Cara untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu merupakan jalan yang lurus (ash-Shirathal Mustaqim) untuk memahami antara yang haq dan yang bathil, antara yang ma’ruf dan yang mungkar, antara yang bermanfaat dan yang mudharat (membahayakan), dan menuntut ilmu akan membawa kepada kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang muslim tidaklah cukup hanya dengan menyatakan ke-Islamannya tanpa memahami dan mengamalkannya. Pernyataannya itu haruslah dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam.
Untuk itu, menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi.
Seorang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu syar’i.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” [3]
Menuntut ilmu adalah jalan menuju Surga.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“…Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan dirinya dengannya jalan menuju Surga.” [4]
B. Pentingnya Ilmu Syar’i
Kita dan anak-anak kita akan tetap dan senantiasa ditambahkan ilmu, hidayah dan istiqamah di atas ketaatan jika kita beserta keluarga menuntut ilmu syar’i. Hal ini tidak boleh diabaikan dan tidak boleh dianggap remeh. Kita harus selalu bersikap penuh perhatian, serius serta sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Kita akan tetap berada di atas ash-Shiraathal Mustaqiim jika kita selalu belajar ilmu syar’i dan beramal shalih. Jika kita tidak memperhatikan dua hal penting ini, tidak mustahil iman dan Islam kita akan terancam bahaya. Sebab, iman kita akan terus berkurang dikarenakan ketidaktahuan kita tentang Islam dan iman, kufur, syirik, dan dengan sebab banyaknya dosa dan maksiyat yang kita lakukan! Bukankah iman kita jauh lebih berharga daripada hidup ini?
Dari sekian banyak waktu yang kita habiskan untuk bekerja, berusaha, bisnis, berdagang, kuliah dan lainnya, apakah tidak bisa kita sisihkan sepersepuluhnya untuk hal-hal yang dapat melindungi iman kita?
Saya tidaklah mengatakan bahwa setiap muslim harus menjadi ulama, membaca kitab-kitab tebal dan menghabiskan waktu belasan atau puluhan tahun untuk usaha tersebut. Namun, minimal setiap muslim harus dapat menyediakan waktunya satu jam saja setiap hari untuk mempelajari ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Itulah waktu yang paling sedikit yang harus disediakan oleh setiap muslim, baik remaja, pemuda, orang dewasa maupun yang sudah lanjut usia. Setiap muslim harus memahami esensi ajaran Al-Qur-an dan As-Sunnah yang shahih menurut pemahaman para Salafush Shalih. Oleh karena itu, ia harus tahu tentang agama Islam dengan dalil dari Al-Qur-an dan As-Sunnah sehingga ia dapat mengamalkan Islam ini dengan benar. Tidak banyak waktu yang dituntut untuk memperoleh pengetahuan agama Islam. Jika iman kita lebih berharga dari segalanya, maka tidak sulit bagi kita untuk menyediakan waktu 1 jam (enam puluh menit) untuk belajar tentang Islam setiap hari dari waktu 24 jam (seribu empat ratus empat puluh menit).
Ilmu syar’i mempunyai keutamaan yang sangat besar dibandingkan dengan harta yang kita miliki.
C. Kemuliaan Ilmu Atas Harta [5]
Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyah (wafat th. 751 H) v menjelaskan perbedaan antara ilmu dengan harta, di antaranya sebagai berikut:
1. Ilmu adalah warisan para Nabi, sedang harta adalah warisan para raja dan orang kaya.
2. Ilmu menjaga pemiliknya, sedang pemilik harta menjaga hartanya.
3. Ilmu adalah penguasa atas harta, sedang harta tidak berkuasa atas ilmu.
4. Harta bisa habis dengan sebab dibelanjakan, sedangkan ilmu justru bertambah dengan diajarkan.
5. Pemilik harta jika telah meninggal dunia, ia berpisah dengan hartanya, sedangkan ilmu mengiringinya masuk ke dalam kubur bersama para pemiliknya.
6. Harta bisa didapatkan oleh siapa saja, baik orang beriman, kafir, orang shalih dan orang jahat, sedangkan ilmu yang bermanfaat hanya didapatkan oleh orang yang beriman saja.
7. Sesungguhnya jiwa menjadi lebih mulia dan bersih dengan mendapatkan ilmu, itulah kesempurnaan diri dan kemuliaannya. Sedangkan harta tidak membersihkan dirinya, tidak pula menambahkan sifat kesempurnaan dirinya, malah jiwanya menjadi berkurang dan kikir dengan mengumpulkan harta dan menginginkannya. Jadi keinginannya kepada ilmu adalah inti kesempurnaan-nya dan keinginannya kepada harta adalah ketidak-sempurnaan dirinya.
8. Sesungguhnya mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar seluruh ketaatan, sedangkan mencintai harta dan dunia adalah akar berbagai kesalahan.
9. Sesungguhnya orang berilmu mengajak manusia kepada Allah Azza wa Jalla dengan ilmunya dan akhlaknya, sedangkan orang kaya mengajak manusia ke Neraka dengan harta dan sikapnya.
10. Sesungguhnya yang dihasilkan dengan kekayaan harta adalah kelezatan binatang. Jika pemiliknya mencari kelezatan dengan mengumpulkannya, itulah kelezatan ilusi. Jika pemiliknya mengumpulkan dengan mengguna-kannya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya, itulah kelezatan binatang. Sedangkan kelezatan ilmu, ia adalah kelezatan akal plus ruhani yang mirip dengan kelezatan para Malaikat dan kegembiraan mereka. Di antara kedua kelezatan tersebut (kelezatan harta dan ilmu) terdapat perbedaan yang sangat mencolok.
Seorang muslim harus mengetahui tentang pengertian Islam, karena itu ia harus belajar tentang Islam, definisi, dan inti dari ajarannya yang mulia.
[Disalin dari buku Prinsip Dasar Islam Menutut Al-Qur’an dan As-Sunnah yang Shahih, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka At-Taqwa Po Box 264 Bogor 16001, Cetakan ke 3]Footnote
[1]. Lihat surat Ali ‘Imran ayat 91 dan al-Maa-idah ayat 36-37.
[2]. Lihat kitab Taisiirul Kariimir Rahmaan fii Tafsiiril Kalaamil Mannaan (hal. 295-296) oleh Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di (wafat th. 1376 H), cet. Muassasah ar-Risalah, th. 1417 H.
[3]. HR. Ibnu Majah (no. 224) dari Shahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, lihat Shahiih al-Jamii’ish Shaghiir (no. 3913). Diriwayatkan pula dari beberapa Shahabat seperti ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id al-Khudri, Husain bin ‘Ali Radhiyallahu anhum oleh imam-imam ahli hadits lainnya dengan sanad yang shahih. Lihat kitab Takhriij Musykilatul Faqr (no. 86) oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani, cet. IV/ Al-Maktab al-Islami, th. 1414 H.
[4]. HR. Muslim (no. 2699) dan selainnya, dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[5]. Lihat al-‘Ilmu; Fadhluhu wa Syaraafuhu min Durari Kalami Syaikhul Islam Ibnul Qayyim, hal. 160-173, tahqiq wa ta’liq: Syaikh ‘Ali Hasan ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi al-Atsari, cet. I, Majmu’ah at-Tuhaf an-Nafa-is ad-Dauliyah, th. 1416 H.
Sumber: https://almanhaj.or.id/3193-mensyukuri-nikmat-islam-yang-allah-subhanahu-wa-taala-karuniakan-kepada-kita.html