“Sesungguhnya orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya. Allah akan melaknatinya di dunia dan di akhirat, dan menyediakan baginya siksa yang menghinakan.” (QS Al-Ahzab [33]: 57)
thayyibah.com :: Ayat di atas, menjelaskan tentang ancaman dan hukuman bagi orang-orang yang menghina Nabi Muhammad saw. Imam Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra berkata, ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang yang menghina Nabi saw ketika menikah dengan Shafiyyah binti Huyay bin Akhthab ra. Sementara Adh-Dhahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, bahwa ayat ini turun berkaitan dengan Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya yang menghina Siti Aisyah ra. Maka, Nabi saw langsung menyampaikan khutbah seraya bersabda, “Siapa yang memaklumiku dari seseorang yang menyakitiku dan menghimpun di rumahnya orang-orang yang menghinaku,” lalu turunlah ayat tersebut (At Tafsir Al Munir XXII/95).
Namun menurut Ibnu Katsir, ayat 37 surat Al-Ahzab itu berlaku umum untuk mereka yang menyakiti Rasulullah saw dengan cara apa pun. Barangsiapa yang meyakiti Nabi saw, maka benar-benar ia telah meyakiti Allah. Sebagaimana siapa yang mentaati Nabi saw, maka sesungguhnya ia telah mentaati Allah swt (Tafsir Ibnu Katsir IV/249).
CELAAN ADALAH SUNATULLAH
Bagi para pembawa risalah dakwah berbagai macam tantangan, rintangan dan ujian adalah sunatullah. Semua itu merupakan tazkiyah (penyucian) jiwa dari kotoran-kotoran jahiliyah, pembersihan hati dan ujian bagi kejujuran orientasi. Dengan adanya beragam bentuk ujian, akan terseleksi siapa yang jujur dan siapa yang bohong. Juga, dengan mudah tersaring siapa yang hanya mengharapkan dunia dan siapa yang mengharapkan akhirat. Bahkan, ujian itu sendiri sesungguhnya konsekuensi dari iman.
Allah swt berfirman, “Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta,” (QS Al-Ankabut [29]: 2-3).
Dan orang yang paling sering dan banyak mendapatkan celaan dan hinaan adalah Nabi Muhammad saw. Dahulu, orang-orang kafir Quraisy menggunakan beragam cara dalam melakukan pelecehan terhadap Nabi saw, seperti menyakiti fisik, mengganggu dan mengalihkan perhatian masyarakat dari mendengar dakwah dan ayat yang disampaikan Nabi, menghina ayat-ayat Al-Qur’an, memboikot dan berusaha membunuh beliau.
Melontarkan tuduhan-tuduhan keji dan batil terhadap beliau saw juga termasuk pelecehan. Seperti menuduh Nabi sebagai penyair (QS Al-Anbiyaa’ [21]: 5), dukun (QS Al-Haaqqah [69]: 42), tukang sihir, pembohong (QS Shaad [38]: 4), orang gila (QS Ash-Shaaffaat [37]: 36), dan lain-lain.
ANCAMAN BAGI PENGHINA NABI
Ayat di atas juga menerangkan ancaman dan hukuman bagi orang-orang yang menyakiti Nabi saw dengan menghina, mencela dan melecehkannya. Pertama, dilaknat oleh Allah swt. Yakni, dijauhkan dari rahmat Allah di dunia dan akhirat. Hal ini berarti menjauh dari keberkahan, kemakmuran, kesejahteraan hidup, pertolongan Allah, dan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kedua, disiapkan baginya siksa yang menghinakan di neraka Jahannam. Ketika menafsirkan ayat “Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu. Karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti” (QS At-Taubah [9]: 12), Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Sebagian ulama menggunakan ayat ini sebagai dalil atas wajibnya dibunuh setiap orang yang mencerca agama Islam karena dia telah kafir. Sementara menurut An-Nu’man, tidak dibunuh, tapi dihukum seberat-beratnya, seperti dengan dijebloskan ke penjara dan dihinakan dengan seberat-beratnya (Al-Jami’ li Ahkami’l Qur’an (Tafsir Al-Qurthubi), Al-Qurthubi, VIII/53). Berarti, kesepakatan para ulama dalam hal ini belum bulat.
Namun, sejarah kehidupan Rasulullah saw dicatat dengan tinta emas. Meskipun begitu kasarnya pelecehan yang beliau terima dalam berdakwah, di luar medan perang, beliau tidak membalasnya dengan kekerasan, melainkan meresponsnya dengan sabar. Seperti ketika beliau saw menolak bantuan malaikat Jibril as ketika mendapatkan perlakuan kasar dan pelecehan dari masyarakat Thaif, seraya bersabda, “Aku justru berharap, semoga Allah mengeluarkan dari keturunan mereka, orang-orang yang menyembah-Nya semata, dan tidak menyekutukan-Nya dengan apa pun” (As-Sirah An-Nabawiyah fi Dhaui Al-Mashaadir Al-Ashliyah, Dr Mahdi Rizqullah, hal. 228).
TUNTUTAN IMAN
Sesungguhnya mencintai dan memuliakan Nabi Muhammad saw merupakan bagian tuntutan iman. Puncak keimanan seseorang adalah ketika seseorang lebih mencintai Rasulullah saw daripada manusia manapun. Sesuai sabda beliau, “Demi Allah yang nyawaku berada di tangan-Nya. Salah seorang di antara kalian tidak beriman sehingga aku lebih ia cintai daripada bapaknya dan anaknya sendiri,” (HR Bukhari no. 14).
Salah satu bukti cinta kita kepada Nabi saw adalah membelanya ketika dihujat, dicela dan dihina. Namun, itu harus dilakukan secara proporsional. Reaksi yang berlebihan dikhawatirkan malah kontraproduktif dan dapat dimanfaatkan oleh musuh-musuh Islam untuk menyudutkan Islam.
Kita juga harus ingat, dari Amerika Serikat muncul film yang menghujat Nabi Muhammad saw, namun dari bumi Amerika Serikat pula muncul kekaguman terhadap Nabi Muhammad saw—dinobatkan sebagai orang nomor satu yang paling berpengaruh di dunia dalam sejarah oleh Michael H. Hart, seorang ahli astronomi dan ahli sejarah terkenal di Amerika dalam bukunya “The 100”.
Semoga kejadian ini semakin memotivasi kita untuk semakin mencintai Nabi dan menjadikan cinta ini betul-betul bersemi di hati dan terbukti dalam kehidupan sehari-hari.
Sumber: http://www.ummi-online.com/