Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.
TADI MALAM ada kiriman hujan dari Bogor, tanpa suara guntur dan gelak tawa. Di ruang tamu masih tersisa suara supporter Chelsea dari televisi usai memenangkan Derby London dengan Spurs. Jam setengah satu malam hujan reda, suara token listrik makin berisik. Aku matikan televisi, meninggalkan ruang tamu dan masuk ke kamar tidur. Ada beberapa buku puisi dan tasawuf yang berantakan di kolong meja. Kucing kampungku naik ke atas kasur, dia melotot minta tuna, tapi aku hanya membelainya sambil berbisik, “Bukan kamu aja yang lapar, listrik pun lapar. Sabar ya, mudah-mudahan besok ada rezeki lebih dari dunia, buat kita”. Kucing itu tampaknya tak mau mengerti, dia malah loncat ke lantai dua dan tidur di kasur anak bungsuku. Aku coba menghafal suara yang ada di kepala. Ditemani pod warna hitam, aku mendikte satu persatu suara riuh yang entah datang darimana.
SAAT HISAPAN pertama, aku mendengar suara jerit lapar anak tetangga di kepalaku. Anaknya yang pertama beberapa hari lalu dipenjara akibat mencuri laptop demi pengobatan sang bapak. Anak ini hanya lulusan SMP, pekerjaan apa yang layak didapat dari lulusan SMP? Apa yang diharapkan? Maling memang tidak dibenarkan, tapi siapa yang memandang penuh iba? Ia dikejar warga dari satu gang ke gang lain. Dia lari dari kejaran warga, mohon secuil harapan dari keringatnya. Dia tertangkap. Tangan warga dengan santunnya saling berebut memukul. “Pencuri bangsat. Mati kau, kukirim kau ke neraka!” teriak warga. Polisi datang, lalu dibawanya anak muda yang malang itu ke dalam penjara. Ada bercak darah sepanjang jalan. Aku melihat darah itu begitu merah, begitu nyata di mataku. Darah itu seperti simbol perlawanan terhadap Pemerintah. Kenapa para pemimpin kita rela membiarkan rakyatnya mencuri hanya demi harga obat? Kenapa Pemerintah rela membiarkan biaya rumah sakit begitu mahal? Siapa yang harus disalahkan atas musibah ini?
PADA HISAPAN kedua, aku mendengar ada pasangan suami istri yang baru saja menyewa kontrakan di kampung belakang. Mereka masih tampak muda. Suaminya hanya lulusan SD, istrinya tak lulus SMP. Setiap pagi, suaminya memulung di dalam komplek perumahan, berharap dapat rizki dari sampah plastik rumahan. Istrinya menjual diri selepas isya, agar mereka bisa makan dan hidup sampai esok lusa. Para tetangga mulai membicarakan mereka, menajis-najiskan mereka; “Dasar keluarga aneh, masuk aja ke neraka kelian”. Pikiranku makin kacau, aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pada hisapan ketiga. Suara token listrik makin menjadi-jadi. Tak terasa suara ngaji di masjid-masjid sekitar mulai menggema, tanda waktu shubuh akan tiba. Adzan pun menggema, tapi siapa yang peduli dengan nasib anak muda dan pasangan suami istri muda itu? Kemana para pamong negara, kemana para guru agama? Kemana doa-doa tetangga yang dilangitkan? Sejak kapan agama mengajarkan kita menelantarkan antar sesama?
KULETAKKAN POD di meja, aku bergegas ke kamar mandi. Malam ini aku telah melewatkan tahajudku, terlalu banyak memikirkan orang lain, lupa dengan sajadah yang mendingin, sedari tadi menunggu dahiku menyentuh, memberikannya kehangatan. Sambil berjalan menuju masjid menyongsong shubuh, aku beristighfar atas apa yang terjadi malam ini.
Sekian.
Thayyibah