Thayyibah.com:
VILA KECIL ITU BUBAR SUDAH
Oleh: Dr. Amiruddin Rahim, M.Hum
Dakwah ilallah merupakan megaproyek multidimensi yang menawarkan rahmat bagi universum dan humanisme. Namun wadah besarnya telah lama roboh oleh tangan-tangan sekularis, kapitalis, komunis, dan atheis di samping kerapuhan internal yang tak terbenahi. Ketika itu, umat Islam benar-benar berada pada titik nadir peradabannya, sehingga robohnya wadah itu menjadikan umat Islam kocar-kacir bagai anak ayam kehilangan induk. Sejak itu, masing-masing anak peradaban Islam mencoba merajut serpihan-serpihannya, tetapi wadah peradaban yang didirikan belakangan adalah rumah kecil sangat sederhana (RKSS) yang hanya mampu menampung serpihan pemikiran terbatas yang dipungut dari reruntuhan peradaban yang kehilangan induk.
Pascakeruntuhan wadah peradaban (baca: khilafah), para pionir mendirikan rumah-rumah kecil sangat sederhana itu untuk menampung fikrah peradaban. Tersebutlah beberapa pionir seperti Hasan Al-Banna dengan Ikhwan Al-Muslimun-nya, Syekh Muh. Al-Faqie dengan Ansharussunnah Al-Muhammadiyahnya, Taqiyyuddin An-Nabhani dengan Hizbut Tahrirnya, dan ada Syekh Muhammad Ilyas Kandahlawi dengan Jamaah Tabligh-nya, dan masih banyak yang lainnya. Di Indonesia sendiri ada rumah-rumah peradaban nan indah, seperti Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dan yang lainnya. Di beberapa negara muncul beberapa RKSS yang mewadahi fikrah mereka.
Rupanya kehadiran RKSS di dunia Islam menimbulkan efek “rumah kaca”, sehingga rumah yang didirikannya membawa “rasa panas” bagi rumah lain dan juga lingkungannya. Dampaknya, masing-masing rumah itu terkena “panas” yang tak kunjung dingin. Rumah Ikhwanul Muslimin di Mesir dibubarkan oleh pemerintahnya. Anggota keluarganya berkelana di segala penjuru dunia mendirikan vila-vila dengan berbagai bentuk. Hizbut Tahrir tak ketinggalan membangun rumahnya sendiri, juga membangun vilanya di Indonesia dengan nama HTI yang baru saja diruntuhkan oleh pemerintah Indonesia, karena memantulkan “panas”, katanya.
Rumah HTI selama ini tergolong vokal menyuarakan pembangunan wadah besar peradaban Islam yang bernama khilafah, sehingga beberapa rumah dan villa lainnya serta anak cucu pembubar khilafah merasa gerah. Akibatnya, HTI dibubarkan. Ia kehilangan villa dakwahnya di Indonesia. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Sekarang HTI tak punya vila lagi. Anggotanya mungkin pada sedih dan marah. Apakah HTI akan mengggugat pemerintah secara hukum, lalu membangun kembali vilanya? Apakah ia akan membangun pondok kecil yang indah atau ia menjadi nomaden? Saran saya, mari bergabung saja dengan rumah lainnya sambil mengharmonisasi diri dan mengurangi teriakan, lalu bekerja lebih nyata sambil belajar memahami perasaan orang lain yang bertetangga dengannya. Insya Allah bersama dan bekerja sama kita bisa menghadirkan kembali wadah besar peradaban Islam. Amin.
Kendari, 9 Mei 2017
Bertepatan dgn Penjatuhan Vonis Penista Agama