Breaking News
Berulang Kapal Tenggelam, Berbilang Nyawa TKI Melayang (Foto : Istimewa)

TKI dan Tragedi Kemanusiaan, Mengetuk Hati Pemerintah

Berulang Kapal Tenggelam, Berbilang Nyawa TKI Melayang (Foto : Istimewa)
Berulang Kapal Tenggelam, Berbilang Nyawa TKI Melayang (Foto : Istimewa)

thayyibah.com :: Tragedi berulang tragedi. Berulang kapal tenggelam, bebilang nyawa melayang. Itulah keadaan yang berulang-ulang diamali Tenaga Kerja Indonesia (TKI) yang mengadu nasib di Malaysia. Terakhir, tanggal 3 September yang baru lalu, pekerja illegal asal Aceh, Medan dan Surabaya yang berniat pulang untuk perayaan Idul Adha, setelah sekian lama bekerja di perkebunan dan restoran di Hutan Melintang, Malaysia, menjadi korban tenggelamnya kapal atau perahu motor yang mereka tumpangi. Perahu naas itu berangkat Rabu (2/9) tengah malam dan hendak menuju Tanjungbalai, Asahan, Sumatera Utara, kemudian terbalik dihantam gelomang di Selat Malaka, masih di perairan dekat Sabak Berenam, Selangor, Malaysia.

Kepada pers Malaysia, Kapten Perahu Ramly, mengatakan, sebagian penumpang dari 70 orang itu tertidur ketika laut menggelegak dan membalikan perahu. Mereka yang tertidur terlempar dan yang kebetulan tidak tertidur, melakukan upaya penyelamatan. Lima perahu nelayan yang kebetulan lewat melakukan penyelamatan cepat, mengambil mereka yang terapung-apung berpegang sebatang kayu atau apa pun. Korban selamat telah berjam-jam berada di air. Lokasi kecelakaan hanya enam mil dari Sabak Bernam.

Sampai Ahad (6/9) sudah 29 korban tewas ditemuka, termasuk ada seorang anak berusia dua tahun. Sedangkan korban selamat sudah 20 yang ditermukan. Selama tiga hari berturut-turut pemerintah diraja Malaysia melakukan pecarian di laut dan udara. Sedangkan pihak KBRI saat ini sedang mengupayakan WNI yang selamat agar bisa dipulangkan tanpa proses hukum. Begitu pula dengan jenazah, segera dipulangkan oleh KBRI setelah teridentifikasi identitasnya.

 

Apakah Presiden Jokow Memahami?

 

Kisah tenggelamnya perahu yang memuat TKI illegal kali ini tak kalah mirisnya dengan kisah yang sudah-sudah. Karena bekerja secara illegal di Malaysia, maka kepulangan merekapun diupayakan dengan perjalanan yang illegal dan beresiko. Kapal atau perahu motor yang mereka tumpangi itu hanya berukuran panjang 15 meter dan lebar 3 meter. Perahu sekecil itu harus dihimpiti oleh 70 orang. Dalam peraturan di Malaysia, kepal seukuran itu hanya boleh dumpangi oleh 15 orang.

Seorang TKI yang selamat menuturkan kepada pers, bahwa mereka membayar 700 ringgit, sekitar Rp 2,3 juta kepada Tekong –sindikat penyelundup manusia dari Indonesia ke Malaysia—sebagai ongkos pulang tanah air. Jika saja mereka bekerja secara legal dan masuk-keluar Malaysia secara legal pula, maka tentu Rp. 2,3 juta adalah sebuah angka yang bisa membeli kenyamanan dalam perjalan.

Melihat tragedi kemanusian TKI illegal yang berulang seperti ini, maka sudah barang tentu kita meminta pemerintah membenahi agar kasus-kasus seperti tenggelamnya kapal atau perahu di Sabak Berenam ini tak terulang lagi. TKI illegal ini harus menjadi perhatian bersama, mulai dari masing-masing individu sampai pada kelompok, LSM, lembaga agama, lembaga pendidikan, institusi pemerintah, aparat keamanan, penegak hukum dan semua lembaga kemanusiaan apa saja. Perhatian karena kematian, penyiksaan, pelecehan dan penindasan yang mereka terima dan rasakan selama di tempat mereka berkerja. Kita menyaksikan dengan mata telanjang jika mereka “dijual” oleh tangan-tangan manusia yang kehilangan rasa iba, rasa kemanusiaan dan rasa cinta terhadap sesama. Sungguh menyakitkan kala TKI dan TKW ilegal ini dijadikan barang dagangan dan alat jasa manusia oleh penyalur tenaga kerja.

Kita harus berusaha keras untuk mencegah jatuhnya korban lagi. Menghapus human trafficking, memutuskan jalur-jalur ilegal, menghancurkan perusahaan-perusahaan penyalur tenaga kerja bermasalah, menghukum pelaku kejahatan kemanusiaan dan bila perlu juga memberi sanksi calon tenaga kerja yang secara sadar dan mau untuk dikirim walaupun tidak memenuhi standar.

Belum lama ini kita mendengar, ada dorongan moratorium yang diajukan DPRD Provinsi NTT guna menghentikan pengiriman TKI illegal. Provinsi NTT memang selama ini menjadi daerah yang paling banyak memasok tenaga kerja illegal ke Malaysia. Langkah DPRD NTT ini harus kita jadikan sebagai awal dari gerakan untuk membebaskan bangsa ini dari pengiriman tenaga kerja ilegal yang berujung pada penjualan, penyiksaan, penindasan dan penderitaan lainnya.

Harapan besar ini tentu kita bebankan kepada Presiden Jokowi. Hanya saja, apakah Presiden Jokowi mau menyadarinya atau tidak? Apakah Presiden Jokowi memahami masalah tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyatnya? Ataukah Prsiden Jokowi memang tidak memahaminya? Karena setelah tragedi Sabak Berenam ini, Jokowi belum buka suara soal itu.

Sekedar mengingatkan kita semua, Jokowi pernah menyampaikan keprihatinannya pada tragedi yang menimpa TKI illegal semacam ini, pada tahun lalu. Ketika itu, tanggal 18 Juni 2014, peristiwa kapal tenggelam di Malaysia. Tanggal 22 Juni atau empat hari kemudian, Jokowi tampil dalam acara debat calon presiden bersama Prabowo yang berlangsung di di Hotel Holiday Inn, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Sebelum debat dimulai kedua calon diberikan kesempatan empat menit untuk menyampai visi-misi. Jokowi yang mendapatkan kesempatan kedua. Jokowi menyampaikan ada empat poin untuk mencapai ketahanan nasional. Salah satunya melindungi warga negara Indonesia yang berada di luar negeri, menyangkut TKI.

“Dan malam ini saya mengucapkan duka cita yang mendalam atas kecelakaan kapal TKI kita di perairan Malaysia semoga semua selamat,” kata Jokowo.

Namun pernyataan Jokowi justru membuat semua yang menyaksikan debat itu lebih prihatin, karena sebelumnya sudah ramai diberitakan bahwa puluhan korban yang sebagian dari Aceh itu sudah tewas, bahkan sudah ada yang dibawa ke pulang ke Aceh untuk disemayamkan. Jadi, Jokowi memang tidak mengerti soal tragedi itu, waktu itu. Entah sekarang. (darso arief/thayyibah)

 

 

About Darso Arief

Lahir di Papela, Pulau Rote, NTT. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Bekasi. Karir jurnalistiknya dimulai dari Pos Kota Group dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.