thayyibah.com :: Dialog tentang Perayaan Maulid Nabi
A : Besok hari Maulid Nabi, Bro. Apa rencanamu buat merayakan hari lahir Nabi kita?
S : ‘Afwan, Akhi…. Ana tidak merayakan Maulid Nabi.
A : What ?? Are you crazy?! Kenapa kamu ga mau merayakan Maulid? Ini Nabi kita loh… Apa kamu tidak cinta sama Nabimu sendiri??
S : Apakah cinta Nabi harus direalisasikan dengan perayaan Maulid Nabi?
A : Yah…..setidaknya itu salah satunya.
S : Kalau begitu, semua para sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, bahkan 4 Imam Madzhab yang kita kenal, mereka semua tidak mencintai Nabi, menurut versimu.
A : Lho…..kok bisa?
S : Iya, karena tidak ada satupun dari mereka yang mengamalkan peringatan Maulid Nabi. Sesungguhnya para Salaf yang shalih tak satupun yang mencontohkan perayaan Maulid. Bahkan Imam madzhab, termasuk Imam Syafi’i yang selalu kalian klaim sebagai Imam madzhab kalian, semuanya tidak ada yang merayakan Maulid Nabi. Ketahuilah, munculnya awal mula Maulid adalah di masa Bani Fathimiyyah, yang disebut para Ulama sebagai kaum zindiq munafiq yang sangat jauh dari Islam.
A : Tapi…menurutku tidak masalah kita rayakan Maulid Nabi. Toh ini perkara kebaikan, niat kita juga baik kok, ingin mengagungkan Nabi dan menampakkan syiar Islam. Masa’ kita kalah sama orang Kristen yang punya Natal buat merayakan kelahiran Yesus…?!
S : Ini jawabanku, tolong dengarkan baik-baik ya Akhi…
Pertama, agama ini tidak dibangun di atas prinsip “menurutku”, tapi menurut Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan Allah dan Rasul-Nya tidak pernah mengajarkan Maulid Nabi, tidak di Al-Qur’an, tidak pula dalam hadits.
Kedua, niat baik semata tidak cukup menjadikan suatu amalan dikatakan sholih atau benar. Melainkan harus melihat juga cara yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Suatu amal tidak akan diterima kecuali dengan 2 syarat: ikhlas dan ittiba’, yakni mengikuti aturan yang dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Camkanlah ucapan ‘Abdullah ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu: “Kam min muriidin lilkhoiri lam yushib-hu” (Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan tapi tidak memperolehnya). Kenapa? Karena caranya keliru. Hanya bermodal semangat dan niat baik, tanpa dilandasi ilmu yang haq. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Man ‘amila ‘amalan laisa ‘alaihi amruna fahuwa roddun” (Barangsiapa beramal dengan suatu amalan yang tidak ada perintah/contoh dari kami, maka amalan tersebut tertolak). Apa dalil ini kurang jelas?
Ketiga, bahwa untuk mengagungkan Nabi bukanlah dengan cara-cara yang tidak syar’i, yang tidak pernah diajarkan oleh Islam. Nabi datang membawa ajaran Islam, tapi kalian malah membuat ajaran baru di luar Islam, parahnya lagi ajaran di luar Islam itu kalian maksudkan untuk mengagungkan Nabi. Bisakah diterima oleh jiwa dan akal sehat?
Keempat, bahwa tidaklah dikatakan syiar Islam kecuali ajaran-ajaran yang nyata berasal dari Islam. Dan tidaklah dikatakan ajaran Islam kecuali yang ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan Maulid Nabi? Itu tidak datang dari Allah dan Rasul-Nya. Berarti Maulid Nabi bukan ajaran Islam, dan berarti sedikitpun tidak mengandung unsur syiar Islam.
Kelima, dalam banyak ayat dan hadits, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kita agar menyelisihi kebiasaan orang kafir, baik dari aspek aqidah, ibadah, akhlaq, dan muamalah. Lantas, mengapa kita harus latah mengikuti kaum Kristen dengan ritual Natal mereka, kemudian kita ikut-ikutan merayakan Maulid Nabi?? Bukankah ini bentuk tasyabbuh (penyerupaan) terhadap kaum kafir yang dilarang agama kita? Sungguh, kita sebagai umat muslim, telah dimuliakan oleh Allah dengan ‘izzah Islam kita. Islam ini sangat agung dan mulia. Jadi, tidak perlu kita minder dengan apa yang sudah digariskan dalam agama kita. Kalau Islam telah menetapkan tidak ada ajaran Maulid Nabi, ya marilah kita terima ini apa adanya dengan penuh bangga dan terhormat, bukannya malah mencari-cari ajaran baru demi bisa menyamai ajaran kafir. (put/thayyibah)