thayyibah.com :: Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu’anha berkata,
دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتِ الأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللهِ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
“Abu Bakr masuk dan ketika itu bersamaku ada dua orang anak kecil perempuan dari kalangan Anshar bersenandung syair kaum Anshor pada perang Bu’ats, dan kedua anak itu bukanlah penyanyi. Maka Abu Bakr berkata, “Apakah seruling-seruling setan di rumah Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam!?” Dan ketika itu hari raya, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda, “Wahai Abu Bakr, biarkan mereka karena sesungguhnya setiap kaum memiliki hari raya, dan ini adalah hari raya kita.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
Dalam riwayat Muslim,
جَارِيَتَانِ تَلْعَبَانِ بِدُفٍّ
“Dua orang anak kecil perempuan bermain rebana.”
Beberapa pelajaran yang dapat kita ambil dari riwayat diatas adalah sebagai berikut:
1) Sebagian orang salah memahami hadits ini sebagai dalil pembolehan nyanyian dan musik, padahal justru sebaliknya, hadits ini adalah dalil pengharaman nyanyian dan musik dari beberapa sisi, diantaranya:
Pertama: Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapan Abu Bakr radhiyallahu’anhu bahwa musik adalah seruling setan, hanya saja Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengajarkan kepada beliau adanya nyanyian dan musik yang diperkecualikan.
Kedua: Abu Bakar radhiyallahu’anhu telah mengetahui sebelumnya bahwa nyanyian dan musik itu haram sehingga beliau mengingkari dengan keras, hanya saja beliau belum mengetahui nyanyian dan musik yang diperkecualikan.
Ketiga: Ucapan Aisyah radhiyallahu’anha, “Dan kedua anak itu bukanlah penyanyi”, menurut Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah adalah bentahan terhadap kaum Sufi yang menganggap hadits ini sebagai dalil pembolehan nyanyian, maka Aisyah mengingkari hal tersebut, bahwa kedua anak itu bukan penyanyi.
Keempat: Terdapat dalil-dalil yang sangat banyak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tentang haramnya musik, diantaranya firman Allah ta’ala,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًا أُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ مُهِين
“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh azab yang menghinakan.” [QS. Luqman: 6]
Sahabat yang Mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu ketika menjelaskan makna, “Perkataan yang tidak berguna” dalam ayat di atas, beliau berkata,
الغناء، والله الذي لا إله إلا هو، يرددها ثلاث مرات
“Maksudnya adalah nyanyian, demi Allah yang tidak ada yang berhak disembah selain Dia,” beliau mengulangi sumpahnya tiga kali.” [Tafsir Ath-Thobari, 21/39, sebagaimana dalam Tafsir Ibnu Katsir, 6/330]
Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata,
وكذا قال ابن عباس، وجابر، وعِكْرِمة، وسعيد بن جُبَيْر، ومجاهد، ومكحول، وعمرو بن شعيب، وعلي بن بَذيمة
وقال الحسن البصري: أنزلت هذه الآية: {وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ} في الغناء والمزامير
“Penafsiran yang sama juga dikatakan oleh Abdullah bin Abbas, Jabir, Ikrimah, Sa’id bin Jubair, Mujahid, Makhul, ‘Amr bin Syu’aib dan Ali bin Badzimah. Dan berkata Al-Hasan Al-Basri, turunnya ayat ini, “Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan”, dalam (mencela) nyanyian dan alat-alat musik.” [Tafsir Ibnu Katsir, 6/331]
Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِى أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Sungguh akan ada nanti segolongan umatku yang menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki diharamkan), khamar dan alat-alat musik.” [HR. Al-Bukhari dan Abu Dawud dari Abu Malik Al-‘Asy’ari radhiyallahu’anhu]
2) Hadits Aisyah ini memberikan pengecualian nyanyian dan musik yang dibolehkan apabila terpenuhi beberapa syarat:
Syarat Pertama: Dinyanyikan anak kecil perempuan yang belum baligh dan tidak memunculkan fitnah (godaan bagi laki-laki), oleh karena itu sebagian ulama menghukumi laki-laki yang menyanyi dan bermain musik sebagai banci, menyerupai wanita.
Syarat Kedua: Syair yang dinyanyikan tidak bertentangan dengan syari’at, tidak seperti syair-syair nyanyian syahwat anak muda yang memabukkan hati dan melalaikan dari berdzikir kepada Allah subhanahu wa ta’ala, dan menurut Al-Qurthubi rahimahullah bahwa ucapan Aisyah radhiyallahu’anha, “Dan kedua anak itu bukanlah penyanyi”, menunjukkan bahwa mereka tidak mengetahui nyanyian, maka nyanyian yang dimaksudkan di sini tidak seperti nyanyian-nyanyian kotor yang sudah dimaklumi.
Syarat Ketiga: Hanya dinyanyikan pada momen-momen tertentu saja, seperti di hari raya dan resepsi pernikahan, bukan kebiasaan atau hobi tiap hari, apalagi dijadikan profesi.
