Karena Yusuf Mansur Menipu (?)
Mahir Ismail, asal Planggu Trucuk, Kab Klaten, Jawa Tengah. Dia adalah salah satu penduduk Klaten yang rajin ikuti kegiatan Wisata Hati Yusuf Mansur yang tidak sekali dua diadakan di Klaten.
Seperti di kota-kota lain, di Klaten dalam setiap ceramahnya Yusuf Mansur atau para penceramah yang tergabung dalam Wisata Hati seringkali meminta jamaah yang hadir untuk bersedekah. Bukan hanya uang di dompet jamaah yang diminta untuk dikosongkan tapi juga perhiasan yang menempel di badan juga diminta untuk disedekahkan.
Dalam suatu kesempatan, masih di Klaten, tepatnya di Gedung Dharma Wanita, Wisata Hati menggelar hajatan. Kali ini, meski tidak dihadiri oleh Yusuf Mansur, penceramah Wisata Hati tetap meminta jamaah bersedekah uang. Sebagai konpensasi, Wisata Hati akan memberikan buku Yusuf Mansur yang berjudul “40 Hari Bebas Hutang”. Mahir sendiri saat itu bersedekah uang sebesar lima juta rupiah.
Sayangnya, hingga lebih dari setahun, buku yang oleh Yusuf Mansur dipublikasikan bak jampi pelunas hutang itu, tak pernah diterima Mahir. Apalagi, belakangan Mahir tahu kalau uang sedekahnya itu dipakai Wisata Hati untuk membayar sewa gedung tempat acara.
Mahir kemudian merasa tertipu dengan upaya Wisata Hati dalam menghimpun dana sedekahnya itu. Ia kemudian memberi kuasa kepada penulis untuk meminta kembali uang yang sudah diserahkannya. Permintaan tersebut ditujukan kepada Yusuf Mansur selaku pemimpin dan pemilik Wisata Hati.
Selain untuk meminta kembali uangnya, dalam surat kuasanya Mahir memberikan amanat kepada penulis untuk menyelesaikan masalah ini secara hukum, baik melalui kepolisian maupun melalui pengadilan. Surat kuasa dari Mahir Ismail itu ditandatanganinya pada tanggal 1 Agustus 2016 di Jakarta. .
Hanya saja, karena penulis bukan seorang pangacara, maka proses selanjutnya penulis melanjutkan kuasa dari Mahir Ismail itu kepada Kantor Pengacara Chaidir Arief, SH. MH yang beralamat di Jalan Salemba Raya I Nomor 14A.
Orang kedua yang memberikan amanat kepada penulis untuk mempolisikan Yusuf Mansur adalah Hj. Rahmanizar, seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang berdomisili di Medan, Sumatera Utara.
Hj. Rahmanizar yang bersuamikan seorang dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara ini awalnya adalah seorang pengagum Yusuf Mansur. Saking kagumnya, dia menyekolahkan ketiga anak laki-lakinya di pesantren mulik Yusuf Mansur Darul Qur’an. Anak tertuanya yang sudah menamatkan Madrasash Tsanawiyah di Pesantren Darussalam, Gontor, dia rela memindahkannya ke Darul Qur’an.
Karena kekagumannya itu pula, maka ketika Yusuf Mansur datang ke Medan dan mengajak berinvestasi pada Hotel Siti, dia ikut saja tanpa mempertimbangkan syarat-syarat berinvesgtasi yang benar.
Dalam tahun 2012, Yusuf Mansur mengundang warga Kota Medan ke Hotel Kanaya, Jalan Darussalam, Medan. Seperti biasanya, Yusuf Mansur “menjual” thema-thema bebas hutang dan cepat kaya raya. Seperti biasanya pula, Yusuf Mansur mengajak audiens bersedekah (kepada dirinya). Selain itu, kali ini Yusuf Mansur juga mengajak dan meyakinkan hadirin untuk berinvestasi di Hotel Siti miliknya. “Hotel ini tidak akan dipakai maksiat karena yang akan menginap di situ adalah jamaah umroh dan haji,” demikian salah satu penguatan Yusuf Mansur. Saat ini, Hotel Siti sudah beroperasi layaknya sebuah hotel. Hanya saja, dalam pengamatan penulis, janji Yusuf Mansur terhadap layanan hotel itu jauh panggang dari api. Tak ada jamaah calon haji yang menginap di situ, demikian pula jamah (yang akan melakukan) umroh.
