thayyibah.com :: Dalam realita kehidupan bermasyarakat, kita tidak pernah lepas dari pergaulan dengan orang lain, dan tentu menghadirkan fenomena ataupun kejadian yang berbeda-beda, yang terkadang masih terus direkam oleh memori kita. Ada fenomena kebahagiaan yang kita raih ataupun fenomena kesedihan yang tak dapat kita sisih. Ada fenomena canda tawa yang tersaji ataupun duka lara yang tak terpungkiri. Itulah dinamika kehidupan yang bervariasi dan selalu menghiasi perjalanan hidup seseorang di dunia ini.
Dalam sudut pandang Islam, yang bersandar pada nilai-nilai dua sumbernya yang otoritatif (terpercaya) yaitu al-Qur’an dan Hadits. Seorang manusia akan memiliki harga diri yang tinggi di mata Alloh subhanahu wa ta’ala dan di mata para hamba-Nya, bilamana ia meraih sekurang-kurangnya dua hal, yaitu keimanan dan amal sholeh. Ketika seorang manusia mengikrarkan bahwa tiada Tuhan yang berhak diibadahi secara benar melainkan Alloh dan Nabi Muhammad sholallohu alaihi wasallam adalah utusan-Nya, atau ia lahir dan baligh dari keluarga muslim maka semenjak itulah seorang hamba telah meraih harga dirinya. Bahkan dapat dikatakan keimanannya tersebut tidak sebanding dengan emas atau intan berlian sepenuh bumi. Harga dirinya tak ternilai dengan materi dan harta benda, bahkan harga dirinya diingini dan diangankan oleh orang-orang kafir, ketika mereka telah menginjakkan kakinya di neraka. Simaklah firman Alloh subhanahu wa ta’ala yang artinya sebagai berikut:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا وَمَاتُوا وَهُمْ كُفَّارٌ فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْ أَحَدِهِمْ مِلْءُ الْأَرْضِ ذَهَبًا وَلَوِ افْتَدَىٰ بِهِ ۗ أُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ وَمَا لَهُمْ مِنْ نَاصِرِينَ
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan mati sedang mereka tetap dalam kekafirannya, maka tidaklah akan diterima dari seseorang diantara mereka emas sepenuh bumi, walaupun dia menebus diri dengan emas (yang sebanyak) itu. Bagi mereka itulah siksa yang pedih dan sekali-kali mereka tidak memperoleh penolong.” (QS. Ali Imron [3]: 91)
Dalam ayat ini, Alloh azza wa jalla secara tegas tidak akan menerima tebusan orang-orang kafir terhadap siksa yang diderita oleh mereka akibat dari kekufurannya, walaupun tebusan tersebut berupa emas sepenuh bumi. Hal ini menunjukkan betapa kekufuran orang-orang kafir telah menjadikan diri-diri mereka tidak bernilai dan tidak berharga di mata Alloh. Pada saat yang sama, keimanan begitu tak terhingga nilainya, sehingga emas sepenuh bumi sekalipun tidaklah setara dengan keimanan yang menghujam di hati seorang mukmin.
Saudaraku yang dirahmati Alloh ta’ala, Perkara yang kedua adalah amal sholeh baik yang nampak maupun yang tidak nampak, dimana dalam perspektif Islam itu adalah kebaikan yang memiliki landasan contohnya dari Rasululloh sholallohu alaihi wasallam. Amal sholeh diyakini sebagai sarana mendasar dan penting bersama dengan keimanan untuk meraih harga diri. Jika dengan keimanan, secara tersurat seorang manusia akan meraih harga dirinya di mata Alloh. Maka amal sholeh tidaklah demikian, karena cakupannya yang luas maka amal sholeh ini dapat mengantarkan seseorang pada raihan harga diri di mata Alloh ta’ala dan di mata manusia. Bahkan pada tataran tertentu makhluk-makhluk selain manusia ikut berkontribusi melakukan perbuatan-perbuatan yang secara logika sehat itu tidak bisa diterima, sebagai bentuk penghargaan terhadap pengamal-pengamal sholeh. Hadits Nabi sholallohu alaihi wasallam berikut ini yang artinya:
“Barangsiapa yang menempuh jalan menuntut ilmu, maka Alloh akan buka jalan baginya menuju surga. Dan sesungguhnya para malaikat meletakkan sayapnya karena ridho dengan penuntut ilmu. Dan sesungguhnya orang yang berilmu akan dimohonkan ampun oleh siapa saja yang ada di langit dan di bumi, sampai ikan-ikan yang berada di air.” (HR. Tirmidzi No. 2682)
Hal yang menakjubkan kita semua dalam hadits tersebut adalah malaikat yang meletakkan sayapnya dan seluruh penduduk langit dan bumi beristighfar untuk orang ‘alim yang merupakan bentuk apresiasi terhadap dirinya. Diraihnya harga diri tersebut tidak lepas dari amal sholeh yang dilakukan oleh penuntut ilmu dan orang ‘alim.
Inilah makna harga diri yang sesungguhnya. Iman yang kuat dan amal sholeh yang tepat akan mengantarkan seseorang meraih harga diri yang setingi-tingginya. Makna ini tentu tidak meniadakan keberadaan makna lainnya yang memang ketika tema harga diri ini diangkat, maka yang terlintas dalam alam fikiran kita secara otomatis adalah seputar bagaimana seseorang memiliki jiwa-jiwa kesatriaan ketika yang berkaitan dengan martabat dirinya dilecehkan, dirampas bahkan diinjak-injak. Hal ini tentu sangat dijunjung tinggi dalam agama Islam, simaklah Hadits berikut:
“Barangsiapa mati terbunuh karena mempertahankan hartanya maka ia adalah syahid, dan barangsiapa mati terbunuh karena mempertahankan keluarganya atau darahnya atau agamanya maka ia adalah syahid.” (HR. Abu Dawud No. 4774)
Oleh karena itu, bersyukurlah anda wahai saudaraku muslim dan muslimah yang telah diberikan oleh Alloh subhanahu wa ta’ala berupa nikmat keimanan dan amal sholeh. Karena dengan iman dan amal sholeh kita telah meraih harga diri kita yang setinggi-tingginya di mata Alloh dan para hamba-Nya. Untuk selanjutnya, masing-masing kita terus berupaya meningkatkan iman dan amal sholeh kita, baik secara kualitas maupun kuantitas. Sehingga harga diri kita pun semakin melejit, yang pada gilirannya akan sangat menentukan di tingkatan mana posisi kita berada dalam surga. Renungkanlah hal ini wahai saudaraku yang dirahmati Alloh ta’ala, semoga kita semua beruntung. Wallohu a’lam.
Oleh: Umar Mukhsin, Lc.