Thayyibah:: Jamaah sholat Isya baru saja bubar dari musholla di Jalan Mandor Disan, RW 10, Kelurahan Bintara Jaya, Bekasi Barat, namun sudah ada belasan orang yang duduk bersila pada sebuah rumah semi permanen tak jauh dari situ. Sejurus kemudian, jamaah mulai berdatangan. Laki-laki berbaju koko, peci putih dan bersarung, sedangkan perempuan berbusana muslimah sederhana. Mereka datang berjalan kaki, mengendarai motor juga bermobil. Diantara jamaah ada sekelompok remaja yang siap dengan alat musik rebana. Tampaknya mereka akan melakukan sebuah atraksi seni. Di samping rumah di bawah pepohonan, sekelompok ibu-ibu sedang memasak. Sepertinya mereka sudah sibuk mengolah bahan makanan sejak magrib. Bagi yang tidak mengerti, tentu sulit menerima jika rumah sederhana ini adalah sebuah tempat olah spiritual.
Di rumah sederhana itu berdiam Al-Habib Syaikhon bin Musthofa al Bahar. Di sini, setiap Kamis malam, ramai dikunjungi jamaah untuk bersama si habib berzikir, membaca doa, bersholawat dan membaca Barzanji. Rangkaian kegiatan ini umumnya disebut maulid. Irama shalawat dilantunkan dengan nada dan irama indah yang diringi dengan tabuhan rebana. Seni ini oleh masyarakat kita disebut hadroh.
Si habib dianggap sebagai orang alim dan memiliki banyak kelebihan oleh jamaah dan murid-muridnya. Ia diketahui memiliki harta dan rumah yang cukup namun lebih memilih berada di rumah sederhana itu agar lebih dekat dengan jamaah dan murid-muridnya.
Pada masyarakat Bekasi dan sekitarnya, si habib terkenal dengan sikapnya yang aneh dan anomali. Dia selalu merusuk barang-barang hadiah orang sebelum dipakainya. Dia kadang terlihat asyik bermain alat musik gambus sementara di dekatnya sedang berlangsung sebuah acara. Dia juga suka memberi nilai miring kepada penceramah atau ustad yang sedang bercermah.
Meski begitu, murid dan jamaah si habib merasa pada dirinya banyak keberkahan dan ilmu. Itu sebabnya, setiap malam Jumat selepasa Isya, murid dan jamaahnya ramai datang untuk berzikir bersamanya.
Masih dari Kota Bekasi, tepatnya di bilangan Kranji, tak jauh dari Pasar Kranji Baru. Pada sebuah rumah sederhana juga terbentuk sebuah majelis zikir sejak lama. Tokoh sentral majelis zikir ini adalah Al Habib Hasan al Haddad yang diyakini sebagai keturunan ketujuh dari ulama besar Al Imam al Habib Abdullah bin Alawi al Haddad. Ulama ini hidup pada abad ke 16 di Hadramaut (Yaman sekarang) dan dikenal sebagai penyusun zikir Ratib al Haddad yang sampai saat ini terus diamalkan muslim seluruh Nusantara.
Rumah sederhana tempat majelis zikir itu memiliki halaman seluas lapangan bola voley yang dikelilingi oleh kandang-kandang kambing namun resik, rapih dan tak berbau. Untuk sampai ke rumah ini jamaah harus telusur gang-gang sempit dan berliku.
Setiap malam Jumat, sejak pukul delapan, jamaah laki-laki berdatangan satu persatu. Setiap jamaah yang baru sampai selalu menjabat tangan dan menyapa jamaah yang sudah datang lebih dahulu. Umumnya jamaah sudah saling mengenal sehingga setiap sapaan diiringi kata-kata candaan yang memancing tawa. Begitu mengambil tempat, datang mubasyir (pelayan makanan dan minuman) suguhkan kopi dalam cangkir yang khas. Selain kopi, rokok adalah “ritual wajib”, semua jamaah dipastikan menyukai kopi dan merokok, dan menikmati keduanya sebelum dan sesudah acara. Itu pula karenanya, majelis zikir ini disebut Majelis Gahwah (kopi) wa Dukhan (rokok) yang disingkat MGWD.
Pada MGWD, zikir yang dibacakan adalah Ratib al Haddad, sebuah rangkaian zikir dan doa yang populer. Ratib al Haddad dipimpin sendiri oleh Habib Hasan yang didahului oleh pembacaan Alfatihan yang “dikirim” untuk Rasulullah, sahabat, kemudian Al Imam al Habib Abdullah bin Alawi al Haddad dan keturunannya. Selain itu para habib terkenal juga disebut namanya, termasuk Kiyai Noe Alie, ulama besar asal Bekasi. Begitu banyak yang dikirimi Alfatihah sehingga nama-nama mereka perlu dibukukan. Untuk membacanya dibutuhkan waktu tak kurang dari 20 menit. Acara pembacaan Ratib al Haddad baru dimulai lepas tengah malam, yakni pukul 00.30, sehingga jamaah punya banyak waktu untuk nikmati kopi dan rokok.
Selepas pembacaan Ratib al Haddad, acara dilanjutkan dengan maulidan yang dipimpin oleh jamaah lain dan iringin tabuhan rebana. Jamaah kemudian bersholawat dengan irama yang indah. Melantunkan kecintaan dan kerinduan kepada Nabi Muhammad dan keluarganya. Ritmik ayunan kepala dan badan teriring hentakan rebana. Jamaah benar-benar larut dalam sholawatan yang makin lama makin bersemangat. Bait-bait cinta kepada Rasulullah yang terucap bagai obat penambah stamina, tak terlihat rasa lelah atau kantuk.
Sementara asap stanggi dari dari sudut-sudut ruangan terus mengeluarkan aroma penuh sensai nan khas. Aneka kembang dari nampan-nampan besar mengeluarkan semerbak wangi. Jamaah majelis maulid makin terbenam dalam irama cinta Rasul.
Tiba pada bacaan asyraqal dengan irama khasnya, jamaah berdiri. Mereka seperti sedang menunggu kedatangan Nabi yang mereka cintai muncul dari balik bukit, seperti penduduk Madina menanti kedatangan Nabi dalam perjalanan hijrahnya. Beberapa jamaah meneteskan air mata, larut dalam kerinduan, rindu ingin memeluk Nabi yang mereka cintai.
Jamaah pada majelis ini adalah orang-orang sederhana. Mereka datang dari berbagai pojok Bekasi, dari bukit-bukit di Jonggol dan Cianjur. Sebagian mereka adalah pedagang di Pasar Kranji Baru yang sudah terbiasa lewati malam dingin dengan aroma khas pasar tradisional. Mereka mencintai majelis ini dengan harapan yang sangat sederhana, yakni salam dan sholawat mereka sampai kepada orang yang mereka cintai, Muhammad Rasullah. Agar kelak di Yaumil Mahsyar nanti, mereka mendapat syafaatnya.
Rangkaian acara berkahir, ketika jarum jam menyentuh angka 02.40. Tak ada jamah yang bangun dari silanya. Cangkir kopi kembali diedarkan, rokok kembali disundut. Sejurus kemudian, nampan besar berisi makanan menggoda selera. Perut berasa tak lagi berisi. Senampan untuk berempat bukan masalah. Adzan subuh mulai terdengar. Nampan sudah kosong dan perut terisi. Sholat subuh ditunaikan, sementara di luar sana Kota Bekasi sudah bergeliat.[] (Foto : Darso Arief)