
Di antara nisan para pahlawan bangsa di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, terdapat satu nama yang menyimpan ironi sejarah: Alimin Prawirodirdjo. Seorang pejuang perintis kemerdekaan, pemimpin revolusioner, sekaligus tokoh sentral Partai Komunis Indonesia (PKI) generasi awal. Nama dan jalannya penuh kontroversi, namun tak bisa diabaikan dalam kisah panjang perjuangan Indonesia melawan kolonialisme.
Awal Perjuangan: Dari Islamisme ke Komunisme
Alimin lahir dari rahim gerakan Sarekat Islam (SI), ormas besar yang pernah menjadi simbol kebangkitan bumiputra di bawah pimpinan Haji Samanhudi. Namun saat SI terpecah menjadi “SI Merah” dan “SI Putih”, Alimin memilih bergabung dengan “Merah”, bersama tokoh-tokoh revolusioner seperti Tan Malaka dan Darsono. Di sinilah ia mulai mengibarkan panji-panji perlawanan dengan ideologi kiri yang lebih radikal.
SI Merah kemudian berkembang menjadi cikal bakal Partai Komunis Indonesia (PKI), organisasi yang pada dekade 1920-an menjadi pelopor pemogokan buruh dan pemberontakan terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Pemberontakan 1926: Lompatan Besar yang Berdarah
Pada 25 Desember 1925, dalam Konferensi Prambanan, PKI mendirikan Commite Pemberontakan (CP) untuk melawan penjajah Belanda secara terbuka. Alimin dan Musso pun dikirim ke Moskow untuk meminta restu Joseph Stalin. Namun, baik Tan Malaka maupun Stalin sendiri menolak rencana itu karena situasi belum mendukung. Sayangnya, kabar dari Moskow datang terlambat.
Pemberontakan tetap meletus pada 1926. Hasilnya: ribuan nyawa melayang, lebih dari 13.000 orang ditangkap, dan ratusan dikirim ke kamp pengasingan brutal di Boven Digoel, Papua. PKI pun dibubarkan dan dinyatakan terlarang oleh pemerintahan kolonial.
Pelarian dan Jejak Global
Alimin memilih tidak dipenjara. Ia mengasingkan diri dan menjelajahi dunia: bergabung dengan Kuomintang di Tiongkok, belajar di Universitas Lenin di Moskow, sekelas dengan Ho Chi Minh dan Zhou Enlai. Ia bahkan ikut perlawanan bersenjata saat Jepang menginvasi Tiongkok.
Ia kembali ke Indonesia setelah proklamasi kemerdekaan dan duduk dalam Dewan Konstituante tahun 1946. Tapi, saat PKI kembali bangkit di bawah D.N. Aidit, Alimin hanya kebagian peran kecil meski dialah salah satu pendiri awal gerakan komunis Indonesia.
Akhir Hayat: Dari Penjara Sejarah ke Makam Kehormatan
Alimin wafat pada 24 Juni 1964, disambut duka dari tokoh-tokoh besar seperti Soekarno dan Hatta. Ia dimakamkan di TMP Kalibata, disertai gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 163 Tahun 1964.

Pengaruh Dua Orang Belanda dalam Hidupnya
Ironi sejarah tampak jelas dalam dua sosok Belanda yang membentuk jalan hidup Alimin. Pertama, G.A.J. Hazeu, ayah angkatnya yang menyekolahkan Alimin ke sekolah Eropa dan berharap dia menjadi pegawai pemerintah. Kedua, Henk Sneevliet, penyebar ideologi komunis yang membawanya masuk ke jantung perlawanan melawan kolonialisme.
Kesimpulan: Pahlawan atau Pengkhianat?
Sejarah akan selalu diperdebatkan. Namun Alimin Prawirodirdjo, dengan segala kontroversi dan kontribusinya, tetap berdiri sebagai saksi bahwa jalan menuju kemerdekaan tidak hanya ditempuh oleh satu ideologi saja. Ia adalah bukti bahwa bahkan seorang komunis pun bisa menjadi pahlawan dalam narasi sejarah yang kompleks dan penuh nuansa.
(Om Phol)
Thayyibah