thayyibah.com :: Belum genap dua bulan menjabat sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Rachmat Gobel, Thomas Lembong langsung membuat sensasi. Founder perusahaan private equity Farindo Investment, perusahaan joint venture dengan Farallon Capital asal Amerika dengan grup Djarum ini berencana melakukan relaksasi, alias pelonggaran peredaran minuman keras (miras) di Indonesia.
Padahal, menteri perdagangan sebelumnya Rachmat Gobel telah mengeluarkan peraturan menteri perdagangan (Permendag) yang berisi larangan penjualan minuman beralkohol golongan A atau berkadar alkohol kurang dari 5 persen di minimarket. Lewat Permendag No.06/2015, menteri Gobel hanya mengizinkan minuman keras dijual di supermarket, kafe, hotel yang punya surat izin menjual minuman keras.
Dalam permendag yang dibuat Rachmat Gobel membuat peraturan ada 10 tempat yang diharamkan menjual miras sesuai Permendag yaitu berdekatan dengan perumahan, tempat ibadah, sekolah, rumah sakit, terminal, stasiun, gelanggang remaja/olah raga, kaki lima, kios-kios, penginapan remaja/bumi perkemahan.
Akan tetapi kini, Thomas Lembong berinisiatif melalui Peraturan Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Nomor 04/PDN/PER/4/2015 tentang Juknis Pelaksanaan Pengendalian, Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A untuk memberi wewenang kepala daerah menentukan peredaran miras di masing-masing wilayahnya. Jadi, pemerintah daerah sendiri yang akan mengatur dan menentukan tempat-tempat yang diperbolehkan menjual minuman keras termasuk di daerah wisata. Karena diserahkan kepada pemerintah daerah itulah, maka hampir bisa dipastikan peredaran miras dalam masyarakat akan kembali marak.
Tak ayal, masyarakat kemudian melakukan protes di mana-mana. Di media sosial, pro-kontra menanggapi kebijakan Menteri Thomas dalam membebaskan kembali peredaran dan penjualan minuman alkohol kian memanas.
Kebiajakn baru Menteri Thomas ini berawal dari pengumuman paket kebijakan ekonomi tahap I September 2015 yang telah di regulasi Presiden Joko Widodo, yang salah satunya memuat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6/M-DAG/PER/1/2015 tentang Pelaksanaan Pengendalian Peredaran dan Penjualan Minuman Beralkohol Golongan A. Dikutip dalam daftar Kebijakan Deregulasi September 2015, Senin (14/9), aturan ini kembali ‘membebaskan’ peredaran minuman alkohol walaupun masih ada peran pemerintah daerah (pemda) untuk mengaturnya.
Bagi mereka yang mendukung kebijakan Menteri Thomas ini beralasan, bahwa miras telah memberikan sumbangsih cukai yang besar. Berdasarkan catatan, pada 2014, cukai atas minuman keras (miras) yang tergolong dalam Minuman yang Mengandung Etil Alkohol (MMEA) mengalami kenaikan berkisar dari Rp. 2000 hingga Rp. 9000 perliter. Kenaikan itu mencakup MMEA seperti bir yang mengandung alkohol kurang dari 5 persen, hingga minuman keras lainnya yang mengandung alkohol lebih dari 20 persen. Dengan kenaikan ini, besar cukai miras akan berkisar dari Rp.13 ribu per liter hingga Rp.139 ribu per liter. Tercatat pula hasil pemerimaan cukai didominasi oleh tembakau dan minuman keras. Target penerimaan cukai dari tembakau sebesar Rp. 111 triliun sedangkan minuman keras sebesar Rp. 6 triliun. Sehingga kontribusi dari rokok mencapai 11.1% dan dari minuman keras mencapai 0.6%.
Jika memang ini alasan pemerintah, maka jelas pemerintah lebih memilih uang Rp 6 triliun itu dari pada moral dan fisik anak bangsa yang rusak. Atau dengan kata lain, biarlah moral dan fisi masyarakat rusa asalkan Rp. 6 trilyun bisa diraup.
Sebagai anggota masyarakat yang mencintai keberlangsungan hidup bangsa yang lebih baik, maka kita wajib memberikan peringatan kepada pemda agar 10 tempat yang dilarang penjualan miras di situ, benar-benar steril dari miras jenis apapun. Selain itu, kita juga harus mendorong pemda dan DPRD membuat perda miras atau alkohol guna mempersempit peredaranya
Sekedar mengingatkan, bahwa Presiden Jokowi pernah membuat komitmen saat menutup Kongres Umat Islam Indonesia, Februari 2015 lalu. Di situ Jokowi mengatakan, bahwa tidak masalah negara kehilangan trilunan Rupiah karena pelarangan penjualan miras di minimarket dan toko pengecer yang ada di sekitar permukiman. Karena jika dibiarkan (miras dijual bebas) kerugian yang akan ditanggung negara ini lebih besar.
Oleh karena, adalah sungguh aneh, kalau rencana relaksasi ini merupakan salah satu yang masuk dalam Peket Kebijakan Ekonomi yang dikeluarkan pemerintah pada 9 September lalu. (redaksi/thayyibah).