Karena kagum dan percaya pada Yusuf Mansur, keesokan harinya Hj. Rahmanizar langsung mentransfer uang sebanyak Rp. 100 juta ke rekening Yusuf Mansur pada Bank BCA. Harapannya tentu, uang tersebut benar-benar digunakan sesuai yang dijanjikan Yusuf Mansur sekaligus mendapatkan keuntungan setelah hotel itu benar-benar beroperasi.
Uniknya, Hj. Rahmanizar dan ratusan orang menyetorkan uang kepada Yusuf Mansur waktu itu tidak mendapatkan bukti keikutsertaan invetasi dalam bentuk apapun. Mereka yang langsung menyerahkan uang tunai hanya ditulis dalam selembar kertas. Sedangkan yang memilih menyetor lewat bank, masih beruntung karena masih punya bukti setor, itupun kalau mereka menyimpannya.
Diantara yang hadir saat itu dan ikut menyerahkan uang adalah seorang pemilik hotel ternama di Medan. Bahkan dia dan beberapa anggota keluarganya menyerahkan uang sampai Rp. 370 juta. Belakang pengusaha ini berupaya meminta kembali uangnya kepada Yusuf Mansur. Nanun sampai Agustus 2017 ini upaya itu belum berhasil. “Saya pernah berpikir untuk mengikhlaskan uang itu karena sepertinya Yusuf Mansur sulit mempertanggungjawabkan uang kami itu secara administrasi,” jelas pengusaha itu kepada penulis pertengahan Agustus lalu di Medan.
Hj. Rahmanizar dan masyarakat Kota Medan yang ikut dalam investasi itu tidak tau kalau dalam waktu yang sama Yusuf Mansur juga menjaring investasi untuk obyek yang sama dengan menjual sertifikat Patungan Usaha. Investasi Patungan Usaha ini kemudian dinyatakan illegal pada tahun 2013 oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Setelah mentransfer uang Rp. 100 juta itu, Hj. Rahmanizar dan suaminya berkali-kali ke Jakarta berniat jumpa Yusuf Mansur untuk menanyakan nasib investasi mereka. Setiap kali datang membesuk anak mereka, suami istri ini selalu luangkan waktu untuk berjumpa Yusuf Mansur. Apalagi pasngan istri ini ikut mengajak banyak orang di Medan untuk berinvestasi bersama. Dalam beberapa kali bertemu, Yusuf Mansur tidak memberikan kesempatan untuk mereka untuk sekedar bertanya. “Ada saja alasan Yusuf Mansur untuk menghindar,” demikian suami Hj. Rahmanizar pernah berkata kepada penulis.
Tiga tahun berlalu begitu saja, tanpa ada keinginan baik dari Yusuf Mansur untuk menjelaskan nasib uang mereka. Hj. Rahmanizar dan suaminya akhirnya sampai pada keyakinan, bahwa Yusuf Mansur benar-benar tidak bisa mempertanggungjawabkan uang investasi mereka sebagaimana yang telah dijanjikannya. Kekecewaan ini juga berakibat Hj. Rahmanizar mengeluarkan ketiga anaknya dari Darul Qur’an.
Setelah dua kali bertemu penulis di Medan dan Jakarta, Hj. Rahmanizar bertekad hati memberikan Surat Kuasa kepada pulis untuk melakukan langkah-langkah penyelamatan uang mereka. Surat Kuasa itu akhirnya ditandatangi Hj. Rahmanizar pada tanggal 2 Agustus 2016. Penulis kemudian melanjutkan Surat Kuasa itu kepada Haidir Arief, SH, MH.
Selain Mahir Ismail dan Hj. Rahmanizar, orang ketiga yang menitipkan amanat kepada penulis untuk mempolisikan Yusuf Mansur adalah Darmansyah, pegawai negeri sipil warga Surabaya.
