thayyibah.com :: Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah -rahimahullaah- berkata: “Termasuk Kaidah Syariat dan (suatu hal yang juga sesuai dengan) Hikmah adalah: Bahwa siapa saja yang banyak dan besar kebaikannya, dan punya pengaruh yang jelas dalam Islam, maka dia diberikan uzur dalam sesuatu, yang mungkin orang lain tidak diberikan uzur. Dan dimaafkan baginya, yang mungkin tidak dimaafkan bagi orang lain. Karena kemaksiatan adalah ibarat kotoran/najis, sedangkan (kebaikan ibarat) air, (yang) kalau sudah sampai dua “Qullah”, maka tidak akan ternajisi. Berbeda dengan air yang sedikit, maka bisa ternajisi dengan sedikit kotoran yang masuk ke dalamnya.
Di antaranya adalah sabda Nabi ﷺ kepada ‘Umar (yang hendak membunuh Hathib bin Abi Balta’ah karena dianggap pengkhianat-pent): “Tahukah kamu, boleh jadi Allah telah menyaksikan Ahli Badar kemudian berfirman: Beramallah sesukamu, karena sungguh Aku telah mengampuni kalian.”
[Muttafaqun ‘Alaihi: HR. Al-Bukhari (no. 3007) dan Muslim (no. 2494)]Inilah yang mencegah beliau ﷺ untuk membunuh orang yang telah memata-matai beliau dan kaum Muslimin, serta melakukan dosa besar tersebut. Maka beliau ﷺ mengabarkan bahwa dia (Hathib bin Abi Balta’ah) telah mengikuti Perang Badar. Maka hal ini menunjukkan, bahwa yang menuntutnya untuk dihukum sudah ada. Akan tetapi ada hal yang menghalangi untuk terlaksananya, berupa keutamaannya karena menghadiri perang yang agung ini. Maka ketergelinciran yang besar tersebut termaafkan, jika dibandingkan dengan kebaikan-kebaikannya…
Contoh lainnya adalah Nabi Musa, nabi yang diajak bicara oleh Allah-‘Azza Wa Jalla. Beliau melemparkan “Alwaah” yang berisi firman Allah yang Dia tuliskan untuknya [sebagaimana dalam QS. Al-A’raaf: 150]:
(Musa) melemparnya sampai pecah [sebagaimana dalam HR. Ahmad (no. 2447- cet. Daarul Hadiits), dan lainnya].
(Musa) juga pernah menampar mata malaikat maut sampai copot [sebagaimana dalam HR. Al-Bukhari (no. 1339) dan Muslim (no. 2372)]…
Dan juga pernah mengambil jenggot Harun dan menariknya, padahal dia (Harun) adalah seorang nabi Allah.
Semua ini tidak mengurangi kedudukan Nabi Musa di sisi Allah sama sekali. Dan Allah -Ta’aalaa- (tetap) memuliakannya dan mencintainya. Dikarenakan tugas (berat) yang diemban Musa, musuh yang dihadapinya, kesabaran (ekstra) yang dipikulnya, dan gangguan yang dia tanggung karena Allah, maka perkara-perkara yang disebutkan (sebelumnya) tadi tidak mempengaruhi, tidak mengubah, dan tidak menurunkan kedudukan beliau.
Dan ini adalah perkara yang sudah maklum di mata manusia. Telah menetap di fitroh mereka, bahwa orang yang memunyai ribuan kebaikan, maka dia dimaafkan dengan sebab satu atau dua kesalahan dan yang semisalnya…”
[“Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/526-527-tahqiiq Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi)]Syaikh ‘Ali bin Hasan Al-Halabi -hafizhahullaah- memberikan catatan:
“Dan di sini harus ada pengikat (bagi kaidah ini- pent)…yaitu: Bahwa kebaikan (yang dominan) bisa mengalahkan kejelekan, hanya (bisa dipraktikkan) setelah tegaknya kaidah Manhaj yang benar dalam menerima Syariat, yaitu: dengan berlandaskan Al-Kitab dan As-Sunnah menurut pemahaman Salaf…”
[Ta’liiq “Miftaah Daaris Sa’aadah” (I/527)]Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Dikenal Lebih Keras dan Tegas Dibandingkan Muridnya (Imam Ibnul Qayyim).
“Kekuatan dalam berdebat dan menegakkan hujjah adalah didapatkan Ibnul Qayyim dari gurunya (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah). Hanya saja beliau (Ibnul Qayyim) lebih tenang dan sabar dalam debat dan diskusinya. Berbeda dengan apa yang dikenal berupa sifat keras dan agresif (dalam menyerang lawan) yang ada pada gurunya (Ibnu Taimiyyah).
Dan boleh jadi (sifat-sifat) tersebut muncul karena Ibnu Taimiyyah adalah pemimpin gerakan perbaikan ini dan pembawa panjinya, sehingga perselisihan antara dia dan musuh-musuhnya mendesak masing-masing kubu untuk mengeluarkan segenap usaha yang dimiliki untuk menjatuhkan lawannya…”
[“Ijtihaad Wat Tajdiid Fit Tasyrii’ Al-Islaami” (hlm. 292), sebagaimana dinukil oleh Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman -hafizhahullaah- dalam Muqaddimah-nya terhadap “I’laamul Muwaqi’iin” (hlm. 161)]Semoga ini bisa menjadi pelajaran bagi kita untuk senantiasa memberikan uzur dan maaf terhadap sikap tegas ustad-ustadz besar kita, yang perjuangan mereka dalam mengemban dan mengembangkan Dakwah Salaf di negeri ini, setelah pertolongan dari Allah, tidak bisa diingkari oleh kawan maupun lawan.
Berikanlah uzur kepada ustad-ustadz besar tersebut…
Bukannya menjatuhkan, mencela atau menyindir dengan mengatakan:
“Ambil ilmunya, jangan akhlaknya.” (!)
Atau mengatakan:
“Banyak yang tidak suka terhadap sikapnya.” (!!)
Atau:
“Tidak cocok untuk orang awam.” (????!!!!!)
Allaahul Musta’aan.
…فَأَمَّا الزَّبَدُ فَيَذْهَبُ جُفَاءً وَأَمَّا مَا يَنْفَعُ النَّاسَ فَيَمْكُثُ فِي الأرْضِ كَذَلِكَ يَضْرِبُ اللَّهُ الأمْثَالَ
“…Adapun buih, maka akan hilang sebagai sesuatu yang tidak ada gunanya. Tetapi yang bermanfaat bagi manusia, (itulah yang) akan tetap ada di bumi. Demikianlah Allah membuat perumpamaan.” (QS. Ar-Ra’d: 17)
Diambil dari: Al-Maqaalaat (I/103-108) / (put/thayyibah)