Oleh: Setiardi
11 Desember adalah momen istimewa. Saya dan Wieny Soraya mengikat janji — di masjid kecil di depan Nenek, Orang Tua, Kakak Adik, dan kerabat dekat. Kami mulai keluarga kecil ini bukan dari ‘Nol’, seperti di SPBU. Kami memulainya dari minus, karena menggelar acara pernikahan dengan dana talangan. Itu memang konyol. Tapi hidup terkadang perlu sejumput kekonyolan.
Tahun-tahun pertama berat bukan kepalang. Saya pindah kuadran, meninggalkan zona nyaman yang membius. Saya bikin perusahaan bermodal mimpi. Saya Dirut, istri Komisaris. Di awal start ada 45 karyawan yang harus digaji. Itu bukan konyol. Tapi nekat saja. Dan langsung rugi 600 juta. Jumlah yang besar buat saya ketika itu. Dikejar-kejar vendor pemasok. Saya hadapi debt collector dengan wajah tegak, dan mencicil hingga lunas. Saya ingat pesan guru: jangan pernah tak bayar hutang.
Saat anak akan lahir, ketuban sudah merembes, saya bokek berat. Di kantong cuma ada 50 ribu perak. Saya pakai uang itu untuk beli dua bungkus nasi uduk pecel lele di depan RS Hermina Bekasi Barat. Satu saya makan, satu lagi untuk istri yang mulai mengalami pembukaan. Saya berpikir logis saja: Ibu melahirkan butuh tenaga. Harus makan. Untunglah istri tak rewel. Dia maklum kalau suaminya lagi bokek berat. Dia makan dengan semangat bungkusan nasi itu.
Hari demi hari dilalui. Hidup tak melulu tentang wangi bunga dan senda gurau. Ada masa ketika kami harus bertahan — Saat rumah digeruduk orang-orang tak dikenal. Saat lima aparat berwajah sangar memborgol dan menjebloskan saya ke Penjara Cipinang. Saat para Napi menggotong tubuh saya ke poliklinik penjara. Saat teman-teman pergi menjauh. Saat kolega menipu miliaran rupiah sambil tersenyum. Atau saat ambulans menjemput saya yang hampir mati akibat covid19.
11 Desember adalah momen istimewa. Saya selalu percaya, kekonyolan, plus sedikit keberuntungan akan membuat keluarga kami baik-baik saja. Dan sejak dulu saya menganggap kehidupan seperti lukisan dengan cat minyak: kesalahan di kanvas tak bisa dihapus, tapi dapat diperbaiki …