thayyibah.com :: Disclaimer : Tulisan ini adalah sebuah proses berpikir. Saya menuliskan pikiran karena itu memudahkan saya untuk merumuskan jawaban. Jadi sangat mungkin ada khilaf di dalamnya, namun jika ada yang baik-baik, silahkan dipikirkan juga dan semoga bermanfaat
–
“Aku mencintaimu karena Allah”
–
Kalimat “aku mencintaimu karena Allah” tentu sering kita lihat dan dengar, terutama untuk yang usianya sudah lazim untuk menikah (haha). Kalimat itu bahkan jadi judul sinteron, tapi saya tidak pernah benar-benar memikirkannya sampai kemarin.
Prakteknya bagaimana?
Awalnya, kalimat tersebut terdengar ringan bagi saya, tapi semakin dipikir, semakin berat jadinya. Bagaimana caranya manusia, dengan potensi lima panca inderanya, dengan hawa nafsunya, bisa mencintai karena Allah? Sementara mencintai itu sendiri adalah sebuah ekspresi rasa?
Biasanya, yang disebut dengan mencintai karena Allah adalah ekspresi cinta yang dimulai dengan taaruf dan berakhir dengan pernikahan. Sebuah proses yang tidak berlebihan dan indah. Tetapi,
Setelah menikah, lalu apa?
Apakah bahu membahu menyiapkan modal untuk membangun masa depan, kemudian saling mendukung dalam menemukan dan menjalani cita-cita, kemudian melahirkan dan membesarkan anak, kemudian mendidik anak, dan akhirnya menikmati masa tua bersama? Sama sekali tidak terdengar buruk, bahkan terdengar manis. Tapi saya teringat sebuah ayat,
Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS Ali Imran (3) : 14)
Saya berpikir. Hal-hal manis di atas seluruhnya dapat dikategorikan dalam kesenangan hidup di dunia. Tapi di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik. Tertampar rasanya. Kemudian pada ayat yang lain,
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz-Dzaariyat (51) : 56)
Mencintai karena Allah adalah salah satu bentuk dijadikannya Allah sebagai alasan dari melakukan suatu kegiatan. Berdasarkan ayat di atas, mengabdi (ibadah) adalah tujuan penciptaan manusia. Karenanya, seharusnya kehidupan seorang manusia adalah untuk memenuhi tujuan penciptaan tersebut. Menikah (mencintai) adalah ibadah, namun ibadah tidak hanya menikah, selain itu, kita tidak dilahirkan untuk menikah.
Mengapa (hanya) mencintai karena Allah, dan tidak bekerja, bersosial, tidur, bangun, dan makan, karena Allah?
Jadi, saya berpikir, sebenarnya kegiatan “mencintai karena Allah” adalah bagian kecil dari menjadikan “hidup karena Allah”. Agar dapat mengatakan “aku mencintaimu karena Allah”, maka seseorang harus mampu mengatakan “aku hidup karena Allah” terlebih dahulu. Jika pada prakteknya ternyata terbalik urutannya, mungkin perlu dievaluasi kembali; Apakah urusan terpenting dalam hidup saya? Apakah tentang cinta? Saya bertemu dengan ayat ini,
Katakanlah: “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan NYA, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS At-Taubah (9) : 24)
Mencintai Allah, Rasulullah, dan berjihad di jalan Allah, katanya. Mungkin, perihal “mencintai” ini bukan hal terpenting yang perlu dipikirkan pemuda-pemudi islam saat ini. Tapi tentang hidupmu, nan, setiap langkahmu. (put/thayyibah)
Depok, 12 Desember 2015.
Ditulis oleh: Luput