thayyibah.com :: Dalam al-Mausu’ah al-Muyasarah fi al-Adyan wa al-Madzahib wa al-Ahzab al-Mu’ashirah dinyatakan:
الكارما – عند الهندوس – : قانون الجزاء ، أي أن نظام الكون إلهي قائم على العدل المحض، هذا العدل الذي سيقع لا محالة إما في الحياة الحاضرة أو في الحياة القادمة ، وجزاء حياةٍ يكون في حياة أخرى ، والأرض هي دار الابتلاء كما أنها دار الجزاء والثواب
Karma menurut masyarakat India: hukum balasan. Artinya merupakan aturan Tuhan di alam ini, yang dibangun di atas prinsip keadilan semata. Keadilan ini pasti akan terjadi, dan tidak bisa dihindari, baik dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan masa mendatang. Balasan satu fase kehidupan ada pada fase kehidupan yang lain. Dunia menjadi negeri ujian, sebagaimana dunia merupakan negeri balasan.
Lebih lanjut, dalam al-Mausu’ah ini juga dinyatakan:
ويظل الإنسان يولد ويموت ما دامت الكارما متعلقة بروحه ولا تطهر نفسه حتى تتخلص من الكارما حيث تنتهي رغباته وعندها يبقى حيًّا خالداً في نعيم النجاة ، وهي مرحلة “النيرفانا”
Setiap manusia akan kembali dilahirkan dan mati, selama karma ini melekat pada ruhnya. Jiwannya tidak akan bisa lepas, sampai terbebas dari karma, ketika semua yang diinginkan mencapai puncaknya. Di situlah dia bisa hidup kekal dalam kenikmatan, yang disebut tingkatan nirwana.
Seperti yang kita pahami, agama dan prinsip hidup yang dianut masyarakat Hindu adalah agama berhala. Prinsip mereka dibangun berdasarkan keyakinan yang salah dan khayalan-khayalan kosong. Sementara hukum karma adalah turunan dari aqidah sesat yang mereka yakini dan mereka jadikan sebagai prinsip hidupnya.
Dari keterangan di atas, kita bisa menyimpulkan beberapa hal yang menunjukkan kesesatan keyakinan hukum karma:
Pertama, keyakinan ini adalah aqidah palsu, buatan manusia, sama sekali tidak dibangun berdasarkan dalil wahyu ilahi yang makshum dari kesalahan. Keyakinan ini murni turunan dari aqidah agama berhala.
Kedua, hukum karma dianggap aturan yang berlaku bagi semua makhluk, semua harus tunduk pada aturan ini. Bisa mengatur takdir dan memberikan balasan terhadap semua amal. Padahal ini adalah keyakinan kekafiran. Karena hanya Allah-lah al-Muhaimin (Yang Mutlak mengatur), Dia yang mengatur segala urusan dan Dia-lah yang menghisab perbuatan manusia.
Ketiga, keyakinan ini merupakan bagian dari aqidah yang batil, bisa mengantarkan manusia pada tingkatan ‘bebas’ selamanya. Itulah tujuan hidup tertinggi menurut mereka. Di sisi lain, karma merupakan balasan bagi setiap perbuatan yang dilakukan manusia. Karena itu, orang tidak bisa lepas dari hukum ini, selama karma masih ada.
Alhamdulillah, kaum muslimin, dengan kemurahan Allah, mereka dibimbing dengan ajaran agama yang benar, sehingga tidak butuh keyakinan menyimpang semacam ini. Cukuplah bagi kita, firman Allah di surat Az-Zalzalah:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ * وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Siapa yang beramal kebaikan seberat telur semut, Dia mengetahuinya, dan siapa yang mwngamalkan keburukan seberat telur semut, Dia mengetahuinya.” (QS. Az-Zalzalah: 7- 8). Allahu a’lam.
Sumber: berdakwah.net