thayyibah.com :: Kita masuk pada hadits yang ke-4 dalam Bab Zuhud wal Wara’.
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله الهم قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم : “مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ.” أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدَ ، وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّان.
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallāhu Ta’āla ‘anhumā ia berkata: Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam bersabda:
“Barangsiapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari kaum tersebut.”
(HR Imām Abū Dāwūd dalam Sunannya dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban)
Hadits ini derajatnya adalah hasan dan mengandung banyak sekali faidah.
FAIDAH | Tegas menjelaskan bahwa barang siapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari kaum tersebut.
Kaum di sini bersifat umum, yaitu: Barang siapa meniru-niru orang kafir maka dia termasuk dari mereka. Barang siapa yang meniru-niru pelaku maksiat (fujjār/fāsik) maka dia termasuk dari mereka. Barang siapa meniru-niru gaya ahlul bid’ah, maka dia termasuk dari mereka.
Jika dalam perkara yang zhahir (misal: cara berpakaian, gaya hidup) saja dilarang oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam, maka bagaimana lagi kalau kita meniru-niru peribadatan mereka.
Kenapa? Karena kalau kita meniru-niru gaya mereka, maka akan mewariskan kecintaan dalam batin.
Kalau sama zhahirnya antara Si A dan Si B; gayanya sama; cara berpakaiannya sama; modelnya sama; maka akan timbul kecintaan di antara mereka berdua. Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam tidak menginginkan hal ini. Seorang mukmin harus bara’ (berlepas diri) terhadap orang kafir; tidak boleh ada kecintaan terhadap orang-orang kafir dalam masalah agama.
Kenapa? Karena mereka kufur kepada Allāh Subhānahu wa Ta’āla.
Perhatikan!
Contohnya, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memerintahkan kaum muslimin untuk mewarnai uban mereka yang berwana putih.
Dalam hadits Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
غَيِّرُوا الشَّيْبَ ،وَلا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ
“Rubahlah warna putih uban tersebut (disemir dengan selain warna hitam) dan jangan kalian meniru-niru orang Yahudi.” (HR An Nasāi no. 4986, Tirmidzi no. 1674)
Padahal kita tahu, namanya uban bukan kita yang melakukan tetapi terjadi dengan sendirinya. Kalau uban yang terjadi dengan sendirinya saja kita disuruh merubah warnanya agar tidak sama dengan orang Yahudi maka bagaimana lagi kalau seseorang sengaja melakukan suatu perbuatan yang mirip (usaha meniru-niru) dengan perbuatan orang-orang kafir? Ini tentu lebih tidak diperbolehkan. Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam ingin kita punya tamayyuz (tampil beda) dengan orang kafir.
Contohnya lagi, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam mengatakan:
جزوا الشوارب وأرخوا اللحى خالفوا المجوس
“Cukur kumis dan panjangkan jenggot dan selisihilah orang-orang Majusi.” (HR Muslim no. 260)
Kenapa? Karena orang Majusi tidak berjenggot, sampai sekarang pun orang Majusi tidak berjenggot.
Di zaman Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam, orang-orang Yahudi & orang musyrikin berjenggot tetapi Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam melirik kepada satu jenis orang kafir yaitu Majusi (penyembah matahari), dimana mereka tidak berjenggot. Dan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam memerintahkan untuk menyelisihi Majusi. Oleh karenanya, ikhwan dan akhwat yang dirahmati oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla, Seorang Muslim hendaknya berusaha menjauhkan dirinya dari meniru-niru orang kafir dalam masalah pakaian, pola hidup, gaya apalagi dalam masalah peribadatan.
Ada perkara yang perlu kita ingatkan. Kalau ternyata orang kafir melakukan kegiatan yang bermanfaat maka tidak mengapa ditiru.Yang dilarang oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam adalah meniru-niru perkara yang tidak ada manfaatnya yaitu hanya sekedar model/gaya.
Dan contohnya, Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam dahulu tatkala menulis surat kepada pembesar-pembesar orang kafir, Beliau shallallāhu ‘alayhi wa sallam diberi usulan oleh sebagian shahābat agar memberi cap stempel di akhir surat.
Kenapa ? Karena kebiasaan orang-orang kafir, mereka tidak menganggap surat itu resmi kecuali ada stempelnya. Akhirnya Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam meniru mereka karena hal ini ada manfaatnya.
Contohnya adalah, demikian juga tatkala terjadi perang Khandaq, meskipun riwayat ini diperbincangkan para ulama, namun disebutkan dalam di buku sejarah bahwa sebagian shahābat (Salmān Al Fārisi) memberikan ide kepada Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam agar membuat khandaq (parit) ketika dalam kondisi terjepit. Ini dilakukan oleh orang-orang Majusi tatkala dalam kondisi terdesak dan Rasūlullāh shallallāhu ‘alayhi wa sallam meniru cara tersebut. Ini menunjukkan meniru yang dilakukan orang kafir selama bermanfaat tidak mengapa, tidak termasuk dalam tasyabbuh.
Yang jadi masalah, kita lihat sekarang kaum muslimin mengikuti barat (orang-orang kafir) dalam hal yang tidak bermanfaat, seperti gaya hidup, nyanyi-nyanyi, pesta-pesta, ulang tahun, hari nenek dll. Seandainya yang mereka tiru itu bermanfaat, seperti kemajuan teknologi, ini tidak mengapa dan tidak dilarang oleh Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam.
أنتم أعلم بأمور دنياكم
“Kalian lebih tahu tentang perkara dunia kalian.” (HR Muslim)
Yang lebih menyedihkan lagi, kita dapati sebagian kaum muslimin meniru-niru orang kafir dalam beribadah.
Contoh: meniru-niru orang Nashrani yang beribadah menggunakan musik dan nyanyian, padahal ulama seluruhnya (ijma’) mengharamkan alat-alat musik. Ini sebagian kecil yang bisa saya sampaikan mengenai faidah hadits ini, hadits ini pembahasannya sangat panjang.
Semoga Allāh Subhānahu wa Ta’āla menjauhkan kita dari hal-hal yang menjerumuskan kita dalam bertasyabbuh kepada orang-orang yang dibenci oleh Allāh Subhānahu wa Ta’āla. Kita berusaha bertasyabbuh dengan orang-orang shalih, agar kita di kumpulkan bersama mereka pada hari kiamat kelak. (put/thayyibah)