Perjalanan Menembus Batas Waktu
thayyibah.com :: Ketika berada di Kupang pada Senin (14/12) dalam perjalan pulang kampung ke Papela, Pulau Rote, saya dihubungi Imam Al Faruq dari Dompet Dhuafa. Dia meminta saya agar bisa menemainya ke Oe Ekam, Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Nusa Tenggara Timur (NTT).
Senang sekali rasanya, karena Oe Ekam di Amanuban Timur adalah satu diantara beberapa daerah di pedalaman Pulau Timor yang ingin saya kunjungi. Itu karen nama Oe Ekam punya kesan tersendiri bagi saya.
Guru agama saya di SDN I Papela adalah orang Oe Ekam. Dia juga guru mengaji yang menghantar saya khatamkan Qur’an untuk pertama kali. Dia juga yang pandai mendorong orang tua saya yang hidup sederhana di kampung agar bisa melepaskan saya ke pesantren di Pulau Jawa, tahun 1987. Dia adalah Ustadz Abdurrahman Sesfao.
Guru agama Islam yang berasal dari Timor ketika itu, bagi kami Muslim di Papela, Pulau Rote adalah sesuatu yang mengherankan. Betapa tidak, kami di Pulau Rote tidak mengenal Orang Timor selain mereka itu Kristen Protestan atau Katholik. Belum pernah sampai informasi kepada kami bahwa banyak juga orang Timor yang sudah menjadi Muslim.
Ketika mondok di Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Bahagia, Bekasi ada juga santri asal Oe Ekam, walaupun dia tak lama bertahan. Santri asal Amanuban juga tersebar di banyak pesantren di Pulau Jawa, terutama di Jawa Barat. Anak-anak Amanuban mulai berdatangan ke pesantren-pesantren di Jawa Barat sejak tahun 70-an, sehingga tahun 1982 mereka mendirikan Yayasan Kesejahteraan Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Timor (IPMAT) di Bandung. Tak sampai 10 tahun berdiri IPMAT sudah bisa membeli tanah dan membangun seretariat mereka di bilangan Cibubur, Jakarta Timur. Sejak saat itu, pengiriman santri baru ke pondok pesantren di Pulau Jawa lebih terorganisir.
Salah satu putra Oe Ekam yang menonjo adalah Drs. Muhammad Thamrin Manu. Dia terbilang salah satu dari anak-anak Amanuban yang pertama cicipi bangku pesantren. Dia juga salah satu pendiri Yayasan IPMAT.
Pada tahun 1990, Yayasan IPMAT mulai menghimpun kemampuan guna mendirikan madrasah di kampung mereka. Tak butuh waktu lama, madrasah itu akhirnya bisa berdiri di tahun 1993. Madrasah ini kemudian dinamai Pondok Pesantren Miftahuddin Oe Ekam yang terdiri dari madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah dan sekolah menengah kejuruan. Drs. Muhammad Thamrin Manu sebagai pimpinnan Miftahuddin yang pertama merekrut semua putra-putri Amanuban yang telah selesai pendidikan di pesantren di Pulau Jawa dan bergelar sarjana pendidikan menjadi tenaga pengajar di pesantren ini. Belakangan, Thamrin Manu juga tercatat sebagai Ketua MUI dan Ketua NU Kabupaten TTS.
Amanuban dan Oe Ekam khusunya terus berkembang menjadi pusat pengembangan Islam di pedalaman Pulau Timor. Pendidikan agama Islam dan pengajian tidak lagi berpusat pada Pesantren Miftahuddin, tapi juga berada pada beberapa masjid dan musholla yang tersebar di Amanuban. Oe Ekam kemudian berkembang menjadi “penjaga” Islam di pedalam Pulau Timor.
Jika kita berkesempatan bekunjung ke So’e, ibukota Kabupaten TTS, dan berkesempatan sholat Jumat di Masjid Agung So’e, maka bisa jadi kita saksikan jamah berwajah khas pribumi Timor lebih mendominasi dibanding jamaah lainnya. Keadaan ini berbeda dengan jika kita berada di Kupang, Pulau Rote dan Pulau Sumba.
Rabu 16 Desember 2015 pagi, jarum jam baru berhenti di angka enam. Di bilangan Oesapa, Kupang, Imam Alfaruq sudah di depan saya dengan motor sewaan. Sepeda motor yang kami gunakan, menurut Imam, sangat cocok untuk sebuah perjalanan jarak jauh dan medan yang berbatu. Pondok Gede – Ciputat setiap hari pulang pergi adalah garansi dari Imam Alfaruq yang membuat saya yakin dia punya kemampuan bersepeda motor yang baik. Maklum saja, kami harus menempuh jarak 170 kilo meter untuk sampai ke tujuan kami.
Menit dan jam-jam berikutnya, Imam memacu sepeda motor itu seperti di sirkuit balap. Jalan yang bagus dan mulus sepanjang Kupang, So’e hingga Niki-niki cukup membuat perjalanan kami lancar meski harus naik turun gunung dengan tikungan yang tajam.
Selepas Niki-niki dan mulai berpisah dengan jalan trans Timor, kami mulai merayapi jalan yang rusak. Lebih dari 30 kilo meter ban sepeda motor kami menapaki aspal yang tergerus, batu yang menonjol di tiap jengkal jalanan, lubang menganga di mana-mana, lumpur dan kubangan menjebak di sana-sini. Keadaan ini masih ditambah dengan tanjakan berbatu dan turunan berlubang. Kita juga harus lewati sungai yang mongering dan jembatan dengan konstruksi kayu yang hampir rapuh.
Perjalanan dari Niki-niki menuju Amanuban Timur, seperti perjalanan menembus batas waktu. Kita seperti sedang kembali ke jaman belum terjadi pembangunan, belum terjadi reformasi. Kita seakan berada di suatu masa ketika baru saja Indonesia merdeka, bebas dari penjajahan. Tak ada kemajuan yang tampak di sini. Satu-satunya tanda kita ada di era modern adalah ketika bertemu orang memegang telepon seluler.
Setelah lima jam perjalanan dengan tiga kali beristirahat, kami akhirnya tiba di Oe Ekam. Di gerbang Madrasah Miftahudin kami disambut oleh Ustad Hasan Sesfao, pimpinan Madrasah Miftahudin.
Rencana kami rukuk dan sujud di Masjid Nurul Qomar yang besar di Oe Ekam ini tertunda, karena waktu sholat Dzuhur belum juga datang. Akhirnya, dengan sedikit memaksa Ustad Hasan mengajak kami ke rumahnya. “Untuk melepaskan dahaga dan lapar,” begitu alasannya.
Sebelum beranjak, saya sempatkan diri menziarahi makam salah satu tokoh revolusioner Muslim di Tanah Timor Drs. Muhammad Thamrin Manu. Di dimakamkan di dekat pintu gerbang Pesantren Miftahuddin yang diperjuangkan semasa hidupnya.
Di rumah Ustad Hasan yang sederhana nan bersih itu, Ustadzah Siti Qomariah, alumni dari pesantren besar di Manonjaya, Tasikmalaya, sedang sibuk memasak ayam kampung untuk kami. [] (Foto-fot0 : Darso Arief B)