Thayyibah.com:
Oleh DR. M. KAPITRA AMPERA, SH.,MH
(TIM ADVOKASI GNPF-MUI PUSAT)
Hampir tidak pernah terjadi dalam persidangan di pengadilan, Penasehat Hukum Terdakwa lebih fokus menggali latar belakang (personality), masa lalu, riwayat pekerjaan para saksi dari pada mengeksplorasi substansi pokok perkara guna menemukan kebenaran materil suatu tindak pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah menempatkan Hakim dalam posisi yang memiliki peranan penting dalam proses persidangan. Pasal 183 KUHAP menyebutkan bahwa dalam mengambil suatu keputusan hukum atas suatu perkara, hakim harus mempertimbangkan semua bukti-bukti yang diperiksa pada proses pembuktian yang pemidanaannya didasarkan pada pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag), yaitu sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah disertai dengan keyakinanannya dalam menilai kebenaran dari suatu tindak pidana. (Negatief Wettelijk Bewijstheory)
Bahwa, tercermin dalam pasal 184 ayat (1) KUHAP, peranan keterangan saksi dalam sistem pembuktian sangat dibutuhkan dalam memperoleh kebenaran materiil, sehingga memiliki peranan yang penting dibandingkan alat bukti lainnya yang dijadikan dasar oleh Hakim dalam menghasilkan putusan pengadilan yang objektif dan adil. Dengan menyebutkan “keterangan saksi” sebagai alat bukti pertama, dapat diduga bahwa para pembentuk undang¬-undang ini berpandangan bahwa alat bukti ini merupakan alat bukti yang paling kuat. Keterangan saksi yang diperlukan pada proses pembuktian, telah diuraikan pada pasal 1 angka 26 KUHAP dan pasal 1 angka 27 KUHAP Jo Putusan Mahkamah Konstitusi No. 65/PUU-VIII/2010 tanggal 8 Agustus 2011 yaitu “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
Pengertian saksi dan keterangan saksi yang telah diubah dengan putusan Mahkamah Konstitusi diatas telah menimbulkan suatu hak bagi setiap orang untuk menyampaikan keterangannya sebagai saksi, sepanjang keterangan yang diberikannya di persidangan tersebut relevan dengan perkara pidana yang sedang diproses. Sahnya keterangan saksi apabila disampaikan dibawah sumpah atau janji baik dilakukan sebelum pemeriksaan (promisoris) maupun setelah pemeriksaan (Assertoris). hal ini mutlak dilakukan karena telah diatur dalam pasal 160 ayat (3) dan (4) KUHAP. Selanjutnya, dalam menilai relevansi dan kebenaran keterangan yang disampaikan saksi adalah merupakan wewenang dari Majelis Hakim.
Relevansi yang dimaksud diatas adalah Keterangan saksi dipersidangan yang diperlukan untuk digali adalah dalam kaitan dengan pengetahuannya tentang perkara yang sedang diperiksa. Dalam kasus Tindak Pidana Penistaan Agama yang dilakukan oleh Sdr. Basuki Tjahaya Purnama atau AHOK, pembuktian yang dibutuhkan dari keterangan saksi-saksi adalah sepanjang pengetahuan saksi tentang Penyampaian pidato Ahok yang diduga menistakan agama, apakah yang saksi lihat sendiri, saksi ketahui melalui pihak lain/alat komunikasi, serta alasan pengetahuan saksi atas peristiwa tersebut. Maka, sangat tidak relevan apabila pertanyaan yang diajukan kepada saksi adalah seputar personal saksi yang tidak ada hubunganya dengan peristiwa pidana yang sedang dicari kebenaran materilnya.
Diakui oleh Penasehat Hukum terdakwa, bahwa ada upaya untuk menghancurkan kredibilitas saksi sehingga diajukannya pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menjerat, seolah-olah para saksi tidak kredible dalam memberikan keterangannya. Hal ini sesungguhnya tidak berguna bagi proses pembuktian, jika hakim bersifat objektif maka hakim dapat menilai keterangan yang digali oleh Penasehat Hukum terdakwa sangat tidak relevan dengan materi perkara. Namun, pertanyaan yang menyerang personal saksi ini (attack to personal), menyebabkan terhambatnya kebebasan saksi dalam menyampaikan pengetahuannya, karena saksi telah diperlakukan tendensius dengan menyatakan hal yang tidak benar dan tidak dapat dipercaya.
KUHAP sesungguhnya telah dengan tegas melarang mengajukan pertanyaan yang menjerat, pasal 166 KUHAP menyebutkan “Pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi”. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa keterangan saksi harus diberikan secara bebas, sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan pasal 185 ayat 6 yang menekankan keterangan saksi harus benar-benar diberikan secara bebas, jujur, dan objektif dan juga dilindungi dengan Undang-undang No 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Pasal 5 ayat 1 huruf c dan e yang berbunyi: “Seorang Saksi dan Korban berhak: c. memberikan keterangan tanpa tekanan; e. bebas dari pertanyaan yang menjerat.”
