thayyibah.com :: Ada beberapa hikmah atau pelajaran penting yang dapat dipetik dari hadits di atas, diantaranya adalah sebagai berikut :
Sebagai agama yang universal, Islam tidak hanya mengedepankan aspek pemenuhan pelaksanaan hukum syariat kepada pemeluknya hanya dari sisi pendekatan penegakan aturan semata; siapa melanggar mendapatkan hukuman dan siapa melaksanakan mendapatkan pahala.
Namun Islam sangat mengedepankan sisi al-wa’yu ( الوعي ) atau kesadaran dan penghayatan ketika melaksanakan suatu aturan tersebut.
Dalam artian bahwa syariah atau hukum dan perundangan yang terdapat dalam Dinul Islam yang mengatur seluruh dimensi kehidupan, pada hakekatnya tidaklah bertujuan untuk membatasi kaum muslimin, namun hukum tersebut substansinya adalah untuk menjaga nilai-nilai yang sudah mengakar menjadi satu dengan keimanan, agar terjaga dengan baik dan tidak rusak.
Oleh karena itulah, Islam juga menumbuhkan sebuah sikap dan mentalitas yang memotivasi umatnya untuk mentaati hukum syariah, tanpa ada rasa keberatan atau ketrepaksanaan untuk mengikuti hukum tersebut.
Dan salah satu bentuk penumbuhan sikap tersebut adalah dengan cara memperkaya hati dengan sikap al-haya’, yaitu sikap malu yang didasari karena keimanan kepada Allah SWT. Karena dengan sikap al-haya’ ini, setiap muslim akan malu apabila tidak melaksanakan hukum Allah SWT, atau akan malu apabila melanggar aturan Allah SWT, bahkan akan malu apabila tidak beretika sebagaimana diajarkan dalam ajaran dinul Islam (baca; berakhlakul karimah).
Sehingga apabila diibaratkan dengan sifat al-haya’ ini, tanpa adanya hukum pun, setiap muslim tidak akan melakukan pelanggaran hukum atau tidak akan melakukan tindakan yang tercela. Walaupun apabila ditinjau dari sisi kehidupan sosial, hukum tetap perlu diadakan untuk menjaga keharmonian kehidupan sosial.
Bahwa ajaran para Nabi dan Rasul yang diutus oleh Allah SWT ke muka bumi, pada dasarnya memiliki persamaan prinsip dan intisari yang terkandung dalam nilai-nilai yang diajarkan oleh mereka. Karena pada dasarnya semua yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul ra tersebut, merupakan wahyu yang bersumber dari Allah SWT.
Maka jika kita perhatikan, semua Nabi dan Rasul ra tanpa terkecuali mengajarkan kepada kita untuk senantiasa mentauhidkan Allah SWT, beriman kepada hari akhir, berbudi pekerti yang luhur, melakukan amal shaleh, dsb. Dan salah satu nilai utama yang terkandung dalam ajaran semua Nabi dan Rasul ra dan disepakati oleh mereka adalah anjuran untuk senantiasa memiliki sifat al-haya’, yaitu rasa malu yang lahir dari adanya keimanan kepada Allah SWT.
Sikap al-haya’ atau malu, didefinisikan oleh Syekh Mustafa Dieb Al-Bugha dengan ‘menjauhkan diri dari perbuatan yang tercela dan menahan diri dari mengerjakan sesuatu atau juga meninggalkan sesuatu karena khawatir mendapatkan celaan dan cacian yang bertentangan dengan keimanan.’
Namun yang perlu digaris bawahi dari sifat al-haya’ atau malu adalah bahwa al-haya’ merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari keimanan. Ia lahir dan tumbuh bersamaan dengan tumbuh dan berkembangnya keimanan dalam diri seseorang.
Semakin tebal keimanan nya kepada Allah SWT, maka akan semakin tinggi pula sifat al-haya’nya. Oleh karena itulah dalam beberapa hadits kita mendapatkan Nabi Muhammad SAW mengaitkan antara iman dengan al-haya’.
Diantaranya adalah dalam riwayat berikut :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اْلإِيمَانُ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ اْلإِيمَانِ (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Iman itu memiliki enam puluh sekian cabang.
Dan rasa malu merupakan salah satu cabang keimanan.’ (HR.Bukhari)
Ibnu Qayim Al-Jauzi dalam Tahdzib Madarijis Salikin mengemukakan, bahwa sifat al-haya’ dilihat dari akar katanya berasal dari ( الحياة ) al-hayah (kehidupan).
Ia berarti pula al-haya ( الحيا ) yang berarti hujan. Sementara dilihat dari sisi ‘kehidupan hati’, sifat al-haya’ merupakan kekuatan akhlak; dan orang yang sedikit al-haya’nya (rasa malunya), adalah tanda ‘matinya hati dan ruhnya. Dan semakin hati seseroang itu hidup, maka akan semakin tinggi pula sifat al-haya’ nya.
Penulis melihat (terkait dengan apa yang dikemukakan oleh Syekh Ibnu Qayim Al-Jauzzi di atas, bahwa keterkaitan antara al-haya’ (malu) dengan al-hayah (kehidupan) dan al-haya (hujan), adalah bahwa orang yang memiliki rasa malu, maka pada hakekatnya ia adalah orang yang ‘mawas’ ketika menjalani kehidupan. Artinya sifat malu merupakan sifat yang sangat diperlukan dalam menjalani kehidupan di dunia.
Insya Allah rasa malu tersebut akan menyelematkannya dari segala bentuk kemungkaran dan kebathilan. Dan rasa malu itu apabila telah menghiasi pribadi seorang muslim, maka ia akan seperti hujan yang menyirami dan meneduhkan serta menumbuhkan segala kebaikan dalam hatinya dan akan terimplementasi kehidupan, sebagaimana hujan juga akan menumbuhkan berbagai tumbuhan dan meneduhkan bumi atau dengan kata lain, ia akan menjadi energy untuk mendapatkan keridhaan Ilahi. (put/thayyibah)
Oleh: Ust. Rikza Maulan, Lc., M.Ag