Oleh : Budi Nurastowo Bintriman
(Foto : Dok. Pribadi)
Zaman tahun 1991, acara wisuda sarjana, bagiku biasa-biasa saja. Sebagaimana aku kuliah, juga biasa-biasa saja. Aku tidak pintar, hanya biasa-biasa saja. Saat kawan-kawanku sibuk-sibuk memperbaiki nilai ujian, aku tidak pernah melakukannya. Saat mata kuliahku dapat nila 4 atau A, aku senang biasa saja. Saat aku dapat nilai 3 atau B, dan dapat nilai 2 atau C, aku biasa-biasa saja.
Kawan-kawanku yang lain jika dapat nilai 3 dan 2, langsung sibuk perbaikan. Mereka ingin mengejar target nilai 4atau A. Minimal mereka pasang target dapat nilai 3 atau B. Maklumlah, aku bisa kuliah saja sudah sangat bersyukur. Oleh karena aku juga cuma mahasiswa biasa-biasa saja, jadinya tak punya target-target mulia. Makanya IPK-ku hanya 2,9. Saat itu kalau gak salah, batas minimal bisa jadi dosen dengan IPK 2,75.
Dengan IPK 2,9, aku sudah puas. Karena kawan-kawanku yang pintar-pintar sekalipun nilai aslinya yang belum perbaikan paling banter IPK 3,1.
Bapakku dan Ibuku tidak tahu-menahu apa itu IPK. Bapakku hanya lulusan SR, sementara ibuku sempat nyicipi bangku SMP. Aku sendiri juga tak hendak menjelaskan apa itu IPK. Mereka tahunya bahwa kuliah itu dunia sulit-sulit dan dunia pendidikan kelas “mewah” di luar jangkauan mereka.
Saat tahun 1980-an, di kampungku, pemuda atau pemudi yang bisa kuliah dipastikan dari kasta menengah atas. Kasta menengah-bawah seperti keluarga kami paling pol sekolah sampai SMA. Bahkan masih banyak yang hanya lulusan SMP.
Makanya dalam lingkungan keluarga dan dalam lingkungan kampung, aku tak punya budaya sekolah hingga tinggi-tinggi. Kebetulan cita-citaku dulu mantap masuk AKABRI, jadi tentara yang pangkatnya perwira (langsung letnan dua). Itu dalam rangka untuk “memperbaiki” atau “meningkatkan” kasta bapakku. Bapakku tentara atau prajurit pangkat rendahan.
Jika aku lulus AKABRI, langsung jadi perwira. Itu level tertinggi dalam militer, di atas tamtama dan bintara. Bahkan pada era itu, pensiunan profesi (perwira) tentara di militer merupakan jaminan minimal bisa untuk menjadi bupati. Ibarat kata tinggal memilih ingin jadi bupati di daerah tingkat II mana.
Atas takdir Allah, aku gagal tes AKABRI di panitia penentuan terakhir (pantukhir). Dulu aku sulit menerima taqdir itu. Karena lulus AKABRI itu merupaksn cita-citaku sejak SD kelas VI. Makanya aku nglokro frustrasi, dan banting stir mau jadi sopir truk saja. Persetan dengan apa itu “perbaikan kasta”!
Atas takdir Allah yang lain, aku malah jadi kuliah. Kuliah di jurusan agama lagi. Apa kata dunia, saat itu? Maka jika aku ketemu dengan kawan-kawanku di kampung, aku kuliah di jurusan filsafat agama. Aku malu menyebut jurusan ushuludin, yang kuliahnya kuanggap seperti pengajian majelis taklim, saat itu. Ada tafsir, ada hadis, ada bahasa Arab yang banyak cabangnya, ada aqidah, ada fiqih yang bermacam-macam, ada akhlaq, ada tarikh, dan lain-lain.
Lama-lama aku menyadari, bahwa takdir itu takdir terbaik buatku. Setidaknya dari takdir itulah aku tidak hidup di dunia abu-abu, yang sangat potensial tergelincir ke kehidupan hitam kelam. Wallahu a’lam.
Tapi di akhir kuliah, meskipun aku cuma mahasiswa biasa-biasa saja, aku menggarap skripsi dengan serius. Aku tidak ingin yang biasa-biasa saja. Aku ingin skripsi yang istimewa. Aku ingin skripsi yang mengangkat pemikiran Islam tokoh nasional. Saat itu ada tiga pilihan tokoh : – Cokroaminoto – Hamka – Mohammad Hatta. Akhirnya pilihan jatuh pada tokoh terakhir, dengan judul “Mohammad Hatta Tentang Sosialisme Kooperatif Suatu Pemikiran Islam Kontekstual”.
Saat pendadaranpun aku minta yang mengujinya harus dosen killer di Fakultas Agama Islam. Beliau adalah Ustadz Muhammad Abdul Fattah Santoso. Kawan-kawanku pada takut diuji beliau. Tapi aku justeru ingin diuji beliau.
Saat beliau udzur karena ada acara mendadak seminar ke luar negeri, maka akupun minta mundur ujian. Makanya aku harus menunda ujian untuk periode berikutnya. Saat itu musti mundur satu semester. Tak apalah, demi idealisme.
Saat ujian, skripsiku dibantai habis-habisan tak kenal ampun. Saat yudicium aku dapat nilai 2 atau C. Aku puas. Aku sudah dengan sikap ksatria dan heroik bertahan mati-matian “diserang” dan “dibunuh” oleh dosen killer.
