DIKTATOR
Oleh: Zeng Wei Jian
Pra Nazi-takeover, Jerman adalah negeri demokrasi with highly liberal constitution.
In his book “They Thought They Were Free: German 1933-1945”, Milton Mayer bilang, “The burden of self-deception has grown too heavy.”
Rakyat Jerman lupa diri. Ditipu propaganda self-deception. Ngga mampu melihat hal-hal kecil dari future dictator by the name Adolf Hitler. Permisif. Membiarkan. People failed to act on small, incremental steps. Bertahap, step by step, Hitler menjadi diktator. Slowly crawling dan akhirnya “The Jewish swine” dibantai.
Gerakan boikot bisnis Yahudi mulai dirilis tahun 1933, setelah Hitler menjadi Kanselir. Belum jadi fuhrer. Massive violence baru pecah tahun 1938. Setahun kemudian, Jews dimasukan ke dalam ghetto dan digas sampe mati.
Selain crawling to power, seorang diktator berasal dari beragam background. Stalin jebolan seminari. Ngga semua diktator berasal dari militer seperti Augusto Pinochet.
Namun, para diktator memiliki beberapa kesamaan. When they are in power. Mereka mengontrol mass media, membangun personality cult, menggunakan spionase memata-matai rakyat sendiri, dibeking konglomerat, megalomaniak dan extremely narcissistic. Di Thailand, banyak ditemukan lukisan, patung dan berbagai ornament King Bhumibol Adulyadej. Begitu pula dengan Kim Jong-il.
Para diktator tidak memerintah by the common laws. Rezimnya bersifat totaliter dan autocracry. Selain self appointed, ngga ada governing body to check his power. Trias politica ngga berlaku. Saya adalah hukum. Saya adalah negara. The state, it is I. L’ eta, c’est moi. Itu slogan para otokrat gila.
Baru saja, publik Indonesia digegerkan dengan keluarnya Perppu No. 2 Tahun 2017. Sejumlah tokoh kaget. Prof Yusril bilang Perppu ini lebih ganas dari Kolonialis Belanda, Rezim Sukarno dan Orde Baru.
Menurut Djoko Edhi Abdurrahman (Mantan Anggota Komisi III DPR), dengan perppu ini, Menteri Dalam Negeri bisa seenaknya membubarkan ormas. Tanpa keputusan pengadilan. Menurutnya, YLBHI sudah merilis nota “protes sangat keras”. Saya bisa memahami mengapa Djoko Edhi menyatakan “Perppu ini menghapus due process of law.”
Wakil Ketua DPR-RI, Fadli Zon menyatakan “Kelihatannya ada yang sedang belajar jadi ‘diktator’ dengan mau bubarkan ormas secara sepihak, tanpa prosedur yang diatur UU”.
Terus terang, saya ngga percaya Mas Joko mau jadi diktator. Dia presiden merakyat. Sering blusukan. Penampilannya sederhana. Sekalipun hobi nge-vlog. Bahkan, seorang plagiator (AFI) pernah diundang ke istana. Sangat down to earth presiden kita ini. Agar marwah sebagai “presiden merakyat” terjaga, DPR-RI dan Mahkamah Konstitusi harus membatalkan Perppu “problematik” No. 2 tahun 2017 itu.
Bila hendak membubarkan HTI, ya mestinya buktikan dulu kesalahannya. Mekanisme Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan sudah cukup apik. Saya kira, Mas Joko mengerti: tidak pernah ada diktator yang tidak tumbang. Sooner or later.
THE END