Ketahuilah wahai saudariku, siapa yang suka menceritakan kekurangan dan kesalahan orang lain, maka dirinya pun tidak aman untuk diceritakan oleh orang lain. Seorang ulama salaf berkata, “Aku mendapati orang-orang yang tidak memiliki cacat/cela, lalu mereka membicarakan aib manusia maka manusia pun menceritakan aib-aib mereka. Aku dapati pula orang-orang yang memiliki aib namun mereka menahan diri dari membicarakan aib manusia yang lain, maka manusia pun melupakan aib mereka.”1
Tahukah engkau bahwa manusia itu terbagi dua:
Pertama: Seseorang yang tertutup keadaannya, tidak pernah sedikitpun diketahui berbuat maksiat. Bila orang seperti ini tergelincir dalam kesalahan maka tidak boleh menyingkap dan menceritakannya, karena hal itu termasuk ghibah yang diharamkan. Perbuatan demikian juga berarti menyebarkan kejelekan di kalangan orang-orang yang beriman. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ أَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِي الَّذِيْنَ آمَنُوا لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ
“Sesungguhnya orang-orang yang menyenangi tersebarnya perbuatan keji2 di kalangan orang-orang beriman, mereka memperoleh azab yang pedih di dunia dan di akhirat….” (An-Nur: 19)
Kedua: Seorang yang terkenal suka berbuat maksiat dengan terang-terangan, tanpa malu-malu, tidak peduli dengan pandangan dan ucapan orang lain. Maka membicarakan orang seperti ini bukanlah ghibah. Bahkan harus diterangkan keadaannya kepada manusia hingga mereka berhati-hati dari kejelekannya. Karena bila orang seperti ini ditutup-tutupi kejelekannya, dia akan semakin bernafsu untuk berbuat kerusakan, melakukan keharaman dan membuat orang lain berani untuk mengikuti perbuatannya3.
Saudariku muslimah…
Engkau mungkin pernah mendengar hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi:
مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَ اللهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللهُ فيِ الدُّنْيَا وَاْلآخِرَةِ، وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيْهِ …
“Siapa yang melepaskan dari seorang mukmin satu kesusahan yang sangat dari kesusahan dunia niscaya Allah akan melepaskan darinya satu kesusahan dari kesusahan di hari kiamat. Siapa yang memudahkan orang yang sedang kesulitan niscaya Allah akan memudahkannya di dunia dan nanti di akhirat. Siapa yang menutup aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat. Dan Allah senantiasa menolong hamba-Nya selama hamba-Nya itu menolong saudaranya….” (HR. Muslim no. 2699)
Bila demikian, engkau telah tahu keutamaan orang yang suka menutup aib saudaranya sesama muslim yang memang menjaga kehormatan dirinya, tidak dikenal suka berbuat maksiat namun sebaliknya di tengah manusia ia dikenal sebagai orang baik-baik dan terhormat. Siapa yang menutup aib seorang muslim yang demikian keadaannya, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup aibnya di dunia dan kelak di akhirat.
Namun bila di sana ada kemaslahatan atau kebaikan yang hendak dituju dan bila menutupnya akan menambah kejelekan, maka tidak apa-apa bahkan wajib menyampaikan perbuatan jelek/aib/cela yang dilakukan seseorang kepada orang lain yang bisa memberinya hukuman. Jika ia seorang istri maka disampaikan kepada suaminya. Jika ia seorang anak maka disampaikan kepada ayahnya. Jika ia seorang guru di sebuah sekolah maka disampaikan kepada mudir-nya (kepala sekolah). Demikian seterusnya4.
Yang perlu diingat, wahai saudariku, diri kita ini penuh dengan kekurangan, aib, cacat, dan cela. Maka sibukkan diri ini untuk memeriksa dan menghitung aib sendiri, niscaya hal itu sudah menghabiskan waktu tanpa sempat memikirkan dan mencari tahu aib orang lain. Lagi pula, orang yang suka mencari-cari kesalahan orang lain untuk dikupas dan dibicarakan di hadapan manusia, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan membalasnya dengan membongkar aibnya walaupun ia berada di dalam rumahnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلِ اْلإِيْمَانُ قَلْبَهُ، لاَ تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنِ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعِ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ عَوْرَاتِهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ
“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya dan iman itu belum masuk ke dalam hatinya5. Janganlah kalian mengghibah kaum muslimin dan jangan mencari-cari/mengintai aurat6 mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat kaum muslimin, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya di dalam rumahnya (walaupun ia tersembunyi dari manusia).” (HR. Ahmad 4/420, 421,424 dan Abu Dawud no. 4880. Kata Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Abi Dawud: “Hasan shahih.”)
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma menyampaikan hadits yang sama, ia berkata, “Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar, lalu menyeru dengan suara yang tinggi:
يَا مَعْشَرَ مَنْ أَسْلَمَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يُفْضِ اْلإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ، لاَ تُؤْذُو الْمُسْلِمِيْنَ، وَلاَ تُعَيِّرُوْهُمْ، وَلاَ تَتَّبِعُوْا عَوْرَاتِهِمْ، فَإِنَّهُ مَنْ تَتَبَّعَ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَبَّعَ اللهُ عَوْرَتَهُ، وَمَنْ يَتَّبِعِ اللهُ عَوْرَتَهُ، يَفْضَحْهُ وَلَوْ فِي جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian orang yang mengaku berislam dengan lisannya dan iman itu belum sampai ke dalam hatinya. Janganlah kalian menyakiti kaum muslimin, janganlah menjelekkan mereka, jangan mencari-cari aurat mereka. Karena orang yang suka mencari-cari aurat saudaranya sesema muslim, Allah akan mencari-cari auratnya. Dan siapa yang dicari-cari auratnya oleh Allah, niscaya Allah akan membongkarnya walau ia berada di tengah tempat tinggalnya.” (HR. At-Tirmidzi no. 2032, dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullahu dalam Ash-Shahihul Musnad Mimma Laisa fish Shahihain, hadits no. 725, 1/581)
Dari hadits di atas tergambar pada kita betapa besarnya kehormatan seorang muslim. Sampai-sampai ketika suatu hari Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma memandang ke Ka’bah, ia berkata:
مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ، وَالْمُؤْمِنُ أَعْظَمَ حُرْمَةً عِنْدَ اللهِ مِنْكِ
“Alangkah agungnya engkau dan besarnya kehormatanmu. Namun seorang mukmin lebih besar lagi kehormatannya di sisi Allah darimu.”7
Karena itu saudariku… Tutuplah cela yang ada pada dirimu dengan menutup cela yang ada pada saudaramu yang memang pantas ditutup. Dengan engkau menutup cela saudaramu, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menutup celamu di dunia dan kelak di akhirat. Siapa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala tutup celanya di dunianya, di hari akhir nanti Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan menutup celanya sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَسْتُرُ اللهُ عَلَى عَبْدٍ فِي الدُّنْيَا إِلاَّ سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tidaklah Allah menutup aib seorang hamba di dunia melainkan nanti di hari kiamat Allah juga akan menutup aibnya8.” (HR. Muslim no. 6537)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Oleh: Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah