Oleh: Inayatullah Hasyim
Seringkali kita memahami poligami itu harus dapat izin dari isteri pertama. Padahal, pemahaman itu keliru, baik secara hukum Islam (fiqh) atau hukum nasional kita (Undang-Undang). Secara asas, ketentuan tersebut masuk dalam kategori Jus Necessitatis, yaitu suatu asas yang menjelaskan bahwa menjadi hak dan kewajiban seseorang untuk memenuhi persyaratan Undang-Undang, namun tidak ada ketentuan pidana yang dicadangkan atas pelanggaran terhadapnya.
Dalam fiqh, poligami tidak memerlukan izin. Sebab hak untuk poligami itu melekat pada suami, tak perlu izin isteri atau siapapun. Allah SWT berfirman,
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَىٰ فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim”. (QS: An-Nisaa: 3)
Inti ayat di atas membolehkan pria menikah lebih dari satu, yaitu dua, tiga atau empat. Menariknya, Allah SWT menggunakan kata: مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ yang sesungguhnya berarti, dua-dua, tiga-tiga, empat-empat. Seperti kalau Anda menyuruh murid berbaris saat pramuka, “tolong berbaris dua-dua, dst”. Allah SWT tidak menggunakan kata اثنتين، ثلاثة، اريعة (Kapan-kapan akan saya bahas soal itu).
Lalu, dalam hukum nasional kita, diatur dalam Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 3 ayat 2 undang-undang tersebut memasukan unsur “IZIN” poligami bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat wanita serta kesucian mahligai rumah tangga.
Tetapi, jangan salah faham, izinnya pun bukan dari isteri. Suami mengajukan permohan izin ke Pengadilan Agama, dan hakim pada Pengadilan Agama-lah yang berhak menetapkan seorang suami boleh poligami atau tidak. Pengadilan akan memeriksa, berapa pendapatan suami, apa sebab ingin poligami, dan lain-lain. Isteri hanya dipanggil sebagai SAKSI untuk dimintai keterangan atas permohonan suaminya itu.
Jika isteri tak setuju, hakim tetap berhak mengizinkan poligami bila syarat dan ketentuan yang diatur Undang-Undang telah terpenuhi. Sifat permohonan ke pengadilan pun bukan “contentius”. Artinya, tidak ada pihak Termohon (apalagi Tergugat) dalam lembar permohonan suami ke pengadilan. Karena itu, dokumen yang dikeluarkan Pengadilan diberi nama “Penetapan” Pengadilan dan bukan “Putusan” Pengadilan.
Para perumus Undang-undang Perkawinan nampaknya menyadari betul bahwa “hampir mustahil” ada wanita yang rela berbagi. Bukankah Aisya (radiallahu anha) pernah berkata, “rasa cemburuku (pada istri-istri Rasullah SAW) bisa membuat pohon kering bila aku bersandar kepadanya”. Karena itu, Undang-Undang tidak mensyaratkan izin isteri bila suami hendak poligami, tetapi izin Pengadilan. Itulah benang merah yang menghubungkan ilmu fiqh dan ketentuan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sehingga tidak ada pertentangan di antara keduanya.
Tentu saja, penjelasan ini tidak berlaku bagi Anda yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN) atau anggota TNI/Polri. Sebab, Anda terikat dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 tahun 1983 tentang IZIN POLIGAMI. Dalam kaedah ilmu Ushul Fiqh, PNS dan Anggota TNI/Polri itu terkena, تخصيص العام بالخاص (Kapan-kapan akan saya bahas kaedah Ushul Fiqh yang satu ini, insyaAllah).
Ketika saya jelaskan seperti itu, seorang teman saya yang tidak berlatar belakang ilmu hukum berkomentar. Katanya, “Kelamaan bang penjelasannya. Kalau saya sih, nikah ajah dulu, urusan belakangan”. Sebab, kata teman saya lagi, “Lebih gampang minta maaf (karena sudah terlanjur poligami) dari pada minta izin. Emang sih bang, cuma pakai materai sepuluh ribu, cuma dapetin tanda tangannya susah.” 😁🤭
Wallahua’lam bis showab