Oleh: Davy Byanca
Ada sementara orang mengira bahwa hubungan antara hamba dengan Tuhan menyerupai hubungan anak dengan orang tuanya; si anak membutuhkan keduanya ketika masih kecil saja. Saat dewasa ia sudah tidak membutuhkan keduanya lagi. Bahkan bisa jadi ketidakbutuhan itu mendorong dirinya menjadi anak durhaka dan menampik kebaikan kedua orang tuanya.
Tidak! Hubungan hamba dengan Tuhan tidaklah seperti itu. Kebutuhan seorang hamba kepada Tuhan adalah kekal, selamanya. Kebutuhannya melebih kebutuhan bayi yang sedang menyusu pada ibunya. Melebihi kebutuhan tumbuhan pada sinar matahari.
Tetapi nafsu manusia sering menipu dan membanggakan diri, ia lebih suka pada kesombongan daripada tawadhu. Ia menganggap mampu melakukan segalanya tanpa pertolongan dari langit, kadang menolak segala nasihat yang diberikan oleh orang-orang terdekatnya. Mereka berlepas diri dari langit dan mencukupkan diri hanya dengan bumi.
Yakin bahwa segalanya dapat diraih dengan hanya mengandalkan alam nyata dan meremehkan alam ghaib. Mereka bersikeras bahwa kebahagiaan atau kemuliaan yang diraihnya bukanlah pemberian Tuhan, tapi hasil kerja keras dan upayanya sendiri. Allah swt berfirman, “Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesulitan, pastilah dia berkata: ‘Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya.” Qs Fushshilat [41]: 50.
Hanya orang bodoh yang mengira bahwa dirinyalah yang menjadikannya terhormat di dunia dan di akhirat. Orang seperti ini adalah orang yang hatinya telah mati. Matinya hati, adalah sebuah tragedi bagi kehidupan anak manusia. Benar secara lahiriah ia hidup, fisiknya sehat dan bugar, serta fikirannya cerdas. Tapi di sisi lain, syahwatnya menggebu-gebu, nafsu berkuasanya tinggi, takabur dan riya’ dalam beramal, dan sepak terjang bisnisnya menghalalkan segala cara. Inilah manusia yang hatinya mati.
Sahabat Salman al-Farisi ra berkata, “Aku sangat heran pada tiga orang hingga membuatku tertawa: orang yang memimpikan dunia padahal kematian selalu memburunya, orang yang lupa padahal ia tidak pernah dilupakan, dan orang yang tertawa sepenuh mulutnya sementara ia tidak mengetahui apakah Tuhan alam semesta murka atau ridha padanya. Tiga hal yang membuatku sedih hingga menangis: perpisahan dengan para kekasih (Muhammad saw dan sahabatnya ra), dahsyatnya hari kebangkitan, dan berdiri di hadapan Allah sementara aku tidak tahu apakah aku digiring ke Surga atau ke Neraka.”
Sobat. Hidup ternyata dapat membuat kita menjadi mati sebelum mati. Celakalah orang yang hidup tetapi hatinya sakit, sebab ia hidup di kubangan kemaksiatan. Sia-sialah orang yang hidup tapi memiliki hati yang mati, sebab orang yang demikian hidup dalam kekufuran. Hatinya dikunci mati oleh Allah, sama saja bagi mereka diberi petunjuk atau tidak. Inilah hatinya orang kafir, sebagaimana firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang Kafir itu, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. Dan bagi mereka siksa yang amat berat.” QS al-Baqarah [2]: 6-7.
Mawlana Rumi pun berkata, dunia yang hina ini diberikan kepadamu sementara. Tersedia sebuah tangga yang dengannya engkau dapat bercita-cita. Maka, jangan biarkan hidup ini diwarnai dengan semerbak wangi bunga kematian, dan jangan biarkan hati kita menjadi taman bagi sekuntum bunga kematian.