thayyibah.com :: Pada saat Muhammad Al-Fatih berusia awal belasan tahun, dia sudah menguasai beberapa bahasa asing. Al-Quran sudah melekat di otaknya. Ilmu-ilmu kesusasteraan, ilmu politik, strategi peperangan militer, skill kepemimpinan dan segala yang dibutuhkan oleh seorang komandan pertempuran, telah ia kuasai di rentang masa remajanya. Di masa yang sama, anak remaja masa kini banyak menghabiskan masa sweet seventeen-nya—sebagai puncak masa remaja—untuk hura-hura, pacaran, dan nongkrong-nongkrong bareng. Maka tidak heran, di usia yang masih sangat belia, lebih kurang 23 tahun, Muhammad sudah mampu menjebol benteng Konstantinopel yang dikenal super kokoh tak tertandingi di zamannya. Subhânallâh!
Sekarang, kalau kita cerminkan kepada diri kita, capaian apa yang sudah kita punya? Prestasi apa yang sudah patut kita ‘banggakan’? Kita ambil satu poin dulu: Al-Quran.
Sudah berapa juz Al-Quran yang kita hafalkan? Sebelum itu, sudah berapa kali kita mengkhatamkan bacaan Al-Quran? Sudahkah sebanyak bilangan usia kita? Kalau belum, berarti harus kita kejar.
Di sisa usia kita, akankah kita mampu menyematkan MAHKOTA MUTIARA di atas kepala kedua orang tua kita kelak di surga? Mereka amat merindukan itu pastinya. Meskipun, tak pernah terucap kata-kata permintaan itu kepada kita. Mestinya kita, sebagai anak, sadar akan hal itu. Kita adalah aset mahal yang mereka miliki. Mari berusaha menjadi anak kebanggaan orang tua di akhirat.
Pernah kita dengar riwayat hadits bahwa anak yang hafal Al-Quran, kelak orang tuanya akan diberi mahkota di atas kepalanya, di surga? Nah, ini seharusnya lebih memotivasi kita untuk sesegera mungkin mulai menghafal Al-Quran. Secara perhitungan manusia, usia remaja adalah usia dimana masih cukup panjang waktu untuk menghafal Al-Quran. Maka harus dimaksimalkan.
Mulai sekarang juga, jangan tunda-tunda. Kalau kata orang Barat, “time is money”. Buat kita, “time is sword”. Nanti kalau sudah tambah umur, sudah banyak pikiran, banyak urusan, menghafal jadi lebih berat gangguannyaa. Kita terpenggal oleh waktu kita. Masa remaja adalah masa-masa emas (golden age) untuk menghafal Al-Quran. Jangan sampai terlewatkan hingga menyesal esok hari. Niatkan untuk mempersembahkan “hadiah” terbaik kepada orang tua dengan hafalan kita.
Kemudian, persembahan berikutnya melalui doa-doa. Doa anak-anak shalih selalu dinanti-nantikan orang tua. Terlebih, bagi orang tua kita yang sudah berada di alam kubur. Yang mereka andalkan tinggal doa-doa anak-anaknya yang shalih, yang memohonkan ampun baginya, yang memohonkan agar orang tuanya ditempatkan di jannah yang damai. Kitalah harapan mereka. Siapa lagi yang bisa membantu?
Maka, PR kita adalah bagaimana agar diri kita menjadi orang-orang shalih yang didengar doanya oleh Allah. Ini cara kita berbakti pada orang tua yang sudah meninggal dunia. Jangan pernah lupa mendoakan orang tua setelah shalat lima waktu!
Setelah berusaha menjadi kebanggaan bagi orang tua, mari kita bergegas naik level mengejar target untuk berkhidmat kepada yang lebih luas. Seperti Muhammad Al-Fatih yang menjadi kebanggaan umat Islam sepanjang sejarah. Namanya dikenang harum karena kebaikannya. Itulah lisânu shidqin (buah bibir yang baik). Jangan sampai kita diingat orang karena keburukan kita. Na’ûdzubillâh min dzâlik.
Ini adalah proses panjang yang harus kita tempuh jika ingin menjadi hamba Allah yang istimewa. Kalau kita tidak punya cita-cita seperti itu, alangkah ruginya hidup ini. Jadi orang biasa-biasa saja itu bukan cita-cita muslim. Muslim itu punya ‘uluwwul himmah (tekat yang kuat dan cita-cita tinggi).
Agar menjadi seperti Al-Fatih, maka kita selalu berdoa, allahummaj’alnâ min junûdika (ya Allah, jadikanlah kami sebagai tentara-tentara-Mu). Kita berharap bisa menjadi orang-orang yang siap siaga membela agama Allah. Kenapa harus membela agama Allah?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ
“Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (Muhammad: 7)
Untuk mencapai cita-cita ini, selain berdoa, kita juga harus menempuh proses berlatih, berlatih dan berlatih keras. Al-Fatih juga dulu begitu. Fisiknya ditempa, mentalnya diasah, ruhiahnya dibentuk.
Pertama, soal fisik, lewat latihan berkuda, memanah, renang (sibahah) dan beladiri. Di antara hal-hal itu, mana yang paling memungkinkan untuk kita lakukan? Mulai dari yang paling sederhana. Untuk melatih kekuatan fisik secara teratur, bisa dengan melakukanpush-up seecara rutin. Misalnya push-up jangan kurang dari 10x dalam sehari. Sit-up juga begitu. Insyaallah, kalau kita ajeg melakukannya, badan lebih bugar dan sewaktu-waktu dibutuhkan untuk melakukan gerakan-gerakan berat apalagi ekstrem tidak kaget.
