Breaking News

Melahirkan Anjing Penjilat

Oleh : Davy Byanca

Sahabat sufiku.

DALAM PERMAINAN catur, bidak putih dan hitam adalah musuh bebuyutan, tapi orang yang menggerakkan bidak-bidak itu biasanya mereka berteman baik. Begitulah gambaran dunia politik kita saat ini. Politik memang bukan tentang apa yang benar. Politik adalah bagaimana kita bisa salah dengan benar. Para politisi berdiskusi kerana katanya mereka pusing melihat nasib rakyat, padahal rakyat tidak pernah ambil pusing jika mereka ada atau tidak ada. Toh negara tetap bergulir sampai saat ini dan tetap begini-begini saja. Semakin ke sini, eksistensi telah mengalahkan esensi. Prinsip musyawarah untuk mufakat hanya dilakukan untuk kepentingan elit politik saja. Kerana apa yang dimusyawarahkan tidak membawa dampak bagi kehidupan masyarakat banyak, dilakukan hanya untuk membuat undang-undang yang sesuai dengan kehendak dan kepentingan mereka.

SEMENTARA ITU, di pekatnya malam, seorang pekerja serabutan baru pulang dari tempat kerjanya sebagai pekerja harian. Dia dan ribuan pekerja lainnya merasakan kerja dari pagi sampai malam, ujung-ujungnya cuma beli indomie. Di warung ‘internet’, mereka bercengkerama, ‘kopi memang pahit yak. Tapi upah yang telat lebih pahit lagi’, ujar salah seorang sekuriti yang bekerja di pabrik. Para lelaki pekerja itu bisa melawan rasa lelahnya, tapi tidak dengan isi pikirannya. “Sekarang aku baru tahu bagaimana capeknya bapakku dulu, sekarang lelahnya mulai terasa di pundakku”, ujar anak muda yang bekerja di konter pulsa di komplek ruko. Tukang gojek yang sedang rehat dari tadi pun angkat bicara, “kalau tahu ijazah sarjana mudah dibikin, pasti aku melarang bapakku menjual sawahnya di kampung untuk membayar kuliahku sampai sarjana saat ini”.

KITA AKAN melihat perbicangan ibarat langit dan bumi; di gedung parlemen, para wakil rakyat berdiskusi soal bagaimana melangitkan taraf hidup rakyat, sedangkan di arus bawah, di warung-warung, lapo tuak-lapo tuak dan kedai-kedai kopi, rakyat bicara apa yang mereka rasakan dan alami hari ini dengan nada pesimis. Di tengah zaman yang mendewakan gelar. Kita lupa pendidikan sejati bukan untuk menjauh dari membajak tanah, tapi untuk berjalan bersama mereka. Dulu, kerana pikirannya dianggap berbeda dengan penguasa, mas Pramoedya Ananta Toer dibuang ke Pulau Buru tanpa proses peradilan. Bukan kerana kekerasan yang dilakukannya, tapi kerana ia menulis, mempertanyakan arah bangsa yang enggan bercermin. ‘Demokrasi hanya ada di pemerintahan, tidak di tengah masyarakat’. Menurutnya, negeri ini merdeka, tapi tetap tuli dengan jeritan rakyat. Demokrasi lantang di podium, tapi nyaris tak terasa di gang-gang sempit, di warung kecil dan di ladang-ladang kecil.

DI TENGAH PERGUMULAN itu, selalu lahir anjing penjilat berbentuk manusia; ada yang klimis, ada yang bersorban, ada yang pakai blangkon, dan ada yang membangun narasi seolah patriot sejati. Mereka yang menjilat, bukan saja membunuh akal sehat, tapi ikut menyuburkan kedunguan berjemaah. Demi perut, mereka korbankan prinsip, harga diri dan rakyat banyak. Demi jabatan, mereka taburkan kebohongan. Inilah bentuk penjajahan baru, bukan oleh bangsa asing. Tapi oleh sesama anak bangsa yang tak berani berkata jujur. Penjilat hari ini bukan sekadar pengkhianat, merekalah penghambat sejarah peradaban bangsa. Bung Hatta mengingatkan kita, “Pemerintah yang baik bukan hanya pandai membuat aturan, tetapi sanggup menjalankannya dengan jujur”.

Sekian

About Darso Arief

Lahir di Papela, Pulau Rote, NTT. Alumni Pesantren Attaqwa, Ujungharapan, Bekasi. Karir jurnalistiknya dimulai dari Pos Kota Group dan Majalah Amanah. Tinggal di Bekasi, Jawa Barat.