thayyibah.com :: Di perusahaan saya bekerja perusahaan memberi peraturan jam istirahat makan siang jam 12.00-12.40 tetapi rekan-rekan kerja saya banyak yang korupsi waktu dgn istirahat duluan yaitu jam 11.30 denganmasuk jam yang sama 12.40 , itu bagaimana ya hukumnya, apakah diperbolehkan?
Perbuatan itu adalah suatu kesalahan, mengingat aturan yang dilanggar. Apabila gaji yang diberikan kepada mereka full tanpa dipotong perbuatan mereka “mencuri-curi waktu” maka gaji yang mereka terima tidak seluruhnya halal, sebab gaji mereka diberikan sebagai kompensasi jam kerja full yang mereka isi dengan pelayanan terhadap lembaga atau perusahaan tempat ia bekerja, apabila ia tidak full dalam bekerja sedangkan gajinya diberikan secara sempurna berarti ada ketimpangan yang bersumber dari pegawai dan otomatis apa yang ia terima sebagiannya tidaklah halal.
Syaikh Utsaimin pernah menerangkan:
Seandainya kita melihat masyarakat kita pada hari ini niscaya kita akan mendapati tidak ada yang selamat dari sifat yang seseorang bisa dihukumi dengan kefasiqan karenanya kecuali yang Allah kehendaki (selamat dari itu), seperti perbuatan ghibah yang termasuk perbuatan fasiq (dan banyak terjadi), dan bolos kerja yang terus dilakukan, serta perbuatan pegawai yang terlambat masuk kerja (yang telah dimulai satu jam sebelumnya) dan pulang kerja 1 jam lebih cepat dari yang seharusnya misalnya. Terus menerus melakukan hal itu adalah termasuk kefasiqan karena ini termasuk pengkhianatan dan bertentangan dengan amanah serta memakan harta dengan cara yang batil, SEBAB SETIAP GAJI YANG ANDA TERIMA TANPA DIIMBANGI DENGAN PEKERJAAN MAKA INI TERMASUK MEMAKAN HARTA DENGAN CARA YANG BATIL. [Asy-Syarh al-Mumti’ 15/278]
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa pernah ditanya: Para pegawai yang terikat jam kerja resmi, keluar (tempat kerja.red) ditengah-tengah jam kerja untuk melakukan jual beli, apa hukum perbuatan mereka itu?
Mereka menjawab: Keluarnya pegawai ditengah jam kerja untuk jual beli tidaklah diperbolehkan, baik itu mendapat izin dari penanggung jawab atau tidak, karena:
– Itu menyelisihi perintah waliyul amri yang melarang hal tersebut.
– Dengan begitu dia juga menelantarkan pekerjaan yang diamanatkan kepadanya dan kemudian itu berakibat penelantaran hak-hak kaum muslimin yang terikat dengan pekerjaannya.
– Menjadikan pekerjaannya tidak sempurna, Abu Ya’la dan Al-Askari meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu ‘anha (perkataan.red) yang dinisbatkan ke Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Allah suka jika seseorang diantara kalian mengerjakan suatu pekerjaan, dia membaguskannya (profesional).” [Fatawa al-Lajnah ad-Daimah 23/416 soal ke 12 dari fatwa no.19637]
Perlu difahami juga bahwa pegawai yang tidak melaksanakan kewajibannya dengan baik saat ia bekerja juga bisa termasuk orang yang memakan harta dengan cara yang batil meski ia disiplin di dalam jam kerja, mengingat gaji yang diberikan sebagai imbalan atas pekerjaan yang dilaksanakan dengan baik oleh pegawai.
Misalnya seorang pegawai sibuk dengan jejaring sosial yang tidak ada hubungan dengan bidang kerjanya saat ia bekerja sehingga pekerjaan yang dibebankan kepadanya tidak terlaksana dengan baik. Memang dibolehkan membuka situs yang bermanfaat saat istirahat, akan tetapi sering didapati bahwa pegawai lalai dan masih sibuk dengan situs tersebut meski waktu istirahat atau waktu rehat telah habis.
Seandainya memang ia ada waktu kosong sebaiknya itu dipergunakan untuk mengupgrade kemampuan kerjanya sehingga perusahaan atau lembaga yang mempekerjakannya bisa mendapatkan pelayanan lebih.
Komite Tetap Riset Ilmiah dan Fatwa memfatwakan: “Orang yang diserahi pekerjaan dengan imbalan gaji maka wajib atasnya melaksanakan pekerjaan itu seperti yang diminta, jika dia lalai dalam pekerjaan itu tanpa udzur syar’i maka tidak halal baginya apa yang dia terima dari gaji tersebut karena dia mengambilnya tanpa ada timbal balik.” [15/153 no. Fatwa:19243] (put/thayyibah)