“Pepaya Mangga Pisang Jambu
Dibawa dari Pasar Minggu
Di sana banyak penjualnya
Di kota banyak pembelinya
Pepaya buah yang berguna
Bentuknya sangat sederhana
Rasanya manis tidak kalah
Membikin badan sehat segar
Pepaya jeruk jambu rambutan
Duren duku dan lain lainnya
Marilah mari kawan semua
Membeli buah buahan
Pepaya makanan rakyat
Karena sangat bermanfaat
Harganya juga tak mengikat
Setalen tuan boleh angkat”
Lagu “Pepaya Mangga Pisang Jambu” di atas, adalah ciptaan Adi Karsa. Lagu itu dirilis pada tahun 1957 yang kemudian populer hingga kini.
Bisa jadi, Adi Karsa menciptakan lagu itu karena melihat kenyataan yang ada waktu itu. Para petani yang membawa buah dari Bogor ke Jakarta menjadikan Pasar Minggu sebagai titik pertemuan dengan orang Jakarta sebagai pembeli.
Di samping itu, Pasar Minggu dan kampung-kampung sekitarnya, seperti Depok, Ragunan, Cimanggis dan sebagainya adalah daerah penghasil buah.
Ketika kereta listrik Jabodetabek belum berubah menjadi Commuter Line seperti sekarang ini, kita juga masih melihat petani memikul buah di keranjang yang naik kereta. Para petani naik dari Stasiun Bogor, Cilebut, Bojong Gede, Citayem atau Depok. Mereka membawa buah dagangannya menuju Pasar Minggu.
Sekarang Pasar Minggu tidak lagi seperti apa yang digambarkan dalam lagu di atas. Selain karena semua pasar di Jakarta dengan mudah kita dapatkan buah, Pasar Minggu sendiri lebih dikenal sebagai pasar sayuran, dan tentu saja ada pedagang buahnya. Menjadi pasar sayuranpun itu hanya berlangsung malam hingga jelang subuh. Siang hari, Pasar Minggu sama seperti titik-titik Jakarta lainnya.
Meski begitu, masih ada beberapa pedagang buah di Pasar Minggu yang menggelar dagangannya secara atraktif. Mereka hanya menempati sepenggal trotoar di depan stasiun kereta.
Mereka jelas bukan petani buah. Mereka hanyalah bagian dari masyarakat urban Jakarta yang terseok-seok menyambung hidup di Ibukota.
Jakarta hari ini telah menggusur semua yang pernah menjadi kebanggaan menjadi kenangan. Termasuk lagu di atas.