Breaking News

Kisah Ahmed dan Samir

Satu tak bisa melihat. Satu tak bisa berjalan. Tapi bersama, mereka bisa segalanya.

Kisah Ahmed dan Samir adalah potret persahabatan sejati yang menyentuh hati dan melampaui segala batasan. Di Suriah sekitar tahun 1889, sebuah foto tua mengabadikan dua sahabat yang saling bergantung dalam hidup: Ahmed, seorang pria tunanetra, dan Samir, seorang penyintas polio yang bertubuh kerdil. Keduanya yatim piatu—tak punya siapa pun, kecuali satu sama lain.

Karena Samir tak bisa berjalan, Ahmed menggendongnya ke mana pun mereka pergi. Sebaliknya, karena Ahmed tidak bisa melihat, Samir menjadi “matanya,” membisikkan arah dan menggambarkan dunia di sekeliling mereka. Mereka menjelajahi jalanan Suriah dengan satu tujuan sederhana: bertahan hidup dan menjual kacang untuk menyambung hidup. Tapi yang lebih penting, mereka menjelajahi hidup dengan kepercayaan dan kasih yang tulus—sesuatu yang tak bisa dibeli.

Yang membuat kisah ini semakin istimewa adalah perbedaan keyakinan di antara mereka—Ahmed seorang Muslim, Samir seorang Kristen—namun persahabatan mereka tak pernah terpecah. Di tengah dunia yang kadang kejam, mereka menciptakan ruang kecil yang dipenuhi kesetiaan dan saling menjaga.

Setelah Samir meninggal dunia, Ahmed tak sanggup menanggung kesedihan. Ia mengurung diri dan ditemukan wafat seminggu kemudian. Banyak yang percaya bahwa ia meninggal karena patah hati.

Kisah mereka bukan hanya tentang dua orang miskin di pinggir jalan. Ini adalah pelajaran tentang cinta, ketulusan, dan arti sejati dari menjadi manusia. Bahwa meski tak punya apa-apa, mereka memiliki segalanya: satu sama lain.

(Rudi)

About Redaksi Thayyibah

Redaktur