thayyibah.com ::Saudara dan Saudariku yang dirahmati Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan di dalam Al Qur’an :
ٱلَّذِي خَلَقَ ٱلۡمَوۡتَ وَٱلۡحَيَوٰةَ لِيَبۡلُوَكُمۡ أَيُّكُمۡ أَحۡسَنُ عَمَلٗاۚ
“Dialah yang menciptakan kehidupan dan kematian untuk menguji kalian siapakah yang paling baik amalannya.” (Al Mulk : 2-3).
Perhatikan ayat di atas, Allah menyatakan yang paling BAIK amalannya BUKAN sekadar paling banyak amalannya. Seorang ulama bernama Abu Ali Fudhail bin Iyadh berkata menafsiri ayat tersebut, “Yakni yang paling ikhlas dan paling benar”. Beliau ditanya, “Wahai Abu Ali, bagaimana yang paling ikhlas dan paling benar itu ?” Beliau menjawab, sesungguhnya sebuah amalan jika ikhlas tapi tidak benar, tidak akan diterima. Dan jika benar tapi tidak ikhlas, tidak diterima hingga menjadi benar dan ikhlas (baru diterima). (Majmu’ Fatawa 11/6)
Perlu diketahui bahwa mutaba’ah (mengikuti Nabi Shallallahu ‘alahi wa sallam) tidak akan tercapai kecuali apabila amal yang dikerjakan sesuai dengan syari’at dalam enam perkara.
Pertama: Sebab.
Artinya: Jika seseorang melakukan suatu ibadah kepada Allah dengan sebab yang tidak disyari’atkan, maka ibadah tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima (ditolak).
Contoh: Ada orang yang melakukan shalat tahajud pada malam dua puluh tujuh bulan Rajab, dengan dalih bahwa malam itu adalah malam Mi’raj Rasulullah. Atau sholat tahajjud dimalam tahun baru dengan dalil untuk muhasabah atau intropesksi diri selama setahun ini. Shalat tahajud adalah ibadah, tetapi karena dikaitkan dengan sebab tersebut menjadi bid’ah. Karena ibadah tadi didasarkan atas sebab yang tidak ditetapkan dalam syari’at.
Syarat ini yaitu ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam sebab adalah penting, karena dengan demikian dapat diketahui beberapa macam amal yang dianggap termasuk sunnah, namun sebenarnya adalah bid’ah.
Kedua : Jenis.
Artinya: ibadah harus sesuai dengan syari’at dalam jenisnya. Jika tidak, maka tidak diterima.
Contoh: Seorang yang menyembelih kuda atau ayam untuk kurban adalah tidak sah, karena menyalahi ketentuan syari’at dalam jenisnya. Yang boleh dijadikan kurban yaitu unta, sapi dan kambing.
Ketiga : Kadar (Bilangan).
Artinya: Kalau seseorang yang menambah bilangan raka’at suatu shalat, yang menurutnya hal itu diperintahkan, maka shalat tersebut adalah bid’ah dan tidak diterima, karena tidak sesuai dengan ketentuan syari’at dalam jumlah bilangan rakaatnya. Jadi, apabila ada orang shalat zhuhur lima raka’at, umpamanya, maka shalatnya tidak sah.
Keempat : Kaifiyah (Cara).
Artinya: Seandainya ada orang berwudhu dengan cara membasuh tangan atau mencuci kaki terlebih dahulu lalu muka atau orang yang sholat dengan sujud dulu baru rukuk maka ini tidaklah sah.
Kelima : Waktu.
Artinya: Apabila ada orang yang menyembelih binatang kurban pada hari pertama bulan Dzul Hijjah, maka tidak sah, karena waktu melaksanakannya tidak menurut ajaran Islam.
Keenam : Tempat.
Artinya: Andaikata ada orang beri’tikaf di tempat selain masjid, maka tidak sah i’tikafnya. Sebab tempat i’tikaf hanyalah di masjid. Begitu pula, andaikata ada seorang wanita hendak beri’tikaf di dalam mushalla di rumahnya, maka tidak sah i’tikafnya, karena tempat melakukannya tidak sesuai dengan ketentuan syari’at.
Contoh lainnya: Seseorang yang melakukan thawaf di luar Masjid Haram dengan alasan karena di dalam sudah penuh sesak, tahawafnya tidak sah, karena tempat melakukan thawaf adalah dalam Baitullah tersebut, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
وَطَهِّرۡ بَيۡتِيَ لِلطَّآئِفِينَ وَٱلۡقَآئِمِينَ
“Dan sucikanlah rumah-Ku ini bagi orang-orang yang thawaf”. [Al-Hajj : 26].
Kesimpulan dari penjelasan di atas, bahwa ibadah seseorang tidak termasuk amal shaleh kecuali apabila memenuhi dua syarat, yaitu:
1). Ikhlas.
Artinya, ia harus benar-benar ikhlas dalam ibadahnya. Hanya ia niatkan dan tujukan kepada Allah semata. Tidak kepada selainNya, baik benda-benda yang dikeramatkan atau makhluk-makhluk yang tidak mampu memberikan manfaat atau mudharat.
Orang yang melakukan kesyirikan dalam ibadahnya akan Allah tolak sebagaimana Allah Subhanahu Wa Ta’ala terangkan dalam hadits Qudsi : “Aku paling tidak butuh kepada sekutu. Barangsiapa melakukan ibadah yang ia menyekutukan Aku, maka aku akan meninggalkannya bersama sekutunya.” (HR. Muslim)
2). Mutaba’ah.
Hal ini sebagaimana Nabi Shalallahu Alaihi Wa Sallam jelaskan :
“Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang bukan atas perintahku maka tertolak.” (HR. Muslim dari Aisyah).
Jadi, Allah Subhanahu Wa Ta’ala hanya akan menerima ibadah seorang hamba jika dilakukan sesuai dengan yang dicontohkan Rasulullah Shalallahu Alaihi Wa Sallam dan dipersembahkan hanya untukNya semata. Ibadah itu juga dilakukan dengan dilandasi rasa cinta, penuh mengharap, dan juga takut.
Dan Mutaba’ah tidak akan tercapai kecuali dengan enam perkara yang telah diuraikan tadi. Dengan demikian sempurnalah ibadah itu dan diharap Allah Subhanahu Wa Ta’ala akan menerimanya.
[Diambil dari berbagai sumber]
Ya Allah teguhkanlah kami di atas iman dan amal shalih, hidupkan kami dengan kehidupan yang baik dan sertakan diri kami bersama golongan orang-orang yang Beriman. (put/thayyibah)