Sama seperti dua orang yang namanya disebut di atas, Darmansyah juga pengagum Yusuf Mansur pada awalnya. Sehingga bisnis apa saja yang digelontorkan Yusuf Mansur selalu dipercayanya.
Ketika Yusuf Mansur membuka bisnis VSI (Veritra Sentosa Internasional), sebuah bisnis penyedia jasa transaksi online, Darmansyah ikut bergabung dan ikut membeli produk-produk VIS. Berbagai macam transaksi dijanjikan Yusuf Mansur dalam bisnis ini, mulai dari membayar berbagai tagihan hingga membayar zakat. Bisnis ini diluncurkan Yusuf Mansur pada pertengahan 2013. VSI sendiri adalah cikal bakal Paytren yang saat ini begitu dibanggakan Yusuf Mansur.
Namun, belum genap setahun VSI berjalan, sudah dinilai banyak kalangan sebagai usaha illegal sehingga akhirnya mangkrak di tengah jalan. Anggotanya sulit melakukan transaksi sedangkan mereka sudah terlanjur menyetor sejumlah uang sebagai syarat untuk bergabung. Padahal sudah ribuan orang yang direkrut Yusuf Mansur, salah satunya diantaranya Darmansyah.
Ketika VSI dalam keadaan sekarat ini, Yusuf Mansur membuka bisnis baru, yakni investasi Condotel Moya Vidi. Bisnis ini diluncurkan pada awal tahun 2014. Ini adalah sebuah program investasi pembangunan kondotel di Yogyakarta. Sedangkan perusahaan yang akan membangun kondotel itu adalah PT. Grha Suryamas Vinandito. Untuk menjaring investor, Yusuf Mansur merekrut anggota VSI dengan janji keutungan yang menggiurkan.
Dalam beberapa kali ceramah Yusuf Mansur di Surabaya, sekali pernah di IAIN Sunan Ampel, Darmansyah, istrinya dan banyak jamaah diajak dan diyakinkan akan mendapat banyak keuntungan dari investasinya. Sama seperti investasi Patungan Usaha sebelumnya, kali ini Yusuf Mansur juga “menjual” sertifikat sebagai bukti keikutsertaan seseorang dalam investasi Condotel Moya Vidi ini. Kalau invstasi Patungan Usaha dijualnya Rp. 12 juta/lembar sertifikat maka untuk investasi ini tiap lembar sertfikat dipatok dengan harga (cuma) Rp. 2,7 juta.
Karena percaya dengan Yusuf Mansur, Darmansyah akhirnya membeli 18 lembar sertifikat seharga Rp. 48,6 juta. Bersama Darmansyah banyak pula warga Surabaya yang ikut membeli sertfikat Condotel Maya Vidi ini, termasuk istrinya dan karyawan salah satu rumah pemerintah di Surabaya.
Belum lagi kondotel tersebut dibangun, Yusuf Mansur tiba-tiba mengeluarkan pengumuman dalam bulan Januari 2015, yang menyatakan bahwa investasi Condotel Moya Vidi dialihkan ke hotel miliknya, yakni Hotel Siti di Tangerang, Banten. Merasa uang investasinya akan menguap dengan percuma, Darmansyah berusaha mempertanyakan nasib uangny itu.
Telah berulangkali Darmansyah berusaha meminta penjelasan kepada Yusuf Mansur tetapi tidak membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkannya. Akhirnya dengan berat hati Darmansyah kemudian menandatangani sebuah surat kuasa kepada penulis pada tanggal 6 Agustus 2016 di Surabaya. Darmansyah memberi amanat kepada penulis dalam surat kuasa tersebut untuk meminta kembali uang investasinya sebesar Rp. 48,6 juta dari Yusuf Mansur. Darmasyah juga memberi amanat untuk menyelesaikan masalah ini secara hukum baik melalui kepolisian maupun pengadilan. Amanat tersebut kemudian penulis teruskan kepada Haidir Arief, SH, MH untuk proses selanjutnya.