Saat wisuda, kawan-kawanku semangat dan senang menyambutnya. Aku biasa-biasa saja. Saat gladi bersih acara wisuda, semua calon wisudawan ceria maksimal. Aku tidak mengikutinya. Aku menyambut kedatangan ibuku yang datang ke Solo bersama adik ragilku, nomer sembilan. Terlihat ibuku dan adikku yang ceria maksimal.
Zaman aku wisuda belum mengenal budaya kado-mengkado. Yang ada budaya foto-foto di berbagai spot kampus. Nanti jika sudah lelah foto-foto, dilanjut makan-makan di rumah makan pilihan, atau jalan-jalan ke obyek-obyek wisata. Beberapa hari kemudian, di kampung mengadakan kendurian syukuran.
Wisuda anakku yang nomer satu, di tahun 2023 ini, berselang 32 tahun kemudian dari wisudaku, setidaknya dia mendapat beberapa kado. Pertama, dia dapat kado dari adik perempuannya berupa bucket buatan sendiri dan teman-temannya di panti asuhan yang kami asuh. Bahannya dari jajanan snack-snack ringan.
Itu kado istimewa. Karena aku tak melihat ada kado lain yang menyamainya. Apalagi itu kado unik dari gadis remaja, yang dibuat oleh gadis-gadis remaja. Mungkin ke depannya malah bisa jadi trend lho.
Kedua, dia dapat kado dari Mamanya berupa bucket juga. Mamanya sempat beli kado yang ditawarkan oleh para pengrajin kado yang berjualan di lapangan parkir area wisuda. Kado yang bahannya dari bunga-bunga yang dirangkai sedemikian rupa. Baunya harum. Kado diberikan dengan tambahan peluk sayang cium sayang dan baluran doa-doa.
Itu kado biasa saja, karena banyak kado seperti itu. Namun kado itu menjadi kado istimewa karena ada baluran doa-doa. Bahkan sempat ada lelehan air mata di sudut mata mereka berdua.
Ketiga, dia dapat kado dari adik-adiknya yang nomer dua dan nomer tiga. Rupa kadonya menjadi rahasia, dan diharapkan menjadi kejutan. Mereka berdua baru malam hari membungkusnya sebelum paginya berangkat ke acara wisuda. Momentum buka kadonyapun minta waktu khusus setelah makan siang dan setelah shalat. Kira-kira apa ya istimewanya?
Anakku jelas tak bisa menebak isinya apa. Dia hanya sempat mengira isinya sepatu. Tak berlama-lama, dibukanya. Kedua adiknya senyum-senyum saja menyaksikannya. Dan ternyata di dalam bungkusan ada dua bungkusan.
Bungkusan pertama langsung dibuka. Dan ternyata isinya mantol milik anakku yang wisuda. Sebuah mantol butut warna biru yang sudah berusia enam tahun. Di beberapa bagiannya sudah sobek-sobek. Di tempat-tempat sobekan itu ada tambalan-tambalan lakban hitam. Bahkan ada bagian-bagian bekas jahitan.
Tambalan-tambalan dan jahitan-jahitan itu kami tahu persis dia sendiri yang mengerjakannya. Jadilah mantol yang sesungguhnya hanya pantas untuk menutupi kandang ayam atau kandang bebek. Tapi dengan mantol itulah dia kuliah atau ke manapun, saat musim hujan. Anakku ini memang agak unik. Dia ganteng, tapi gak malu-malu tampil “zuhud”.
Dia senyum-senyum dan ketawa-ketawa kecil ke arah adik-adiknya. Kemudian bungkusan ke dua segera dibukanya. Isinya ternyata sebuah mantol baru berwarna krem dengan garis warna kuning yang berfungsi sebagai pemantul cahaya dikegelapan.
“Nah, mulai sekarang mantol yang lama dibuang, Mas! Sekarang kalau berangkat kerja atau ke manapun pakai yang baru, Mas!”, kata adik-adiknya hampir serempak. Kami susul kemudian dengan tepuk tangan rame-rame. Anakku senyum dan ketawa-ketawa ceria. Begitu juga kami. Itu kado istimewa!
Kalian para pembaca mungkin bertanya-tanya, aku sebagai ayahnya memberi kado apa? Aku tak memberi kado apa-apa. Di acara wisuda anakku, sebagai ayahnya, aku hanya bisa ikut ceria maksimal. Itu saja, dan biasa-biasa saja.
Tadi pas di acara wisuda, pas acara doa bersama, aku nangis sesenggukan. Di samping mengamini doa bapak profesor yang memimpin doa, aku juga mendoakan anakku agar dimudahkan agar segera dapat jodoh yang shalihah, pintar, baik, dan cantik. Sepertinya hanya aku yang menangis saat doa itu. Mudah-mudahan itu pertanda kemaqbulan doaku, aamiin.
Dan doaku itu kuanggap sebagai kado wisuda istimewa untuk anakku, agar sama istimewanya dengan kado-kado yang di depan tadi. Setidaknya ketika doaku itu kuulangi dan kulahirkan lagi untuk anakku, dia mengamini dengan mantap sekali. Mudah-mudahan doaku itu “tembus ke langit tujuh”, aamiin.
Terakhir, kado-kado dari anak-anakku atau dari adik-adiknya dan dari mamanya aku tuliskan sebisaku. Tulisan ini juga kujadikan kado istimewa untuk wisuda anakku. Semoga kau berkenan dan ceria maksimal menerimanya, Nak.