Upaya penasehat hukum dalam menghancurkan kredibilitas saksi ini dikenal dengan Witness as product of bullying and harassment, yaitu pertanyaan yang diajukan berulang-ulang, tidak relevan, dengan membenturkan opini seakan-akan saksi telah melakukan kebohongan/sesuatu yang tidak benar. Hal ini sangat berpengaruh pada pandangan sebagian masyarakat yang menganggap saksi tidak kredible/berbohong, fokus pemberitaan jalannya persidangan menjadi berubah ke arah saksi sehingga pemeriksaan terhadap perkara tindak pidananya menjadi samar. Dikhawatirkan adanya tekanan bagi saksi-saksi yang akan memberikan keterangan karena pengaruh media massa dan pandangan masyarakat atas opini yang berasal dari pernyataan yang digiring sengaja oleh Penasehat Hukum untuk mengkriminalisasi para saksi.
Tuduhan Terdakwa dan Penasehat Hukumnya tentang saksi yang memberikan keterangan palsu merupakan hak yang diluar kewenangannya. Menilai kebenaran dan relevansi keterangan saksi murni merupakan kewenangan majelis hakim. Apabila hakim merasa saksi memberikan keterangan yang tidak benar/bohong, maka dalam praktiknya hakim akan mengkonfrontir keterangan saksi yang diduga palsu tersebut dengan keterangan saksi lain apakah ada persesuaian atau tidak, hal ini didasarkan pada pasal 165 KUHAP. Jika hakim yakin saksi tersebut menyampaikan keterangan palsu, akan memperingati saksi tersebut untuk memberikan keterangan yang benar. Jika tetap diacuhkan maka sesuai pasal 174 KUHAP Hakim bisa memerintahkan Jaksa untuk menahan saksi, dan melakukan penuntutan terhadap saksi dengan dakwaan memberikan keterangan palsu yang sesuai pasal 242 KUHP diancam dengan hukuman penjara paling lama 9 (sembilan tahun). Namun, pada kasus ini tuduhan tentang keterangan palsu hanya disebutkan oleh Terdakwa dan Penasehat Hukumnya. Majelis Hakim tidak pernah menyatakan saksi memberikan keterangan palsu, bahkan tidak pernah adanya teguran dari Majelis Hakim terhadap saksi. Oleh karenanya, tuduhan Penasehat Hukum dan terdakwa tentang saksi memberikan keterangan palsu adalah tidak berdasar dan diluar kewenangan yang dimilikinya, dan hal tersebut juga merupakan upaya itikad buruk Penasehat Hukum untuk menghancurkan kredibilitas saksi.
Disisi lain, Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006, Pasal 10 ayat (1) menyatakan, bahwa: Saksi, Korban, dan pelapor tidak dapat dituntut secara hukum baik pidana maupun perdata atas laporan, kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya. Aturan inilah yang menjamin apabila saksi, korban, dan pelapor memberikan keterangan di persidangan, maka tidak dapat dituntut secara hukum. Dengan jaminan aturan ini, maka tidak ada dasar bagi pihak terdakwa untuk menekan para saksi dengan ancaman akan melaporkan saksi dengan tuduhan memberikan keterangan palsu.
Jika terdakwa/penasehat hukumnya tetap melaporkan saksi meskipun tidak ada perintah maupun pernyataan Majelis Hakim bahwa saksi memberikan keterangan palsu, maka terhadap si pelapor, saksi dapat melaporkan balik berdasarkan ketentuan pasal 317 KUHP tentang mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu, yang berbunyi:
“Barang siapa dengan sengaja mengajukan pengaduan atau pemberitahuan palsu kepada penguasa, baik secara tertulis maupun untuk dituliskan, tentang seseorang sehingga kehormatan atau nama baiknya terserang, diancam karena melakukan pengaduan fitnah, dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Pelaporan balik ini memungkinkan dilakukan karena laporan yang dilakukan Pihak terdakwa adalah tidak berdasar, padahal pihak terdakwa mengetahui bahwa tuduhannya tidak benar karena tidak pernah ada perintah atau pernyataan majelis hakim yang menyatakan saksi menyampaikan keterangan palsu. Namun, tetap mengajukan laporan tersebut, dengan maksud untuk menyerang kehormatan atau nama baik saksi.
Bahwa, segala upaya yang dilakukan Terdakwa dan Penasehat Hukumnya yang tidak ada hubungannya dengan pemeriksaan perkara terdakwa, adalah bentuk Kriminalisasi terhadap para saksi. Namun, dengan perlindungan yang diberikan perundang-undangan, maka para saksi tidak perlu khawatir dan terpengaruh dengan opini publik untuk tetap menyatakan segala kebenaran dan pengetahuannya tentang Tindak Pidana Penistaan Agama yang dilakukan oleh Terdakwa. Accuser les gens de faire le mal est un crime.. Victorioso Testigo!… (Dr. K/A).