Oleh: Davy Byanca
Dikisahkan, seorang syaikh sedang bercerita di hadapan murid-muridnya: ”Pada masa lalu ada seorang musafir tiba di sebuah oasis di tengah gurun. Dia ingin menyendiri agar bisa mengenal Tuhan dengan merenungi misteri-misteri-Nya. Amal, iman dan kepasrahannya, membuat jiwanya terasa damai. Kebetulan dia tiba di oasis pada malam hari. Sebelum melaksanakan shalat tahajud, dia merebahkan badannya sejenak di bawah pohon kurma untuk melepas penat. Tanpa disadari, ada lelaki lain yang juga sedang rehat di dekat pohon itu. Lelaki itu ternyata adalah seorang penjahat yang sangat ditakuti. Tapi hidupnya saat ini dalam pelarian, kerana telah menjadi buronan nomor wahid. Dalam keadaan letih dan lapar, dia terlihat sedang mengutuk nasibnya yang malang.”
”Nah sekarang aku ingin bertanya kepada kalian,” kata sang syaikh. ”Dari dua lelaki itu, manakah yang lebih agung dan mana yang lebih hina? Siapakah yang diberkahi Allah dan siapa yang dilaknat-Nya?” Belum sempat muridnya menjawab. Sang syaikh berkata, ”Tak perlu kalian jawab, kerana kalian bukanlah hakim bagi mereka. Tapi ketahuilah, saat itu malaikat Munkar dan Nakir sedang menatap keduanya. Malaikat Munkar berkata, ’Di sini jelas nampak beda antara emas murni dan palsu. Dua orang ini sudah bisa dinilai walau mereka belum mati. Tentu Allah akan mengangkat lelaki yang shaleh dan syaitan akan menemani lelaki jahat itu.” ”Setuju,” tukas Malaikat Nakir. ”Emas sejati itu amat langka, dan surga amat luas sedangkan neraka penuh dengan api yang menyala tak pernah padam.”
”Allah ternyata mendengar bersitan pikiran kedua malaikat-Nya. Dia lalu menyampaikan bisikan ke dalam hati kedua Malaikat itu; ”Kalian telah menghakimi nasib mereka. Tahukah, bahwa manusia akan celaka jika Aku menghakimi mereka hanya berdasarkan kepada keadilan semata. Bukankah Aku Mahapengasih lagi Maha Penyayang? Saksikanlah, Aku akan mengunjungi mereka dalam tidur, agar kalian tahu kebenaran sejati dari mahluk-Ku.”
”Lalu Allah pun menidurkan kedua orang itu dan mengirimkan mimpi ke dalam hati keduanya. Musafir itu dijadikan-Nya bermimpi dalam neraka, sedangkan si penjahat berada dalam surga, berdiri bersama-sama para Wali Allah lainnya.”
Sebelum melanjutkan ceritanya, syaikh itu mengambil cangkir kopinya seraya menyeruput dalam-dalam, dia mengamati wajah murid-muridnya. ”Apakah baik menurut kalian, memasukkan orang jahat ke surga, dan apakah adil memasukkan orang shaleh ke neraka?” tanyanya.
Tak ada yang berani menjawab. ”Bagus,” katanya. ”Membersihkan hati dari penghakiman akan membuka yang namanya Jalan Cinta. Dan itulah pelajaran yang diterima oleh Malaikat Munkar dan Nakir. Sebab kedua malaikat itu menyaksikan bagaimana si musafir tenggelam dalam neraka, jeritan jiwanya membuat gendang telinganya pecah. Tetapi anehnya, lelaki itu bahkan tak merasa kesakitan atau takut. Dia bahkan sedang asyik memikirkan Sang Kekasih, dan penderitaan sehebat apapun takkan mampu mengalihkan perhatiannya dari Allah. Dengan suara tenang dan keras ia mulai berdzikir: ”Laa ilaaha illallaah. Laa ilaaha illallaah … tanpa henti.”
”Api neraka semakin berkobar saat dzikirnya menggelegar, tapi api itu perlahan meredup dan jiwa-jiwa lainnya yang sedang disiksa pun membuka telinganya lebar-lebar mendengarkan dzikir tersebut, kerana nama Allah selama ini tak pernah diucapkan di neraka. Lantas, semua suara pun senyap, kecuali hanya suara dzikir itu. Lelaki itu terus berdzikir sampai fondasi neraka berguncang. Akibatnya, penghuni lainnya merasa ada secercah harapan untuk bebas dari azab. Neraka itu pasti akan runtuh jika saja Iblis tak muncul dan memohon kepada si musafir untuk menghentikan dzikirnya. Tetapi lelaki shaleh itu terus berdzikir, sebab dia sudah lama sekali menapaki yang namanya Jalan Cinta. Kehendak Sang Kekasih sudah menjadi kehendaknya, tak peduli bertemu di surga atau neraka.”
Syaikh kembali mengangkat cangkir kopinya. Tanpa memandang kepada muridnya ia bertanya, ”Bagaimanakah menurut kalian nasib penjahat itu? Gembong penjahat itu kini berada di tempat yang begitu indah. Allah juga memperlihatkan keadaan penjahat itu kepada kedua Malaikat-Nya. Penjahat itu mengenakan jubah panjang, berdiri gemetar. Malaikat Jibril pun berkata kepadanya; ”Dengan rahmat dan kasih Allah, Pencipta-Mu, perbuatan burukmu telah dimaafkan.”
”Kini kebenaran telah merasuki jiwa sang penjahat. Ia meneteskan airmatanya karena menyaksikan Keagungan dan Keindahan Dzat Yang Mahapengasih. Dia tersungkur dan menangis seraya menyesali jalan hidup yang telah dilaluinya. Airmatanya menjadi aliran rahmat yang tak berhenti. Kaki musafir sholeh yang tidur di sebelahnya basah oleh airmatanya.”
Allah lantas membangunkan keduanya. Si Penjahat melihat sang Musafir, dia mendekatinya dan memeluknya. Mereka berdua lalu shalat dan berdoa bersama sampai fajar mengembang. Singkat cerita, sang Penjahat pun akhirnya menjadi murid lelaki sholeh itu. Sementara Malaikat Munkar dan Nakir yang menyaksikan kejadian itu, bersujud di hadapan Allah, keduanya malu karena telah menghakimi kedua lelaki tersebut.”
Kuakhiri tulisan ini dengan menyapu genangan air di sudut mataku .. yaa Allah, terima kasih Engkau masih memberikan kesempatan kepada hamba untuk bertaubat, dan menikmati keindahan semesta di Jumat berkah ini.