thayyibah.com :: Banyak orang mengajukan berbagai alasan untuk tidak berbuat banyak. Membeberkan beragam alasan untuk diampuni dan gagal. Itu ciri orang yang biasa-biasa saja. Tanpa daya tahan, daya dobrak, dan daya juang yang tinggi. Orang seperti ini hanya hidup nyaman untuk dirinya sendiri. Sepi dari pengorbanan dan perjuangan. Padahal Nabi saw. bilang:
خير الناس أنفعهم للناس
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling besar manfaatnya bagi manusia lainnya.”
Kemenangan demi kemenangan dari jihad Nabi saw. dan para sahabat, diraih bukan karena jumlah personel, persenjataan, dan budget mereka lebih unggul dari musuh. Tidak. Sama sekali tidak. Mereka bisa menang justru di tengah keserbaterbatasan. Menembus keterbatasan adalah inti perjuangan yang sesungguhnya. Dengan itulah hidup menjadi lebih bermakna.
Perjuangan melawan penjajah menjadi sejarah kepahlawanan yang begitu heroik, karena para pahlawan itu tetap mau melawan meski hanya dengan bambu runcing di tangan. Mereka tak mau diam. Firman-Nya:
إن الله لا يغير ما بقوم حتى يغيروا ما بأنفسهم
“Sungguh Allah tidak akan mengubah keadaan sebuah komunitas, sampai mereka berusaha mengubah diri mereka sendiri. Artinya, setiap orang dituntut untuk berbuat lebih reaktif, kreatif, dan inovatif.”
Apa yang paling disebut-sebut sejarah tentang Jenderal Soedirman. Karena ia tak mau lelah berjuang, sekalipun dalam kondisi sakit bukan? Orang lain tak melakukan itu. Sedikit pusing saja, absen ke sekolah. Anak agak rewel atau gejala maag-nya kambuh, absen mengajar.
Banyak sekali contoh teladan, para pejuang yang tak kenal lelah. Kehidupan mereka menjadi kisah, yang tak lekang ditelan zaman. Benar-benar menjadi kisah dan berita yang layak diketahui. Jasad boleh terkubur, tapi keteladanan mereka telah menginspirasi banyak orang yang hidup setelahnya.
Kiai Abbas, salah satu sesepuh pesantren al-Khoziny Buduran Sidoarjo, di tengah guyuran hujan menaiki atap asrama santri, mencari genteng yang bocor. Usianya sudah sepuh. Para santri tak diperkenankan membantu, karena merasa itu sebagai tanggung jawabnya. Permintaannya kepada anak-anak didiknya cuma satu: yang penting kalian belajar. Tugas kalian di sini hanya belajar! Ia mau berbuat lebih demi memotivasi dan tidak cengeng terhadap diri sendiri.
Putranya lain lagi. Kiai Mujib sering mengajar di kelas, meski sambil menggendong putra terkecilnya. Jika bepergian selalu saja membawa seabrek kitab, agar tetap istiqomah muthola’ah hariannya. Anak bukanlah gangguan, dan perjalanan bukanlah alasan untuk berhenti berbuat. Semua itu adalah lompatan untuk mendapat pahala yang lebih besar. Makin sulit perjuangan, makin besar pahalanya. Perjuangan adalah melawan kendala.
Kiai Idris Djauhari, perintis pesantren Modern al-Amien Madura, meskipun di atas kursi roda, tak pernah mau tertinggal shalat berjamaah di masjid. Ia minta dibuatkan jalur khusus agar kursi rodanya bisa naik ke lantai masjid. Dan salah satu pesan terakhir yang kerap diujarkan pada keluarga menjelang wafat adalah, “Jamaah, jamaah. Shalat jamaah.”
Almarhumah Ibu Yoyoh Yusroh, dengan putranya yang tiga belas, terbiasa dengan rengekan mereka. Suara bising anak-anak dianggapnya sebagai alunan musik. “Nggak usah dibikin pusing,” katanya. Memang kawan, bagi mereka yang puluhan tahun tak kunjung dikaruniai momongan, suara bising seperti itu adalah suara emas yang paling dirindukan. Lalu kita merasakannya sebagai gangguan? Jangan-jangan itu pantas disebut kufur nikmat. Kadang-kadang sikap kita itu salah, karena kesalahan cara kita memandang.
Pekerjaan wajibnya sebagai istri tak pernah terbengkalai. Padahal tugas dan kesibukannya sebagai ustadzah, pengelola pesantren, organisasi, dan anggota dewan begitu menumpuk. Ia seorang ibu yang super sibuk. Ia bukan manusia gurita yang bertangan banyak. Atau jin yang secepat kilat bisa berpindah tempat, lalu berbagai tugas segera dituntaskan. Bukan. Tapi ia punya seni membangun hubungan baik dan kesediaan menata orang lain. Itulah yang mampu melahirkan tangan-tangan baru, tenaga-tenaga baru, yang bisa mendukung tugasnya. Itulah yang disebut manajemen. Itu pun perjuangan. Perjuangan untuk bisa memanfaatkan sisi baik, dan memaklumi sisi buruk orang lain.
Setiap hari ia pasti sempat membaca tiga juz al-Quran. Dalam kondisi lelah, Tahajud tak pernah absen. Di mana pun ia berada, pekerjaan apapun akan ia lakukan dengan sigap. Termasuk menata baju ke dalam lemari atau menyikat toilet umum. Pantaslah bila semua orang merasa bangga pernah mengenal dan menjadi muridnya. Dan pantaslah bila sekian banyak orang begitu cinta dan merasa kehilangan. Salah satu pesan yang agak kuat dalam ingatan: Dunia itu tempat berjuang. Bukan tempat istirahat. Kalau mau banyak istirahat nanti di Surga. (put/thayyibah)