Salim A. Fillah
Di makammu aku membayangkan keputusan sulit yang kau ambil menjelang akhir 1829 itu, Eyang Ali Basah…
Perang telah lebih empat tahun berjalan. Lebih dari 200.000 nyawa rakyat Jawa telah melayang. Dua setengah juta rakyat terdampak. Derita terlihat di mana-mana. Kelelahan membayangi semua pihak.
Dan bagaimana aku bisa menyalahkanmu? Kau telah mengajukan syarat amat berat untuk meletakkan senjata. Pertama, tetap memimpin 1000 prajurit Bregada Musthafin/Pinilih. Kedua, disediakan 500 pucuk senjata baru. Ketiga, uang 10.000 ringgit. Keempat, pangkat dan gaji tertinggi dalam kesatuan kavaleri Belanda. Kelima, tetap memeluk Agama Islam, tetap berseragam sorban, serta tidak turut dalam acara-acara yang melibatkan minuman keras dan kemaksiatan.
Toh Jenderal De Kock mengabulkan semua itu. Dan itu mengejutkanmu. Tapi janji adalah janji.
Engkau membuktikan jihad di hatimu tak pernah padam. Di tanah Minangkabau kau tak sudi menembakkan peluru pada saudaramu yang berpekik takbir, Pasukan Putih yang dipimpin Tuanku Imam dari Bonjol.
Dan di sinilah engkau mengakhiri bakti. Pengasingan di Tanah Bengkulu. Bersama Sayyid Muhammad Zein Al Madani, didampingi Sura Jenggala dan Wiryokusumo kaubina dakwah dan Masjid Jami’.
Rahimakallaahu rahmatal Abrar. Harimau belia dari Madiun. Ali Basah Abdul Mustopo Sentot bin Raden Ronggo Prawidirjo III.
Jazaakumullaahu khayran Mak Cik Den Firmansyah dan Mak Cik Acep, dzurriyah sang Panglima Tertinggi Perang Jawa.