thayyibah.com :: Berlanjut dari artikel sebelumnya, seseorang bertanya mengenai hukum panggilan “Syahid” untuk seseorang. berikut jawaban dari Ust. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al- Utsaimin:
Memberi kesaksian kepada seseorang bahwa ia mati syahid terjadi pada dua bentuk:
Pertama, diikat dengan sifat seperti ungkapan “Setiap orang yang terbunuh di jalan Allah adalah syahid, orang yang terbunuh mempertahankan hartanya adalah syahid[1], orang yang mati terkena wabah tha’un adalah syahid[2] dan yang serupa ini. Kesaksian dalam bentuk ini hukumnya boleh, seperti yang terdapat dalam nash-nash, karena dengan begitu kamu bersaksi dengan sesuatu yang diberitakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Yang kami maksud dengan boleh adalah tidak terlarang, walaupun padahal bersaksi dengan hal itu sebetulnya wajib dalam rangka membenarkan kabar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
Kedua, diikat dengan seorang tertentu seperti kamu berkata bahwa seseorang tertentu mati syahid. Ini tidak boleh kecuali bagi orang yang telah diberi kesaksian oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam atau sesuai dengan kesepakatan ummat.
Imam Al-Bukhari rahimahullah membuat bab, “Bab tidak dikatakan fulan syahid”. Berkata dalam Fathul Bari (6/90) “Maksudnya dengan kepastian, kecuali hal itu ditetapkan oleh wahyu” sepertinya beliau memberi isyarat kepada hadits Umar, suatu hari ia berkhutbah,
“Kalian mengatakan dalam peperangan kalian ‘fulan syahid’, dan ‘meninggal fulan dengan syahid’, mungkin saja ia telah menindas tunggangannya. Sekali-kali tidak, janganlah kalian mengatakan itu! Akan tetapi katakanlah seperti apa yang dikatakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Barang siapa yang mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid’.”
(Hadits ini hasan dikeluarkan Imam Ahmad, Sa’id bin Manshur dan yang lainnya dari jalan Muhammad bin Sirin dari Abu Al-’Ujfa’ dari Umar).
Kesaksian terhadap sesuatu dilakukan atas dasar ilmu. Syarat seseorang mati dalam keadaan syahid adalah ia berperang dengan niat meninggikan kalimat Allah, dan ini adalah niat batin yang tidak bisa diketahui, karena itu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memberi isyarat kepada hal itu dengan sabdanya, perumpamaan seorang mujahid di jalan Allah, dan Allah lebih mengetahui dengan orang yang berjihad di jalan-Nya”. Juga bersabda,
وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لاَ يَكْلُمُ أَحَدٌ فِي سَبِيْل اللهِ وَاللهُ أَعْلَمُ بِمَنْ يَكْلُمُ فِي سَبِيْلِهِ إِلاَّ جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَالْلَوْنُ لَوْنُ الدَّمِ وَالِّريْحُ رِيْحُ الْمِسْكِ
“Demi yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah seseorang terluka di jalan Allah, dan Allah mengetahui siapa orang yang terluka di jalan-Nya, kecuali ia akan datang pada hari kiamat sedang lukanya mengalirkan darah warnanya warna darah dan wanginya wangi misk” diriwayatkan Al-Bukhari dari hadits Abu Hurairah.
Kemudian orang-orang yang secara lahir memang memiliki niat yang benar, kita hanya bisa berharap ia syahid namun kita tidak memberi kesaksian bagi orang tersebut dan kita juga tidak berburuk sangka.
Berharap adalah keistimewaan di antara dua keistimewaan, akan tetapi kita memperlakukan orang yang mati tersebut di dunia berdasarkan hukum para syuhada. Jika ia terbunuh ketika berjihad di jalan Allah, ia dikuburkan dengan darah yang berlumuran pada pakaiannya dan tanpa dishalatkan. Sedangkan para syuhada karena sebab yang lain selain jihad, maka ia harus dimandikan, dikafani dan dishalatkan.
Jika kita memberi kesaksian bagi pribadi tertentu bahwa ia syahid, maka dengan itu kita berarti telah memberinya kesaksian bahwa ia akan masuk surga; dan masalah ini menyelisihi apa yang diyakini oleh Ahlus Sunnah. Mereka tidak memberi kesaksian dengan surga kecuali orang yang diberi kesaksian oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam baik dengan sifat atau orang tertentu, dan sebagian Ahlus Sunnah berpendapat boleh memberi kesaksian orang yang disepakati mendapat pujian ummat. Ini pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah –rahimahullahu ta’ala.
Dengan semua penjelasan di atas, jelaslah bahwa kita tidak diperkenankan memberi kesaksian bagi seseorang pun bahwa ia mati syahid, kecuali berdasarkan nash dan kesepakatan. Akan tetapi orang yang secara lahir memiliki niat yang benar, kita hanya bisa berharap ia mendapatkan syahid sebagaimana penjelasan yang lalu, ini sudah cukup sesuai bagi kedudukan yang dimilikinya sedangkan ilmu tentangnya ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala. (thayyibah)
CATATAN KAKI:
[1] Shahih, dikeluarkan Abu Daud: 4772, At-Tirmidzi: 1421, An-Nasa’i: 7/115 dari Sa’id Bin Zaid, At-Tirmidzi berkata, hasan shahih. Hadits ini juga memiliki syahid riwayat Muslim: 140 dari Abu Hurairah. [2] Muttafaq ‘alaih, Al-Bukhari: 5732, Muslim 1916 dari Anas, Al-Bukhari: 2829, Muslim: 1914 dari Abu Hurairah, juga dikeluarkan Al-Bukhari dari Aisyah: 5734, Muslim: 1915 dari Abu Hurairah. Lihat Fath al Bary: 10/194. [3]Dikeluarkan Al-Bukhari: 2787 dari Abu Hurairah, di riwayat Muslim: 1878 ada hadits dengan tanpa lafadz “Wallahu a’lam dengan orang yang berjihad di jalan-Nya.”(Sumber: Al-Manahil Lafzhiyah)