thayyibah.com :: Dicatat oleh Abu Daud (2511), Ibnu Hibban (808), Ahmad (2/302),
عَنْ مُوسَى بْنِ عَلِيِّ بْنِ رَبَاحٍ ، عَنْ أَبِيهِ ، عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ مَرْوَانَ ، قَالَ : سَمِعْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَقُولُ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : ” شَرُّ مَا فِي رَجُلٍ شُحٌّ هَالِعٌ وَجُبْنٌ خَالِعٌ “
Dari Musa bin Ali bin Rabbah, dari ayahnya, dari Abdul Aziz bin Marwan, ia berkata, aku mendengar Abu Hurairah berkata, aku mendengar Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: “Seburuk-buruk sifat yang ada pada seseorang adalah sifat pelit yang sangat pelit dan sifat pengecut yang sangat pengecut”
Derajat Hadits
Seluruh perawi hadits ini tsiqah, para perawi yang dipakai imam Muslim kecuali Abdul Aziz bin Marwan bin Hakim, namun ia statusnya tsiqah. Sehingga sanad hadits ini shahih tanpa keraguan. Hadits ini dishahihkan Al Mundziri dalam At Targhib (3/337), Ahmad Syakir dalam takhrij Musnad Ahmad (16/116), Al Albani dalam Silsilah Ahadits Shahihah (560).
Faidah Hadits
- Asy syuh semakna dengan al bukhl (pelit). Imam An Nawawi mengatakan:الشحُّ: هو البخل بأداء الحقوق، والحرص على ما ليس له
“Asy syuh adalah al bukhl (pelit) untuk menunaikan hak-hak, dan disertai semangat untuk menguasai hal yang bukan miliknya” (Syarah Muslim Lin Nawawi, 16/222).
Jadi asy syuh lebih parah dari al bukhl (pelit) karena asy syuh itu selain pelit juga semangat untuk mendapatkan hak dan harta orang lain. - Adapun al bukhl, Ar Raghib Al Asfahani mendefiniskan dengan bagus:البُخْلُ: إمساك المقتنيات عما لا يحق حبسها عنه
“Al bukhl adalah menahan harta yang dimiliki pada keadaan yang tidak layak untuk menahannya ketika itu” (Mufradatul Qur’an, 1/109).
Sebagian ulama juga memaknai bahwa al bukhl itu enggan mengeluarkan harta pada hal yang wajib. Al Faiyumi mengatakan:البخل في الشرع: منع الواجب
“Al bukhl dalam syari’at artinya menahan harta pada hal yang wajib” (Mashabihul Munir, 1/37)
- Sifat pelit termasuk akhlak tercela. Allah Ta’ala berfirman:وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS. Al Hasyr: 9)
Allah Ta’ala juga berfirman:وَأَمَّا مَن بَخِلَ وَاسْتَغْنَى * وَكَذَّبَ بِالْحُسْنَى * فَسَنُيَسِّرُهُ للعسرى
“Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar” (QS. Al Lail: 8-10)
- Mukmin sejati itu dermawan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:اليد العليا خير من اليد السفلى واليد العليا هي المنفقة واليد السفلى هي السائلة
“Tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. Tangan di atas adalah orang yang memberi dan tangan yang dibawah adalah orang yang meminta” (HR. Bukhari no.1429, Muslim no.1033)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إنَّما الدنيا لأربعة نفر: عبد رزقه الله مالاً وعلماً فهو يتقي فيه ربه ويصل فيه رحمه، ويعلم لله فيه حقاً فهذا بأفضل المنازل
“Dunia itu untuk 4 jenis hamba: Yang pertama, hamba yang diberikan rizqi oleh Allah serta kepahaman terhadap ilmu agama. Ia bertaqwa kepada Allah dalam menggunakan hartanya dan ia gunakan untuk menyambung silaturahim. Dan ia menyadari terdapat hak Allah pada hartanya. Maka inilah kedudukan hamba yang paling baik” (HR. Tirmidzi, no.2325, ia berkata: “Hasan shahih”)
- Al Jubn artinya sifat pengecut. Ibnu Maskawaih mendefinisikan:الخوف مما لا ينبغي أن يخاف منه
“Al jubn adalah takut pada hal yang tidak sepantasnya di takuti” (Tahdzibul Akhlaq, 23).
- Sifat pengecut tercela dalam Islam, karena Islam mengajarkan jihad fi sabilillah, mengajarkan dakwah ilallah, memerintahkan amar ma’ruf nahi munkar, yang semua ini butuh pada keberanian. Bahkan Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan:ما في القرآن من الحضِّ على الجهاد والترغيب فيه، وذمِّ الناكلين عنه والتاركين له كلُّه ذمٌّ للجبن
“Semua bagian dari Al Qur’an yang menghasung dan menyemangati kita untuk berjihad, juga ayat-ayat yang mencela sikap lemah terhadap jihad dan mencela orang yang meninggalkan jihad itu semua adalah celaan terhadap sikap pengecut” (Al Hisbah fil Islam, 102).
Diantaranya ayat:يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِذَا لَقِيتُمُ الَّذِينَ كَفَرُواْ زَحْفاً فَلاَ تُوَلُّوهُمُ الأَدْبَارَ وَمَن يُوَلِّهِمْ يَوْمَئِذٍ دُبُرَهُ إِلاَّ مُتَحَرِّفاً لِّقِتَالٍ أَوْ مُتَحَيِّزاً إِلَى فِئَةٍ فَقَدْ بَاء بِغَضَبٍ مِّنَ اللّهِ وَمَأْوَاهُ جَهَنَّمُ وَبِئْسَ الْمَصِيرُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya” (QS. Al Anfal: 15-16)
Juga diceritakan dalam hadits Jubair bin Muth’im radhiallahu’anhu :أنه بينما هو يسير مع رسول الله صلى الله عليه وسلم ومعه الناس مقفله من حنين فعلقه الناس يسألونه حتى اضطروه إلى سمرة، فخطفت رداءه، فوقف النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: «أعطوني ردائي لو كان لي عدد هذه العضاه نعما لقسمته بينكم ثم لا تجدوني بخيلا ولا كذوبا ولا جبانا
Bahwasanya beliau pernah berjalan bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersama orang-orang ketika pulang dari Hunain. Lalu orang-orang berusaha menggandeng beliau hingga beliau terdesak ke pohon Samurah. Lalu tiba-tiba rida’ (semacam selendang) milik beliau direbut orang. Maka Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berdiri dan bersabda: “kembalikan selendangku. Andaikan aku memiliki unta sebanyak duri pohon ini (pohon Samurah) pastilah aku akan membagikannya kepada kalian, kemudian kalian tidak akan mendapatiku sebagai orang yang pelit, pendusta maupun pengecut” (HR. Al Bukhariy 2821).
- Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berlindung dari dua sifat ini, pelit dan pengecut. Beliau mengajarkan doa:اللَّهُمَّ أَعُوذُ بِكَ مِنَ الْهَمِّ ، وَالْحَزَنِ ، وَالْعَجْزِ ، وَالْكَسَلِ ، وَالْبُخْلِ ، وَالْجُبْنِ ، وَفَضَحِ الدَّيْنِ ، وَقَهْرِ الرِّجَالِ
“Ya Allah aku memohon perlindungan dari kegelisahan, kesedihan, dari ketidakmampuan dan kemalasan, dari sifat bakhil dan pengecut, dari beban hutang dan penindasan oleh orang-orang” (HR. At Tirmidzi 3484, dishahihkan Al Albani dalam Shahih At Tirmidzi)
Oleh: