thayyibah.com :: Mahar Pernikahan atau sering disebut dengan mas kawin merupakan sejumlah harta dari pihak mempelai laki-laki (atau juga keluarganya) yang ditujukan kepada mempelai perempuan (atau bisa juga keluarga dari mempelai perempuan) saat pernikahan.
Mahar juga menjadi salah satu syarat menjadi sah-nya dalam pernikahan. Rasulullah SAW pun pernah menanyakan pada sahabatnya tentang apa yang hendak mempelai pria berikan pada calon istrinya sebagai mahar.
Mahar sendiri mempunyai makna yang mendalam, hikmah dari mahar ini menjadi sebagai pertanda bahwa seorang wanita selayaknya memang harus dihormati serta dimuliakan.
Karena itulah pemberian mahar harus dengan hati yang ikhlas dan tulus serta harus diniatkan untuk memuliakan seorang wanita. Sebagaimana firman Allah SWT yang terdapat dalam QS. Annisa ayat 4, yang artinya sebagai berikut:
“Berikanlah mahar (mas kawin) pada wanita yang kamu nikahi sebagai sebuah pemberian dengan penuh kerelaan …..…” (QS. An-Nissaa: 4)
Tujuan Mahar Dalam Islam
Perlu kita ketahui lebih lanjut lagi bahwasanya mahar itu hanya sebuah media/wadah dan bukan menjadi tujuan utama. Karena tujuan pernikahan dalam Islam bukan berupaa sarana untuk mencari mahar yang nilainya tinggi )mahal) ataupun mahar yang besar.
Mahar atau mas kawin bukan juga sebagai bahan pameran kepada khalayak umum. Melainkan mahar ini bertujuan untuk memuliakan mempelai wanita itu sendiri.
Bila kamu hendak menikah, sebaiknya tidak perlu dipusingkan dengan mahar, tidak perlu meyusahkan diri dengan mas kawin, sebab tujuan utama dari menikah di dalam Islam bukanlah mahar.
Besarnya Mahar Dalam Pernikahan Menurut Islam
Seperti yang sudah di bahas di atas tadi, mahar adalah pemberian dari mempelai pria yang ditujukan kepada seorang wanita yang hendak dinikahinya, yang nantinya mahar itu akan menjadi milik istrinya secara penuh.
Nah, dalam praktiknya sebenarnya tak ada batasan khusus mengenai besaran mahar dalam sebuah pernikahan.
Rasulullah SAW, sebagaimana yang disebutkan pada sebuah hadits shahih, Beliau memberikan mahar kepada para istrinya sebanyak 12 uqiyah.
Abu Salamah menceritakan,
‘’Aku pernah bertanya pada Aisyah ra, ‘Berapa mahar Nabi SAW untuk para istrinya?’ Aisyah menjawab, ‘Mahar beliau SAW untuk istri-istrinya ialah sebanyak 12 uqiyah & satu nasy.’
Kemudian Aisyah bertanya, ‘Tahukah Kamu berapa satu uqiyah itu?’ Aku menjawab, ‘tidak’ Aisyah pun menjawab, ‘empat puluh dirham.’ A’isya’ bertanya, ‘Tahukah kamu berapa 1 nasy itu? Aku menjawab, ‘tidak’. Aisyah kemudian menjawab, “Dua puluh dirham’. (HR. Muslim).
Umar bin Khattab juga pernah mengatakan,
‘Aku tidak pernah mengetahui bahwa Rasulullah SAW menikahi seorang juga dari istrinya dengan mahar yang kurang dari 12 uqiyah.’ (HR. Tirmidzi).
Selama ini mahar selalu identik dengan uang ataupun barang lain yang sifatnya duniawi. Tetapi sebenarnya, mahar tak harus identik dengan uang, emas, rumah, tanah atau yang lainnya.
Mahar bisa juga berupa sesuatu yang sifatnya akhirati, misalnya saja seperti keimanan, seperti yang sudah diceritakan di dalam sejarah, mengenai mahar yang diminta oleh Ummu Sulaim kepada Abu Thalhah.
Dapat juga berupa ilmu atau bisa dengan hafalan Al Quran, atau mungkin berupa kemerdekaan/pembebasan busak, dan bisa juga dengan apa saja yang dapat diambil manfaatnya, seperti yang dijelaskan di dalam QS. Al Qoshosh yang terletak pada ayat 27.
Seperti contoh dalam hadits berikut:
‘Bergegaslah & ajarkan dia dua puluh ayat, maka dia resmi menjadi istrimu.’ (HR Bukhari)
Dalam kisah yang lain, Rasulullah SAW pernah menikahkan putrinya, yakni Fatimah dengan Sayyidina Ali ra yang pada saat itu menggunakan mahar baju besi kepunyaan Sayyidina Ali.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas RA,
‘‘Setelah Ali menikah dengan Fatimah, Rasulullah SAW mengatakan kepadanya, “Berikanlah sesuatu padanya (Fathimah).’’ Ali menjawab: Aku tidak punya sesuatu pun.’ Maka beliau SAW bersabda, ‘Dimana baju besimu? Berikan baju besimu itu padanya.’ Maka Ali kemudian memberikan baju besinya pada Fatimah. (HR Abu Dawud & Nasa’i).
Bahkan pada seorang laki-laki tidak memiliki sesuatu berupa harta yang dapat diberikan sebagai mas kawin atau mahar, Rasulullah SAW tidak pernah menolak untuk menikahkannya dengan menggunakan mahar beberapa surat yang ada di dalam Al Quran yang telah dihafalnya.
Dikisahkan ada seorang pria yang meminta untuk dinikahkan oleh Rasulullah SAW, namun dia tidak memiliki apapun sebagai mahar, walaupun hanya sebuah cincin dari besi.
Lalu Rasulullah bertanya padanya, ‘Apakah Kamu menghafal Al Quran?’ Ia menjawab, ‘Ya, aku hafal surat ini & surat itu (dia menyebutkan beberapa surat di dalam Al Quran).
‘Maka beliau SAW bersabda, ‘Aku menikahkan Kamu dengannya dengan mahar berupa surat Al Quran yang Kamu hafal itu’. (disarikan dari hadits yang cukup panjang di dalam Kitab Shahih Bukhari no: 1587).
Dari beberapa hadits dan juga ayat Al quran diatas tadi, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tidak ada batasan terhadap bentuk dan juga besarnya mahar pernikahan untuk mempelai perempuan dalam Islam.
Akan tetapi yang disunnahkan yakni mahar yang hendak diberikan disesuaikan dengan kemampuan calon suami.
Mahar Yang Paling Baik Dalam Islam
Para lelaki yang akan menjadi calon suami pasti ingin memberikan mahar terbaiknya untuk mempelai wanita, akan tetapi kebanyakan dari mereka memberika mahar yang tidak dibutuhkan atau tidak diinginkan oleh calon isteri.
Yang terjadi adalah mahar tadi menjadi sedikit ‘mubazir’. Misalnya saja pemberian mahar atau mas kawin berupa Al Quran dan juga seperangkat alat shalat.
Mungkin saja pada waktu itu sang isteri sudah memiliki Al Quran dan mukena (seperangkat alat sholat) yang cukup banyak. Oleh karena itu sebaiknya untuk melakukan diskusi sebelum memberikan mahar.
Dan ini perlu diingat juga bahwa seorang wanita yang baik tak akan memberatkan ataupun menyusahkan calon suaminya di dalam urusan mahar. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW berikut ini:
‘‘Sebaik-baik wanita ialah yang paling murah maharnya.’’ (HR. Ahmad, ibnu Hibban, Hakim & Baihaqi)
Tetapi jika kamu bisa dan mampu memberikan mas kawin yang mahal serta banyak tanpa menyusahkan, silahkan saja, karena mamang itu dianjurkan. Tetapi bila tidak mampu, sebaiknya tidak perlu memaksakan.
Sumber: islamedia