Syarat Keempat: Tidak diiringi alat musik kecuali rebana murni, yaitu rebana yang tidak disertai tambahan alat-alat lain yang biasa ditempelkan atau dikaitkan di sampingnya, dan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah menerangkan bahwa pembolehan rebana tidak melazimkan pembolehan alat musik yang lainnya. Maka dipahami bahwa pembolehan rebana hanyalah pengecualian.
Syarat Kelima: Yang menyanyikannya tidak berprofesi sebagai penyanyi, dan itu adalah profesi yang haram, dahulu yang menekuni profesi ini hanyalah budak-budak, bahkan harga mereka menjadi murah apabila diketahui sebagai ‘artis’, namun anehnya pekerjaan haram ini sangat diminiati hari ini dan diberi bayaran yang tinggi, bahkan para pemain seruling setan tersebut menjadi idola-idola manusia, laa hawla wa laa quwwata illa billah.
3) Nyanyian dan musik adalah maksiat, apabila digunakan untuk beribadah kepada Allah, seperti nyanyian-nyanyian kaum Sufi, atau pengiring dzikir, takbir dan sholawat, atau sebagai sarana dakwah, maka keharamannya bertambah, yaitu disamping maksiat, juga termasuk kategori menambah-nambah atau berbuat bid’ah dalam agama.
4) Dalam hadits ini Abu Bakr radhiyallahu’anhu mencela anaknya Aisyah radhiyallahu’anha dan dua orang anak kecil tersebut, maka ini menunjukkan bahwa seorang ayah tetaplah memberikan bimbingan kepada anaknya walau ia sudah menikah dan memberikan teguran apabila anaknya menyelisihi syari’at.
5) Hari raya adalah hari yang dianjurkan oleh syari’at untuk bersenang-senang dan bersuka cita, selama tidak melanggar syari’at.
6) Setiap umat memiliki hari raya tersendiri, dan hari raya umat Islam telah ditentukan oleh syari’at, tidak boleh ditambah dan dikurangi, oleh karena itu semua hari perayaan seperti maulid, muharram, isra’ mi’raj, kemerdekaan dan lain-lain adalah termasuk bid’ah dan tasyabbuh (menyerupai) orang kafir.
7) Tidak boleh bergembira dan bersuka cita ketika hari raya kaum musyrikin dan menyerupai mereka atau ikut merayakan.
8) Dalam sebagian riwayat disebutkan bahwa ketika itu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam keadaan menutupi dirinya dengan pakaiannya sehingga tidak terlihat oleh Abu Bakr radhiyallahu’anhu, maka ini menunjukkan beliau pun berpaling dari musik yang dibolehkan tersebut karena kedudukan beliau sebagai orang yang paling takwa, namun beliau tidak mengingkarinya maka menunjukkan kebolehannya, sebab beliau tidak mungkin membiarkan kemungkaran, namun kebolehannya harus dalam bentuk memenuhi syarat-syarat seperti yang beliau bolehkan tersebut, tidak boleh ditambahi.
9) Disyari’atkan memberi kelapangan kepada keluarga di hari-hari raya selama tidak bertentangan dengan syari’at, hal itu demi membuat mereka nyaman dan bersantai sejenak setelah capek beribadah.
10) Bolehnya seorang bapak memasuki rumah putrinya yang sudah menikah dan memberikan pengajaran kepadanya walau di depan suaminya.
11) Kelembutan Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam terhadap istri beliau untuk meraih cintanya.
12) Orang-orang yang terpandang dengan kebaikan ilmu dan ketakwaan hendaklah berpaling dari kesia-siaan dan permainan meski pun bukan dosa, yang lebih pantas melakukan itu hanyalah anak-anak kecil.
13) Seorang murid hendaklah bersegera mengingkari kemungkaran yang terjadi di depan gurunya, demi menjaga kemuliaan gurunya tersebut.
14) Seorang murid boleh berfatwa di depan gurunya dengan fatwa yang mencocoki metode gurunya.
15) Memuliakan seorang guru, karena kemungkinan dalam hadits ini –sebagaimana kata Al-Hafizh- bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam sedang tidur, sehingga Abu Bakr radhiyallahu’anhu tidak ingin beliau terganggu.
16) Meski pun nyanyian dan musik tersebut diperkecualikan dari yang haram namun Aisyah radhiyallahu’anha tetap memerintahkan kedua anak perempuan tersebut untuk pergi demi menjaga perasaan bapaknya dan karena takut dimarahi.
17) Rasa malu Aisyah radhiyallahu’anha untuk berbicara di depan orang yang lebih tua dan lebih berilmu darinya, terlebih bapaknya sendiri.
18) Nikmatnya persatuan para sahabat dalam Islam setelah dahulu sebelum masuk Islam mereka saling berperang.
19) Bahayanya pengaruh nyanyian dan musik terhadap jiwa manusia sehingga para sahabat mengingkarinya dengan keras.
20) Kemudahan, keistimewaan dan kesempurnaan syari’at Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
[Disarikan dari Fathul Bari, 2/440-442] (thayyibah)