Breaking News

Stigma: Antara Cadar dan Teroris

perempuan bercadar

thayyibah.com :: “SERUPA TAPI TAK SAMA”, suatu ungkapan yang sesungguhnya tidak mampu mewakili persepsi terhadap cadar dan teroris. Namun terpaksa ungkapan tersebut kita hadirkan sebagai jawaban dari pihak yang dirugikan atas sejumlah asumsi negatif yang dialamatkan kepada kalangan bercadar. Setidaknya, cuplikan kalimat berikut ini menggambarkan hal tersebut, “Kami tidak tahu siapa orang-orang yang disebut teroris, kami hanya mau menjalankan apa yang kami yakini benar,” kata seorang pria yang bercelana ngatung dan istrinya bercadar.

Begitulah, seolah-olah terdapat kaitan yang erat antara cadar dan teroris seiring kejadian ledakan bom di sejumlah tempat. Persepsi tersebut terbentuk lantaran pelaku bom disinyalir orang yang beristrikan wanita bercadar. Padahal banyak orang yang memiliki ciri yang sama tidak mengenal kelompok teroris bahkan turut mengutuk perbuatan teror – siapa pun pelakunya – yang pastinya merugikan banyak pihak.

Jika pelakunya sungguh-sungguh muslim, patutlah dikritisi tindakan mereka yang mengatasnamakan Islam. Apakah mereka tidak memahami la-rangan membuat kerusakan, terlebih di bukan wilayah perang? Jika pelakunya orang kafir, tidakkah kita menyadari legalisasi segala cara yang mereka lakukan dalam perseteruannya dengan Islam?

Memang, stigma antara teroris dan cadar “terlanjur” muncul ke permukaan. Sayangnya, banyak orang yang tidak mengkonfirmasikan stigma tersebut dengan pendekatan ilmiah. Ilmiah yang menjelaskan bahwa cadar adalah bagian dari syari’at Islam, dan teroris yang bukanlah dogma Islam.

Bahwa cadar adalah syari’at Islam diterangkan dalam Firman Alloh subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He)“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Alloh adalah Maha Pengampun lagi Maha Penya-yang’.” (QS. Al Ahzab: 59)

Ayat ini memerintahkan para wanita untuk menutup seluruh tubuh sebagaimana ‘Aisyah  dan para wanita pada zamannya juga menggunakan cadar. Hal ini dituturkan ‘Aisyah raḍyAllāhu 'anha (may Allāh be pleased with her), “Para pengendara (laki-laki) melewati kami, di saat kami (para wanita) berihram bersama-sama Rasulullah . Maka jika mereka telah dekat kepada kami, salah seorang di antara kami menurunkan jilbabnya dari kepalanya sampai menutupi wajahnya. Jika mereka telah melewati kami, maka kami membuka wajah.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan lain-lain).

Dibanding wanita muslimah secara umum, wanita bercadar memang terhitung sedikit. Namun, seiring pemahaman yang cenderung membaik, jumlahnya pun terus bertambah sebagaimana di era ‘80 dan ‘90 an pun para pengguna jilbab masih sedikit.  Namun, atas dasar kesadaran bahwa syari’at Islam membawa maslahat sekaligus kebahagiaan, para muslimah yang telah mendapat hidayah tidak surut merasakan manisnya iman dengan berpegang teguh kepada ketentuan syar’i. Mereka telah dan sedang mengalami masa-masa sulit penentangan keluarga, kerabat, rekan, dan orang-orang yang belum sepenuhnya menyadari kebaikan syari’at bercadar. Terlebih lagi ketika teror bom mendeskriditkan dan mengeneralisasikan wanita muslimah bercadar.

Bukankah para wanita bercadar melandasi cara berpakaian ini berdasarkan dalil yang shahih, yang dirujuk dari pemahaman dan amalan para Salafush Sholih,  meskipun terkesan aneh oleh mereka yang belum menggali warisan Islam?! 

Inilah salah satu amalan yang telah ditinggalkan oleh kaum muslimah yang penilaiannya justru dianggap asing sebagaimana ketidakbijaksanaan orang-orang yang mengeneralisir pihak yang tampak kesungguhannya dalam menjalankan syari’at Islam dicap sebagai teroris atau bagian dari jaringan teroris. Di sini pun kita harus tahu bahwa banyak pemahaman yang sengaja menjauhkan kesejatian hamba terhadap Alloh subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) dengan mengatakan bahwa “setiap wanita berhak atas tubuhnya sendiri, atau pakaian bukanlah bagian dari syari’at melainkan budaya saja”, atau beberapa pandangan lain yang keliru.

Dalam hal ini, kita harus mewaspadai bahaya yang ditimbulkan manakala seorang muslim justru mencela atau membenci suatu kewajiban Islam atau membenci orang-orang yang mengamalkannya. Bukankah mencela dan membenci satu bagian dari syari’at Alloh subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) baik yang wajib maupun yang sunnah, atau membenci pelakunya (disebabkan karena syari’at yang dia amalkan) merupakan kekafiran kepada Alloh subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He)?!

Alloh subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) berfirman, “Yang demikian karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang diturunkan Alloh (Al-Qur’an) lalu Alloh menghapuskan amalan-amalan mereka.” (QS. Muhammad: 9)

Singkatnya, kita harus menjaga hidayah yang telah Alloh subḥānahu wa ta'āla (glorified and exalted be He) berikan, dan tetap menjalankan kewajiban-kewajiban dengan sabar sebagaimana konsekuensi keimanan, mesti ada ujian yang menyertainya. Serta, kita pun senantiasa wajib menuntut ilmu agama dan menjelaskan kepada ummat dengan hikmah dan lemah lembut, serta hujjah yang kuat agar terbuka hati mereka, insya Alloh, untuk menerima kebenaran ilmu yang berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman Salaful Ummah, bukan pemahaman Teroris. Wallohul Musta’an.

Sumber: HASMI

About A Halia