Ilustrasi Gambar I love Islam
thayyibah.com :: Diriwayatkan dari Abu Hurairah rodhiyallahu anhu , bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
:بَدَأَ الْإِسْلَامُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
“Islam datang dalam keadaan asing dan akan kembali dalam keadaan asing pula. Maka berbahagialah bagi orang yang asing.” (HR. Muslim no. 208)
Dalam riwayat yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang dikatakan asing.
الَّذِينَ يَصْلُحُونَ إِذَا فَسَدَ النَّاسُ
“(Mereka adalah) orang-orang yang baik ketika manusia ini rusak.” (Lihat Silsilah Ash-Shahihah no. 1273)
نَاسٌ صَالِحُونَ قَلِيْلٌ فِي نَاسٍ سُوْءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ
“(Mereka adalah) orang-orang shalih dalam jumlah yang sedikit di tengah-tengah manusia jahat yang sangat banyak. Orang yang memaksiati mereka lebih banyak daripada yang menaatinya.” (Lihat Silsilah Ash-Shahihah no. 1619)
Lebih lanjut, Ibnul Qayyim rohimahullah menerangkan bentuk keasingan ini, “Seorang mukmin asing dalam urusan agamanya karena rusaknya agama manusia (saat itu).
➡ Dia asing dalam berpegang (dengan As-Sunnah) karena umat ini berpegang dengan kebid’ahan.
➡ Dia asing dalam keyakinannya karena rusaknya bentuk-bentuk keyakinan mereka.
➡ Dia juga asing dalam tata cara shalatnya karena jeleknya cara shalat manusia.
➡ Dia asing pula dalam jalan yang ditempuhnya karena sesatnya jalan manusia.
➡ Dia asing dalam mengelompokkan dirinya karena umat ini menyelisihinya dalam hal ini.
➡ Dia asing dalam pergaulannya karena dia bergaul dengan mereka dalam hal yang tidak diinginkan oleh hawa nafsu mereka.
Kesimpulannya, dia asing dalam hal dunia dan akhiratnya.Dia tidak menemukan seorang penolong pun dari umatnya. Dia tumbuh sebagai orang alim di tengah-tengah orang-orang jahil, pengikut As-Sunnah di tengah-tengah pengikut bid’ah, sebagai da’i kepada Allah dan Rasul-Nya di tengah-tengah para penyeru kepada hawa nafsu dan kebid’ahan, penyeru kepada yang ma’ruf di tengah kaum yang (mengubah) ma’ruf menjadi mungkar dan yang mungkar menjadi ma’ruf.” (Lihat Madarijus Salikin 3/199)