Coba saja dulu istiqomah melakukan push-up per-hari 10 kali selama 2 bulan, misalnya. Pasti kita akan merasakan bedanya. Jangan lupa, saat latihan selalu kita niatkan untuk ibadah. I’dad fi sabilillah. Itu karena seandainya saat melakukan latihan kita mengalami cidera misalnya, cidera kita itu tidak sia-sia, tapi dapat pahala i’dad. Enak kan jadi muslim?Subhânallâh!
Kedua, soal mental atau akal. Kita bisa latih otak kita dengan mempelajari bahasa Arab. Kok bahasa Arab? Iya, ini salah satunya saja. Bahasa Al-Quran ternyata akan mengangkat kecerdasan otak kita ke level yang lebih tinggi kalau kita terus mempelajarinya dengan serius. Ada ayat Al-Quran yang mengatakan,
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al-Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.” (Yûsûf: 2)
Kalau kita membaca Tafsir Syaikh As-Sa’di, beliau mengatakan bahwa maksud katala’allakum ta’qilûn adalah, “Agar bertambah kecerdasanmu dengan terulang-ulangnya makna-makna ayat Al-Quran yang tinggi lagi mulia dalam pikiranmu. Sehingga, derajatmu beranjak naik dari satu level ke level-level berikutnya yang lebih tinggi dan lebih sempurna.”
Subhanallah! Makanya, ayo jangan malas-malas belajar bahasa Arab. Selain untuk asah otak, bahasa Arab sekarang sudah menjadi bahasa dunia. Tiga bahasa utama yang mendominasi dunia sekarang yaitu bahasa Arab, bahasa Inggris dan bahasa Prancis. Dan, orang kalau sudah mahir bahasa Arab, biasanya cenderung lebih mudah belajar bahasa-bahasa lainnya. Ini tantangan. Harus kita coba. Optimis bisa, insyaallah!
Selanjutnya, yang ketiga, tentang pembentukan kekuatan ruhiah. Ini sangat prinsip. Ini yang lebih diutamakan Nabi sebagai dasar membentuk dua kekuatan lainnya di atas tadi. Ini soal hati. Soal kualitas ibadah dan kedekatan kita kepada Allah. Semakin dekat kita kepada Allah, maka semakin kuat ruh kita. Sebab, Allah akan selalu menyertai kita. Hati kita dibimbing-Nya. Telinga, kaki, tangan, dan seluruh indera kita di bawah bimbingan dan kawalan Allah. Kita ingin mencapai ma’iyyatullah di sini. Suatu level (maqam) di mana Allah selalu menyertai langkah hidup kita dan menolong serta memenangkan kita atas musuh-musuh kita. Allahu akbar!
Allah hanya akan menolong hamba-Nya yang dekat dan taat kepada-Nya. Dulu ada sahabat Nabi, kalau tidak salah Abdullah bin Rawahah, yang mengatakan,
لاَ نُقَاتِلُهُمْ بِعَدَدِنَا وَلاَ قُوَّتِنَا وَإِنَّمَا نُقَاتِلُهُمْ بِدِيْنِنَا الَّذِي أَكْرَمَنَا اللهُ بِهِ
“Kami tidak memerangi musuh kami dengan modal kekuatan dan mengandalkan banyaknya jumlah tentara kami. Tetapi, kami berperang melawan mereka dengan bekal agama yang mana Allah telah memuliakan kami dengan agama itu.”
Maksudnya, mereka berperang dengan bekal amal ketaatan dan kualitas ibadah kepada Allah. Kekuatan apapun tidak akan pernah bisa menang melawan orang taat ibadah. Senjata itu tergantung orang yang memegangnya. Kalau pemegangnya orang yang bertaqwa, insyaallah menang.
Sebaliknya, kalau yang memegang ahli maksiat tidak akan menang, meskipun secara fisik badannya besar dan lengannya kekar-kekar. Jadi, semakin taat akan semakin kuat. Makin banyak maksiat, makin lemah fisik kita dibuat. Kekuatan orang terletak pada hatinya. Badan sebesar apapun kalau hatinya lemah, nyalinya ciut, tidak ada gunanya!
Meski tubuh kecil, kalau mental dan jiwanya besar, pasti akan tampak berwibawa dan menggentarkan lawan yang memandang. Apalagi kalau badannya besar. Inilah efek kekuatan ruh. Kekuatan dari dalam yang dititipkan oleh Allah kepada ahli ibadah. Kata Imam Asy-Syafi’i dalam sepenggal syairnya,
لَوْ كَانَتِ النُّفُوْسُ كِبَارًا تَعِبَتْ فِـي مُرَادِهَا اْلأَجْسَامُ
“Kalau seandainya jiwa itu besar, niscaya badan akan kelelahan menuruti kemauannya.”
Mari besarkan jiwa kita. Kuatkan mental dan fisik untuk menyambut hari-hari penuh pahala dalam amal islami. Mari kita tapaki jejak Muhammad Al-Fatih dalam membela Islam.*
Semoga bermanfaat
Ruhiyah dan Rupiah
Bersih Hati Sukses Ekonomi (put/thayyibah)