thayyibah.com :: Jika bulan Dzulhijjah telah tiba yang ditunjukkan dengan terlihatnya bulan sabit (hilal) atau dengan cara menggenapkan bulan Dzulqa’dah menjadi tiga puluh hari, maka kepada orang – orang yang dikaruniakan kelapangan rezeki dan berniat berqurban diharamkan untuk : memotong rambut, kuku serta kulitnya meskipun hanya sedikit hingga setelah ia selesai melaksanakan penyembelihan qurban.
Hal ini berdasarkan hadits dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, Nabi bersabda :
إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِي الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِيَّ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ
“Jika kalian telah melihat hilal Dzulhijjah (dalam lafal lain : telah tiba sepuluh awal Dzulhijjah) dan salah satu kalian ingin berqurban, maka hendaklah ia biarkan rambut dan kukunya dan tidak dipotong.”(HR. Muslim dan Ahmad)
Dalam lafal lainnya disebutkan,
فَلا يَأْخُذْ مِنْ شَعْرِهِ وَ اَظْفارِهِ شَيْئًاحَتَّى يُضَحِّيَ
“Maka janganlah ia mengambil rambut dan kukunya sedikitpun hingga ia berqurban.”
Dalam lafal lainnya juga disebutkan,
فَلا يَمَسَّ مِنْ شَعْرِهِ وَلا بَشَرِهِ شَيْأً
“Maka janganlah ia menyentuh rambut dan kulitnya sedikitpun.”
Jika ada orang yang timbul niat berqurban pada pertengahan sepuluh hari pertama maka hendaklah ia membiarkan rambut, kuku dan kulitnya sejak ia berniat.
Tidak ada dosa baginya apa yang ia lakukan sebelum ia berniat.
Imam Nawawi rahimahullah berkata : “Maksud larangan tersebut adalah dilarang memotong kuku dengan gunting dan semacamnya, memotong rambut; baik gundul, memendekkan rambut, mencabutnya, membakarnya atau selain itu. Dan termasuk dalam hal ini, memotong bulu ketiak, kumis, kemaluan dan bulu lainnya yang ada di badan.”(Syarah Muslim 13/138)
Berkata Ibnu Qudamah rahimahullah : “Siapa yang melanggar larangan tersebut hendaknya minta ampun kepada Allah dan tidak ada fidyah (tebusan) baginya, baik dilakukan sengaja atau lupa.”(Al-Mughni11/96)
Dari keterangan di atas maka larangan tersebut menunjukkan haram. Demikian pendapat Said bin Musayyib, Rabi’ah, Ahmad, Ishaq, Daud dan sebagian Madzhab Syafiiyah.(Dan hal itu dikuatkan oleh Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar juz 5 hal. 112 dan Syaikh Ali Hasan dalam Ahkamul Iedain).
Hikmah larangan ini adalah adanya persamaan antara orang yang berqurban dengan orang yang melaksanakan ibadah haji, yakni dalam rangka mendekat diri kepada Allah dengan menyembelih qurban.
Oleh karena itu sama pula halnya dengan orang yang keadaan ihram, yakni tidak boleh memotong kuku dan semacamnya.
Hukum ini hanya berlaku untuk orang yang berqurban, dan hukum ini berkaitan dengan orang yang berqurban, karena Nabi menyatakan “Dan salah satu di antara kalian ingin berqurban”, Nabi tidak menyatakan “Ingin berqurban untuknya”.
Nabi juga berqurban untuk keluarganya dan tidak ada keterangan dari beliau bahwa beliau memerintahkan mereka untuk tidak memotong kuku, rambut dan kulit.
Oleh karena itu bagi keluarga orang yang berqurban pada sepuluh awal Dzulhijjah boleh mengambil dan memotong rambut, kuku dan kulit. Jika ada orang yang ingin berqurban terlanjur mengambil dan memotong sebagian rambut, kuku dan kulitnya maka kewajibannya hanya bertaubat dan berniat untuk tidak mengulangi. Namun tidak ada denda (kaffarah) untuknya dan pelanggaran ini tidak menghalangi untuk berqurban sebagaimana sangkaan sebagian orang awam.
Jika larangan ini dilanggar karena lupa atau karena tidak mengetahui bahwa ia melanggar hukum di atas atau ada rambut yang jatuh tanpa sengaja maka tidak ada dosa baginya. Adapun jika terdapat suatu keperluan yang mendesak diperkenankan memotong kuku, rambut dan kulitnya dan hal itu tidak menyebabkan dia menanggung dosa. Sebagai misal, kukunya pecah sehingga mengganggu lalu dia gunting atau ada rambut yang mengenai matanya lalu disingkirkan dengan dipotong atau ia perlu menggunting rambut dalam rangka untuk mengobati lukanya, hal yang demikian tidaklah mengapa.
Sumber: http://wahdah.or.id