thayyibah.com :: Banyak iklan obat herbal berseliweran di sekitar kita. Untuk pelangsing, asam urat, maag, bahkan TBC. Hampir selalu diikuti embel-embel alami tanpa efek samping. Benarkah aman mengonsumsinya?
“Sudah hampir dua tahun ini saya rutin mengonsumsi madu, sari kurma dan habbatussauda. Alhamdulillah jarang sakit. Padahal aktivitas banyak, mengasuh anak, mengurus rumah tangga, tapi masih sempat buka usaha disain dan printing,” ujar Isti, ibu rumah tangga.“Aduh, udah mulai bersin-bersin nih, berarti harus konsumsi habbat lebih banyak,” ujar Esthi, wartawan sebuah media di Jakarta.
Dua komentar di atas mungkin pernah Anda temui. Kini obat herbal memang makin populer. Hal ini bisa dilihat dari menjamurnya kedai atau toko yang menjualnya. Di majalah dan koran nasional pun mulai banyak perusahan yang mengiklankan obat ini. Masyarakat pun menyambut baik.
Namun, di sisi lain ada sebagian orang yang meragukan khasiat obat herbal. “Pengalaman saudara saya, minum air rumput fatima sebelum melahirkan, jadi heboh karena kontraksi berlebihan. Dapat ‘ceramah’ dari dokter deh,” ujar Febri, karyawan swasta.
“Saudara saya juga sampai meninggal gara-gara minum ramuan herbal dari Sinshe. Ginjalnya enggak kuat karena ramuannya kental banget. Harusnya ramuan itu bisa untuk 10 gelas, tapi kata sinshe harus direbus sampai tersisa hanya untuk 1 gelas,” kata Ida, karyawan yang tinggal di Bekasi.
Mereka yang selama ini belum akrab dengan obat herbal tentu bertanya-tanya, jadi sebenarnya bagaimana sih obat herbal itu? Aman atau tidak? Benarkah tidak ada efek samping?
Klasifikasi Obat Herbal
Menurut Badan Peneliti Obat dan Makanan (BPOM), obat herbal dikelompokkan menjadi 3 jenis. Pertama, jamu, yakni obat tradisional dari tanaman obat yang asli, biasanya kita dapatkan dari resep nenek moyang. Misalkan jamu cabe puyang, beras kencur, dan lain-lain. Sudah dipakai secara turun temurun. Khasiatnya secara umum juga sudah diketahui. Namun belum ada penelitian ilmiah yang secara formal membuktikannya.
Kedua, herbal terstandar, yaitu jamu yang sudah melalui penelitian dengan hewan (uji preklinis). Jadi, khasiatnya sudah jelas, dosisnya berapa, toksisitasnya (kandungan racun) dan efek sampingnya sudah jelas.
Ketiga, fitofarmaka, yakni jamu yang sudah melewati uji preklinis pada hewan dan uji klinis pada manusia. Jadi aman dipakai karena sudah diteliti dokter.
Dengan demikian, apakah fitofarmaka yang paling aman dikonsumsi? Menurut dr Agus Rahmadi, Ketua Asosiasi Pengobat Tradisional Ramuan Indonesia (Aspetri), yang paling aman adalah yang paling fresh, tidak terkontaminasi dengan bahan-bahan kimiawi. Nah, fitofarmaka sendiri sudah ditambahi berbagai zat kimia.
Selain itu dengan alasan kepraktisan obat herbal juga dikemas dengan berbagai bentuk, seperti pil, kapsul tablet, puyer, dan sirup. Lantas, mana yang lebih aman dikonsumsi?
“Kalau bicara mana yang lebih efektif ya fitofarmaka karena sudah terisolat dan diuji. Kalau yang aman ya yang fresh, karena lebih natural dan banyak mengandung bahan yang diperlukan tubuh,” ujar Direktur Utama Klinik Sehat, Jakarta ini.
Aman Mengonsumsi Obat Herbal
Menurut Agus, obat herbal, khususnya jamu, cocok untuk orang dengan penyakit degeneratif yang menyebabkan penurunan fungsi tubuh. Seperti diabetes, hipertensi, kolesterol dan kanker. Sedangkan obat farmasi sangat bagus untuk kasus-kasus gawat darurat dan akut, misalnya saat kecelakaan.
Untuk kasus degeneratif, semua obat farmasi sifatnya hanya mengurangi gejala (simtomatik) sedang penyebab utamanya tidak diberantas. Obat herbal justru kebalikannya. Misalnya pada penderita diabetes, umumnya dokter akan memberikan obat penurun glukosa darah. Dalam beberapa kasus pasien juga akan diberi injeksi insulin.
Sedangkan obat herbal justru ‘memperbaiki’ pankreasnya. Logikanya, pankreas penderita diabetes bermasalah hingga tidak dapat menghasilkan insulin (hormon pengatur gula darah) atau insulinnya tidak mencukupi. Untuk memperbaikinya diberikanlah ‘makanan’ yang baik yaitu asam angrinin yang bersumber di kacang panjang, habbatussauda, dan pare. Dengan mengobati pankreas diharapkan insulinnya membaik.
Namun demikian, harus hati-hati dalam mengonsumsi obat herbal. Jika salah mengolahnya, akan berbahaya bagi kita. Sebab, tidak semua obat herbal itu aman. Contoh mahkota dewa, kalau salah mengolahnya akibatnya fatal. Mahkota dewa harus dikeringkan sampai benar-benar kering. Kalau tidak kering, malah beracun. Kalau kita langsung makan buahnya dapat menyebabkan kematian. “Makanya penggunaan obat herbal itu harus diberikan ke ahlinya seperti dokter dan apoteker,” kata ayah tiga anak ini.
Sebenarnya hampir semua bahan obat herbal tersedia di pasar. Karena sebagian besar penyakit rumah seperti sakit tenggorokan, demam, batuk pilek itu bisa diobati dengan bahan-bahan tersebut. Sakit maag, misalnya, dapat diobati dengan meminum air rebusan kunyit dan temulawak yang diparut. Namun perlu diperhatikan, kunyit dan temulawak yang digunakan harus pas takarannya.
Obat herbal, tambah Agus, juga memiliki efek samping jika penggunaannya berlebihan. Misalnya makan wortel terlalu banyak dapat menimbulkan warna kuning di kulit dan meningkatkan tekanan dalam otak karena betakaroten di lemak itu mengendap. “Makan cabai kebanyakan kita jadi mules-mules. Makan rambutan terlalu banyak juga bikin masalah,” ujar lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, Semarang, sambil menjelaskan herbal itu aslinya dari sayuran dan buah-buahan. Namun, jika digunakan secara proposional, itu sangat diperlukan oleh tubuh.
Penting juga bagi ibu hamil dan menyusui untuk berhati-hati dalam mengonsumsi obat herbal. Ibu hamil sebaiknya jangan minum obat-obatan herbal dan obat kimia karena bisa memengaruhi hormon. Demikian juga dengan bayi. Agus menyarankan untuk tidak memberikan herbal pada bayi usia 0-1 tahun. Sebab masa itu adalah masa pertumbuhan yang membuat daya tahan bayi belum kuat. “Kalau untuk bayi yang masih menyusui ya ibunya yang minum obat herbal itu,” ujar Agus.
Sumber: Ummi